Dunia Anna Bukan Karya Terbaik Gaarder
Oleh : Rahmawati Nur Azizah*
Dunia Anna merupakan novel bertema lingkungan pertama yang ditulis Jostein Gaarder pada tahun 2013. Berkisah tentang Anna Nyrud seorang pelajar SMA yang mendapatkan wahyu untuk melakukan aksi penyelamatan lingkungan lewat mimpi.
Sedari awal novel ini langsung membahas mengenai climate change atau perubahan iklim. Gaarder menggambarkan kondisi dunia di tahun 2082, ketika Anna memimpikan dirinya memiliki cucu dan keadaan dunia sudah sangat berubah. Cadangan minyak dunia telah habis. Pada saat yang sama, banyak terjadi kepunahan binatang dan tanaman mati kekeringan. Berulang kali Anna mengatakan bahwa generasinya telah melakukan perampokan besar-besaran karena tidak menyisakan keindahan alam kepada generasi berikutnya.
Gaarder memberikan slentingan aspek politik dalam Dunia Anna. Ketika pemerintah digambarkan tidak sanggup mengontrol ekploitasi minyak karena minyak sudah menjadi komoditas dunia dan mampu menghasilkan banyak uang. Selain mengkritik, novel ini memiliki misi untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan terutama untuk pembaca usia muda. Hal ini tampak dari pemilihan tokoh Anna yang merupakan seorang remaja berusia 16 tahun.
Dalam sebuah wawancara Gaarder pernah menyebutkan bahwa dia ingin membuat karya bertemakan lingkungan, seperti ketika dia menuliskan karya bertema filsafat pada novel Dunia Sophie. Tidak heran karena Gaarder sendiri sudah lama menjadi aktivis lingkungan di tempat tinggalnya. Ketika penjualan Dunia Sophie meledak di pasaran, Gaarder dan beberapa temannya mendirikan sebuah yayasan bernama Sophie Prize. Tujuannya adalah mengapresiasi usaha dari kelompok atau perorangan yang bergerak dalam penyelamatan lingkungan. Namun sayang, program yayasan tersebut telah berhenti di tahun 2013 karena sudah tidak memiliki anggaran. Penghargaan terakhirnya diberikan kepada Bill McKiben, penulis sekaligus aktivis lingkungan pendiri website 350.org.
Penulis menilai, Gaarder terlihat bias ketika menggambarkan kondisi masyarakat Eropa dan masyarakat Timur Tengah dalam Dunia Anna. Gaarder seperti mengamini stereotype orientalisme, bahwa peradaban Barat selalu lebih superior dari pada peradaban Timur. Orientalism sendiri adalah stereotip atau pelabelan secara general mengenai orang orang Timur dari sudut pandang orang Barat. Edward Said menganggap bahwa penggambaran itu adalah mitos, namun saking seringnya dibicarakan maka seakan-akan mitos itu menjadi kenyataan bahwa masyarakat timur memang tidak rasional, bersifat mistik atau memiliki peradaban yang rendah dan lain sebagainya. Pembedaan paling tajam adalah ketika Rudyard Kipling, sastrwan Inggris, mengatakan bahwa: ” East is East and West is West, and never the twain shall meet” banyak yang menafsirkan kalimat itu sebagai anggapan bahwa Barat dan Timur memang berbeda dan tidak akan bisa disejajarkan, mereka tidak akan pernah bisa setara.
Dalam novel diceritakan, tahun 2082 Timur Tengah mengalami kekeringan besar dan seluruh negara terkubur oleh gurun. Alhasil masyarakat harus bermigrasi. Mereka bermigrasi ke Norwegia. Disini penggambaran yang jomplang terjadi. Masyarakat Timur Tengah melakukan perjalanan dengan unta, karena minyak telah habis. Masyarakat juga kembali melakukan barter. Dalam cerita tersebut seorang remaja Arab mengatakan bahwa mereka dulunya berasal dari golongan kaya, leluhur mereka mengendarai Mercedes bahkan Jumbo Jet, namun akhirnya mereka kembali mengendarai unta. Di sisi lain, Norwegia masih bisa memiliki bus dan mobil listrik. Ditambah lagi dengan penggambaran kebun binatang hologram yang sangat futuristik. Saat segalanya musnah, Eropa digambarkan masih bisa memiliki kecanggihan teknologi tinggi seperti itu. Ini merupakan sebuah penurunan peradaban yang sebenarnya tidak masuk akal.
Jadi apa Gaarder tidak bisa membayangkan orang Timur sanggup mencipta sasuatu untuk menghadapi keadaan darurat tersebut? Dengan timpangnya penggambaran Gaarder itu, entah disengaja atau tidak, memberi kesan bahwa Gaarder mempercayai stereotip orientalisme. Dan jika Anda belum tahu, Gaarder adalah seorang Norwegia. Bahkan penulis sekelas Gaarder masih percaya dengan stereotype macam itu? Sedikit kecewa dengan temuan tersebut, penulis berharap salah menafsirkan.
Dengan itu pula penulis menganggap Dunia Anna bukanlah karya terbaik Jostein Gaarder. Penulis lebih tertarik dengan Misteri Soliter dari Gaarder. Meski begitu penulis melihat Dunia Anna juga memiliki hal yang menarik, Gaarder lihai memainkan kritik-kritiknya melalui satir. Penggambarannya dalam novel ini juga penuh dengan teka-teki yang membuat pembaca harus berpikir lebih keras untuk mengetahui maksud Gaarder yang sebenarnya. Hal ini membuat kepala penulis cenat-cenut sekaligus penasaran. Gaarder juga memberikan banyak data-data lingkungan berbentuk artikel yang menarik, metode yang sama ketika dia menulis Dunia Sophie.
Pada akhirnya penulis suka dengan semangat Anna, seorang remaja yang terus mempertanyakan kejadian-kejadian di sekelilingnya. Dia juga sangat berapi-api dengan misi penyelamatan bumi yang dia pegang. Meski terlihat sulit sekali untuk ’melawan’ perubahan iklim di zaman sekarang–ketika lingkungan sudah dipolitisi dan menjadi komodifikasi–namun kita harus membayangkan Anna berbahagia dengan pilihannya.
* Mahasiswa Sastra Inggris FIB UB