Torey Hayden hanya mengikuti nalurinya ketika ia memutuskan untuk mengajar di sebuah kelas berkebutuhan khusus. Pilihan Torey membawanya bertemu Jadie, Jeremiah , Philip,  dan Reuben. Keempat muridnya yang masing-masing membutuhkan penanganan berbeda. Reuben yang seorang autis, Jeremiah yang sangat emosional, Philip yang menderita keterbelakangan mental, dan Jadie yang tidak pernah mau berbicara pada siapapun. Torey semakin membutuhkan kekuatan ekstra di kelas dengan masuknya Brucie, murid baru yang bersikap layaknya bayi meski sudah berumur enam tahun.

Torey begitu bersemangat meskipun membaca kondisi yang ada, sulit dibayangkan seseorang dapat bertahan dan memberikan perhatian kepada murid-murid di kelas khusus itu. Pengalaman dari pekerjaan Torey sebelumnya sebagai periset dan terapis di sebuah klinik memberinya keahlian khusus, membuatnya cepat membaca situasi dan menentukan tindakan di kelas. Ia sangat siap membantu semua murid di kelas, terutama Jadie.

Lenovo_A1000_IMG_20160814_143921

Kondisi yang dialami Jadie adalah minat riset Torey sejak lama. Torey sudah sering merawat anak-anak elective mutism seperti Jadie ketika menjadi terapis di Sandry Clinic. Anak-anak dengan elective mutism pada umumnya dapat berbicara secara normal bahkan tidak bermasalah secara akademis, hanya saja mereka menolak berbicara karena memiliki masalah psikologis.

Torey langsung terpana begitu bertemu dengan Jadie untuk pertama kalinya di kelas. Jadie dengan kepala menunduk dan tubuh nyaris terlipat ke depan tidak menjawab salamnya dan terus diam sambil mengerjakan tugas matematika. Namun dalam enam jam pertama di kelas, Torey berhasil membuat Jadie berbicara. Padahal wali kelas sebelumnya butuh bertahun-tahun untuk membuat Jadie berbicara.

Pada kesempatan-kesempatan selanjutnya Jadie mulai berbicara banyak hal pada Torey. Jadie mulai berdiri tegak, padahal ia selalu terlihat bungkuk di kelas. Jadie senang mengunci dirinya di dalam ruang ganti bersama Torey dan bercerita tentang apapun. Torey terkejut dan kemudian curiga dengan tingkah laku dan cerita Jadie. Ia melihat adanya trauma secara psikologis pada diri Jadie akibat kekerasan seksual. Dugaan kemudian mengarah pada kemungkinan tindakan kriminal terjadi pada Jadie di lingkungan keluarganya. Namun dengan fakta yang ada dan kebungkaman Jadie, penjelasan kasus Jadie berkembang pada tiga kemungkinan pendapat yakni psikologis, aliran setan, dan pedofilia.

Kisah Jadie merupakan karya nonfiksi yang ditulis Torey. Ia menceritakan semua upayanya membantu Jadie agar mau berbicara seperti anak-anak normal lainnya melalui buku Jadie: Tangis Tanpa Suara. Karya aslinya berjudul Ghost Girl: The True Story of a Child in Peril and the Teacher Who Saved Her. Jadie diceritakan melalui penuturan Torey sebagai orang pertama. Dalam tulisannya Torey cukup lihai membagi porsi kisahnya dan kisah Jadie, sehingga cerita tetap dapat menampilkan sosok Torey yang sabar nan pengertian sebagai guru anak-anak berkebutuhan khusus.

Torey dapat menjadi inspirasi bagi setiap guru yang mendedikasikan seluruh kemampuan untuk membuat murid-muridnya dapat berkembang. Menjadi guru yang berusaha memberikan keseimbangan dengan memahami kehidupan murid-murinya yang sulit. Meskipun buku ini merupakan karya non-fiksi terjemahan yang terjadi jauh di Amerika sana, kisah Jadie bisa saja dialami oleh anak-anak Indonesia. Kisah tentang guru dan murid ini tidak jauh dari realitas kita sekarang. Perhatian yang tulus dari seorang guru akan membuat murid berkembang. Sudah menjadi peran guru meyakinkan muridnya bahwa mereka mampu melakukan hal-hal yang mereka rasa sulit. (Ainun Syahida A. )

Judul Buku: Jadie, Tangis Tanpa Suara

Pengarang: Torey Hayden

Isi: 512 halaman

Penerbit: Qanita, 2003

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.