DHIA AL-UYUN: DALAM DEMO RUU TNI, TIDAK PERLU KAGET APABILA MAHASISWA TERKOOPTASI

0
Sumber: bacamalang.com

MALANG-KAV.10 Lima bulan kepemimpinan Prabowo Subianto, telah terjadi dua gelombang demonstrasi besar-besaran. Aksi #INDONESIAGELAP membuktikan bahwa seratus hari kepemimpinan Prabowo menimbulkan banyak persoalan. Salah satu yang paling mencolok adalah adanya efisiensi anggaran pasca Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025. Baru-baru ini dan secara mendadak, DPR telah mengesahkan RUU TNI yang menyulut demonstrasi di beberapa kota di Indonesia. Di Malang, Aliansi Suara Rakdjat (ASURO) menyelenggarakan demonstrasi ini pada Kamis (20/3) kemarin.

Terlebih dulu, Kavling10 menghubungi Dhia Al-Uyun–Ketua Serikat Pekerja Kampus dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Brawijaya–untuk mengetahui pendapatnya perihal dampak efisiensi terhadap kampus. Kemudian ia menjawab dengan mengajak kami bertemu secara langsung saat aksi #TOLAKRUUTNI berlangsung. Dalam perjalanan menuju titik aksi, ia sempat kecele saat tiba di Alun-alun Malang. Pasalnya, alun-alun yang dimaksud poster aksi di Instagram ASURO bukanlah Alun-alun Tugu  lokasi Aksi Kamisan Malang biasanya. 

Kemudian, Dhia tiba di Alun-alun Malang dekat Masjid Agung Jami. Ia bergabung dengan massa aksi yang berkostum hitam-hitam. Sewaktu para demonstran berorasi, kami menepi dan mewawancarainya.

Bagaimana tanggapan Anda soal revisi RUU TNI ini yang dikerjakan di hotel mewah secara tertutup dan lain sebagainya? 

Sebenarnya kita bisa melihat melalui tiga landasan: ada landasan filosofis, landasan yuridis–yuridis itu ada dua, yuridis formil dan yuridis materil–dan landasan sosiologis. Secara sosiologis, tidak ada urgensi dari undang-undang ini.

Sekarang dalam proses menjadi undang-undang kan sudah disetujui dalam rapat paripurna. Tidak ada urgensinya. Kenapa? Kita tidak dalam kondisi perang, kita juga tidak membutuhkan kesegeraan, dan RUU ini tidak masuk di dalam Prolegnas. 

Padahal yang namanya rancangan undang-undang itu mestinya melalui proses, ada lima tahapan. Perencanaan sampai kemudian pengundangan. Dan ini tidak dilakukan dalam RUU TNI. 

Belum lagi draft memang tidak dikomunikasikan kepada masyarakat luas. Di mana ini sebenarnya juga bertentangan dengan asas meaningful participation yang muncul dalam putusan Mahkamah Konstitusi 91 ya, tahun 2022 tentang undang-undang Cipta Kerja. Itu juga menjadi permasalahan.

Kemudian, ada permasalahan misalnya tentang bagaimana proses RUU dilakukan secara tidak benar. Seperti kemarin, dilakukan secara tertutup dan bahkan ketika kawan-kawan KontraS masuk, mereka dikriminalisasikan.

Padahal proses pembahasan peraturan perundang-undangan itu terbuka. Tidak ada unsur yang membuat RUU TNI ini harus dilakukan secara tertutup. Jadi ketika kemudian dilakukan secara tertutup, ini menjadi sebuah permasalahan.

Kemudian melihat proses pengesahan RUU TNI ini yang dari awal sudah problematik dan tidak melewati beberapa syarat tadi, apakah DPR telah membiasakan keburukan ini? 

Sebenarnya permasalahan ini seperti mengulang lagi situasi di Undang-Undang Cipta Kerja. Jadi pengesahannya dilakukan tertutup, tiba-tiba dilakukan terburu-buru, dan tentu saja tidak didasarkan pada landasan yuridis formil dan materil yang tadi saya sebutkan. Mestinya, ketika peraturan itu substansial, dia harus memiliki pengaturan-pengaturan yang komprehensif.

Naskah akademiknya saja itu hanya beberapa lembar. Kemudian di dalam naskah akademik itu ada beberapa dasar, misalnya, salah satunya bahwa itu adalah sebuah open legal policy. Seolah-olah boleh membuat undang-undang dengan open legal policy karena ada putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2016.

Tapi kenyataannya, itu sebenarnya adalah suatu permasalahan open legal policy. Bagaimanapun, kebijakan politik harus didasarkan pada hukum, tidak bisa dilakukan secara serta-merta. Itu salah satu permasalahannya. 

Kalau dari sudut pandang hukum undang-undang, apakah dwifungsi TNI punya ancaman untuk demokrasi yang ada di Indonesia? 

Jelas! Heeh. Jelas.

Jelasnya seperti apa?

Jadi prosesnya saja sudah represif. Kategorinya adalah termasuk represif. Kemudian secara substansi, masalah terbesarnya adalah apa yang ingin diwujudkan dari undang-undang ini adalah ketertiban. Jadi, UU ini kemudian memberikan kemudahan terhadap masuknya militer di berbagai lini yang ada di dalam jabatan-jabatan sipil.

Notabene mereka menolak TAP MPR tahun 2000 yang sebenarnya memisahkan secara jelas peran TNI dan POLRI. Jadi naskah akademik ini sudah bermasalah karena di dalam naskah akademik disebutkan bahwa TNI sebagai alat kekuasaan. Padahal TNI itu bukan alat kekuasaan, tapi alatnya negara.

Jadi ketika melakukan sesuatu ya sesuai dengan fungsi negara. Ketika kemudian presiden melakukan suatu tindakan-tindakan untuk mempercepat ini, ya mestinya itu juga dengan landasan-landasan yang disesuaikan dengan bagaimana negara ini mengatur tentang TNI. Dan TNI fungsinya di pertahanan keamanan. Tidak lain seperti itu. 

Kita punya trauma masa lalu, kondisi masa lalu yang kemudian berujung kepada kekerasan yang bisa jadi terus terjadi hingga saat ini. Dan kondisi yang paling memperburuknya bahwa, saya khawatir kita pernah mengalami situasi-situasi kudeta militer tahun 1965 yang nyata-nyata kemudian itu juga menyebabkan adanya peralihan kekuasaan. Situasi-situasi itu. Nah, kita juga tahu bagaimana kemudian waktu Bung Karno sakit, ada oknum TNI yang kemudian mereka ikut berdemonstrasi untuk menurunkan Bung Karno.

Jadi situasi ini justru membuat atau memperlihatkan bahwa TNI ini serakah dan mau mengambil semua lini kehidupan masyarakat dengan satu fungsi komando itu. 

Apakah Anda juga melihat ada kepentingan kepala negara yang punya latar belakang militer sehingga kemudian menggunakan TNI sebagai alat kepentingannya sendiri dalam kekuasaan? 

Dari informasi tadi juga, teman-teman juga kan tadi barusan melakukan rilis. Teman-teman KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik), teman-teman PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), KALS, UGM ini tadi barusan selesai juga. Ada informasi bahwa ada telepon, ada pemanggilan secara langsung kepada sekretaris DPR itu ke presiden. 

Dan bayangkan di rapat ini, pengesahan RUU TNI ini menjadi prioritas pertama daripada RUU lain yang disahkan. Itu sudah menunjukkan bagaimana cawe-cawenya presiden atau dominasinya presiden dalam proses pembentukan peraturan. Itu kondisinya tidak akan baik dan pasti mengganggu sistem demokrasi. Ini karena kita sudah mengatur check and balances yang mestinya semuanya diatur secara berimbang. Akan tetapi, sekarang didominasi oleh kekuatan presiden yang berusaha melemahkan semua kekuatan sipil. Ini kondisi demokrasi yang tidak baik, tentu saja.

Apa yang bisa dilakukan dan diperjuangkan oleh masyarakat sipil untuk membatalkan RUU TNI secara hukum? 

Secara hukum tentu saja mekanismenya adalah judicial review. Jadi judicial review ini baik secara uji formil maupun uji materiil ini sangat mungkin sekali diubah. Apalagi kita juga tahu bahwa TAP MPR itu seperti apa. 

Tidak ada urgensi bahwa undang-undang yang sudah 20 tahun seperti kata naskah akademik, 20 tahun tidak diubah kemudian harus diubah setelah 20 tahun. Itu juga tidak ada jaminan sebenarnya harus diubah gitu ya.

Jadi sebenarnya undang-undang ini memberikan karpet merah bagi elit-elit TNI untuk mengambil jabatan-jabatan di sipil atau setidaknya memberikan sistem komando dalam hal menertibkan. Menertibkan dalam hal memberikan perintah satu pintu, monotafsir terhadap semua situasi.

Jadi ini sebenarnya hampir mirip dengan bagaimana mekanisme Hankamrata (Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta) merapikan masyarakat sipil begitu ya. Jadi kalau di semua lini semua terlaporkan, di satu sisi juga ini juga menunjukkan bahwa nanti PSN (Program Strategis Nasional) itu juga akan melibatkan militer juga. Kalau sekarang penglibatan militer secara kekerasan mungkin akan lebih agresif lagi.

Kemudian pemerintahan daerah itu jelas disebutkan. Pemerintahan daerah itu TNI juga diberikan porsi di sana, selain kewenangan pertahanan keamanan. Jadi ya kita tinggal menunggu hancurnya bangsa ini karena semua diatur dari satu pikiran tanpa ada data pembanding.

Toh indeks saham kita juga sudah turun. Bagaimana dolar ini kemudian juga akhirnya menyebabkan rupiah kita makin rendah. Saya tidak tahu kenapa presiden begitu ambisius. Padahal ini nanti juga akan jadi bumerang untuk teman-teman yang ada di parlemen. Ya bayangkan ketika militer mendominasi, maka parlemen itu sudah tidak ada fungsinya lagi.

Sebelum Undang-Undang TNI ini disahkan, sudah ada militer yang masuk ke jabatan yang tidak berhubungan dengan pertahanan, seperti Bulog misalnya. Bagaimana tanggapan Anda? 

Ya, sebenarnya ya, kita secara awam juga teman-teman pasti memahami kalau menempatkan TNI tidak pada tempatnya itu juga menjadi permasalahan.

Termasuk bagaimana kemudian Undang-Undang 61 Tahun 2024 di mana pembengkakan dari menteri-menteri gitu ya yang jumlahnya bukan saja 34 tapi kemudian staf-stafnya juga banyak. Kalau menterinya tidak kapabel ya diganti saja. Enggak perlu harus dengan wamen, enggak perlu dengan staf khususnya menteri, ada wamen gitu yang sampai jumlahnya 200. Padahal kita semangatnya kan sebenarnya efisiensi, katanya gitu.

Jadi ada inkonsistensi dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Prabowo. 

Terkait pengesahan RUU ini, kami melihat bahwa ada banyak upaya untuk membungkam suara rakyat termasuk demo tandingan dan banyaknya personel yang dikerahkan oleh negara. Juga beredar kabar bahwa beberapa organisasi mahasiswa ini sudah dikendalikan oleh negara. Bagaimana pendapat Anda?

Ya, sebenarnya kalau kita mau belajar, situasi ini mirip sekali dengan situasi-situasi yang kemudian terjadi di era transisi Bung Karno ke Orde Baru. Makanya, kemudian ini disebut dengan era Orde Paling Baru gitu kan. Karena ya memang situasinya repetitif. 

Tapi bukan hanya soal mengkooptasi itu. Akan tetapi, sebenarnya yang saya khawatirkan justru menundukkan elemen-elemen kekuatan yang sebenarnya menjadi tolok ukur reformasi. Kalau dulu reformasi ada kekuatan buruh dan kekuatan mahasiswa. Sedangkan kampus sekarang dengan Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023, kampus itu ditundukkan. Dosen-dosen tidak akan berani berbicara. 

Karena dia juga terancam kepada pembinaan atau pendisiplinan secara sepihak. Pesanan-pesanan itu muncul dalam lingkup kampus. Jadi pembinaan itu tidak didasarkan kepada dia melakukan pelanggaran atau tidak, tapi justru dilihat dari apakah itu menyinggung perasaan dari pejabat yang dia sebut. Jadi ada kondisi-kondisi yang seperti itu.

Kalau dikatakan mahasiswa banyak terkooptasi, saya pikir dulu juga banyak. Kita tidak perlu kaget soal itu. Aktivis reformasi juga banyak yang diam saja sekarang. Malah menjilat kekuasaan di sana. Jadi ya sebenarnya pola satu-satunya adalah dengan terus menyuarakan. Bahwa bentuk kesadaran itu adalah keyakinan yang pasti akan sampai pada puncaknya. 

Sebenarnya kan kita hanya perlu art. Jadi ini adalah art dalam menyampaikan pendapat. Akan tiba saatnya di mana seni itu akan sampai pada semua golongan, itu match. Dan kemudian akan sampai pada puncaknya. Dengan pola-pola yang dilakukan Prabowo ini, keteledoran-keteledoran dalam proses hukum, pelanggaran kejahatan legislasi, saya pikir momentum itu tidak akan lama.

Melihat kondisi dosen yang ditekan untuk tidak bersuara, tetapi Anda masih memilih untuk menyuarakan dalam beberapa hal termasuk turun aksi ini, apa pesan yang bisa disampaikan kepada dosen, mahasiswa, dan masyarakat yang sedang berjuang ? 

Dulu itu saya pernah diminta membacakan pidatonya Hatta. Sampai sekarang berkesan pada saya. Dia mengkritik menggunakan tulisan Juliet Brendra yang isinya adalah pengkhianatan kaum intelektual. Saya berharap, dengan adanya kondisi ini, saya yakin dosen dan mahasiswa juga bersama turun aksi.

Dan saya pasti memberikan reward pada mereka untuk penilaian, karena mereka tidak hanya bicara soal bagaimana menyelesaikan kasus hukum tata negara di kelas. Tapi sebenarnya mereka berbicara tentang upaya mengubah situasi ketatanegaraan yang buruk. Karena kalau kebiasaan ketatanegaraan yang buruk itu diteruskan, itu akan membuat seperti seolah-olah normal. Itu yang sebenarnya harus kita cegah bersama.

Sebenarnya situasi-situasi ini, saya yakin para dosen tidak perlu mendustai dirinya sendiri. Mereka juga pasti akan tahu atau secara tidak langsung sebenarnya mereka juga mendukung aksi-aksi ini. Merasakan bahwa apa sih yang mereka ajarkan. Kita mengajarkan rule of law tapi kejadiannya rule by law gitu kan. Kita mengajarkan bahwa kita harus taat pada konstitusi, orang presidennya melanggar konstitusi. Jadi sebenarnya apa yang mau kita ajarkan? 

Sebenarnya, kampus ini atau intelektual atau kekritisan ini boleh dikatakan lumpuh! Dan apakah kemudian kita akan membiarkan kelumpuhan itu mematikan akal sehat kita? Ya, satu-satunya cara harus bergerak. 

Penulis: Badra D. Ahmad
Editor: Mohammad Rafi Azzamy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.