Swasembada atau “Swasembada” ?
Oleh Muhammad Akhrizul*
Pada opini sebelumnya, sedikit banyak sudah saya bahas mengenai pangan Indonesia yang tak pernah cukup. Sudah tertera pula sedikit pandangan saya pada tulisan tersebut mengapa itu terjadi. Kali ini saya ingin mengangkat tema yang sama, namun isi yang berbeda.
Mungkin melihat judul diatas, akan terbesit pikiran “apa bedanya ?” ya memang sepintas kata yang ada sama, namun tanda petik dua mengisyaratkan bahwa kata yang lainnya memiliki makna lain. Swasembada sendiri memiliki artian mampu memenuhi kebutuhan sendiri dari hasil produksi sendiri. Setidaknya itulah yang dapat ditemui dengan mesin penjelajah terhebat didunia, Google.
Setidaknya dalam mindset rakyat Indonesia sekarang ini adalah bagaimana cara agar negara ini kembali mampu swasembada beras layaknya saat pemerintahan masa orde baru. Namun, apakah swasembada pada zaman tersebut memang swasembada atau “swasembada”. Swasembada yang kedua memiliki artian bahwa dipermukaan memang terlihat swasembada, namun apakah sampai ke dasar dari proses produksi tersebut tidak ada cacat ?, bisa saja ada hal-hal yang tidak diketahui khalayak umum, tetapi memiliki peran menciptakan “swasembada” tersebut. Maksud penulis disini sedikit meragukan swasembada zaman dulu, tidak ada maksud ingin menjelekan pemerintahannya, tulisan ini pun hanya sekedar pemikiran penulis belaka.
Sedikit menilik ke belakang, saat orde baru runtuh, terlihatlah bobroknya pemerintahan saat itu. Korupsi, Kolusi, Nepotisme (atau KKN) sangat merajalela sehingga saat hal tersebut terungkap, kepercayaan rakyat runtuh. Nah, melihat hal tersebut disertai dengan beberapa kabar yang juga tidak pasti, terlintas dipikiran “jangan-jangan swasembada zaman dulu duitnya dari KKN itu”. Tidak ada sejarah yang dapat dibuktikan dengan valid tanpa ada jejak yang jelas, kalaupun ada jejak jelas, apakah sumber jejak tersebut dapat dipercaya ?. Oke, ceritanya cukup sekian, melihat hal tersebut, boleh saja ada pihak yang beranggapan bahwa swasembada zaman dulu bukan swasembada yang sebenarnya.
Mungkin zaman dulu jumlah penduduk tak banyak, pangan murah, ketersediaan pangan berlimpah, sehingga terjadi swasembada beras. Poin pertama dan ketiga bisa dimaklumi, namun poin kedua sedikit meragukan. Sebagaimana diketahui bahwa harga pangan pokok dipegang oleh pemerintah. Sehingga bisa saja ada kebijakannya yang memberikan subsidi. Hal yang perlu digaris bawahi disini adalah darimana asal subsidi tersebut ?. Kebanyakan info yang tersebar tidak dapat memberikan gambaran pasti, kemungkinan terbesar adalah pengaruh pemerintahan yang kuat.
Sayangnya, swasembada yang terjadi tidak bertahan terlalu lama, reformasi muncul dan meruntuhkan pemerintahan orde baru. Dalan sekejap negara ini menjadi negara pengimpor beras terbesar se-Asia Tenggara, setidaknya itulah info yang didapat penulis. “Loh, kok bisa ?”, pastilah hal yang pertama terlintas jika belum mengetahui sejarahnya. Sejak reformasi, pemerintah terus berupaya menggalakan agar Indonesia kembali swasembada beras. Namun upaya tersebut sulit sekali tercapai, terakhir ada kabar bahwa pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berhasil mencapainya, namun hanya bertahan tahun itu saja.
Terlepas dari kebijakan pemerintah, swasembada beras di Indonesia amat sulit, namun jika swasembada pangan maka hal tersebut bukan mustahil. Pada tulisan saya sebelumnya sudah disebutkan bahwa tiap-tiap daerah memiliki pangan yang khas. Maka cara yang paling ampuh menurut penulis adalah agar tiap-tiap rumah tangga setidaknya mampu memproduksi pangan utamanya sendiri. Tidak perlu lahan yang luas, cukup kebun disekitar rumah yang dapat ditanami. Kendalanya adalah terbatasnya lahan yang ada, sehingga tidak memungkinkan tiap rumah tangga memiliki kebun sendiri.
Secara teori, setiap petani mampu menghasilkan pangan untuk beberapa orang. Kenyataan dilapangan berkata lain, pangan kita masih kurang!, sehingga impor masih diperlukan. Mugkin penyebabnya masih “dosa” pemerintahan sebelumnya, yang memaksakan nasi sebagai pangan utama. Sekarang, bayangkan jika petani tiap daerah memproduksi pangan yang sesuai dengan daerah tersebut. Bukan mustahil swasembada pangan tercapai, dan apabila konsumsi padi hanya dihitung pada daerah jawa, maka swasembada beras secara tak langsung juga mampu tercapai. Saat hal ini terjadi, diharapkan tidak ada kebijakan pemerintah yang “bermain di belakang layar”, tapi kenyataan dilapang memang mengatakan bahwa pemerintah kurang berpihak pada petani. Sehingga apabila kemungkinan tersebut dieliminasi, maka swasembada pangan yang sesungguhnya benar-benar tercapai.
Tindakan lain yang mampu membantu swasembada pangan menjadi nyata adalah dengan diversifikasi pangan, atau keberagaman pangan. Bukan melarang makan nasi, hanya menyarankan agar tiap hari tidak makan nasi, mungkin sesekali bisa makan ubi, atau jagung, dan bila menemukan, sagu juga bisa. Dengan menurunnya permintaan akan beras, maka otomatis petani sedikit kehilangan semangat menanam padi, dan memilih tanaman pangan lain yang harganya mulai naik karena naiknya permintaan. Sehingga langkah ini akan membantu terciptanya swasembada yang sebenarnya bukan “swasembada” yang hanya terlihat pada permukaannya.
*Mahasiswa “Malang” yang kuliah di Malang