Mempertanyakan ‘Keamanan’ Media Sosial
Oleh:Aulia Nabila
Media sosial ternyata bukan pertama kali muncul di tahun 2003 ketika Friendster dan MySpace mulai mendunia. Menurut situs sejarah Historia.co.id, tahun 1978, di Chicago, AS, lahirlah media sosial pertama yang disebut CBBS (Computerized Buletin Board System). Situs ini memungkinkan para pengguna untuk mengunggah pesan yang dapat dibaca oleh pengguna lainnya.
Seiring berkembangnya zaman, fenomena media sosial ini seakan tak pernah cukup memanjakan masyarakat dunia. Setelah Friendster dan MySpace, lahirlah Facebook dengan format sedikit lebih maju, yang kini di tahun 2014 mencapai 1,19 miliar pengguna, yang berarti lebih dari sepertujuh penduduk dunia. Kemudian Twitter menyusul dengan format baru yang disebut microblogging, yang memberikan kesempatan bagi pengguna untuk mengekspresikan apapun dalam batasan 140 karakter. Kemudian diikuti oleh Instagram dengan format khusus untuk berbagi foto dan video. Path, yang memungkinkan pengguna membagi segala momen seperti tempat yang dikunjungi, musik yang didengarkan, dan lain-lain. Vine, untuk berbagi video pendek dengan durasi 6,5 detik, semacam versi mini dari Youtube. Ask.fm, yang memberikan kesempatan untuk bertanya apapun kepada pengguna lainnya dengan menyembunyikan identitas (anonim).
Ini fenomena yang tidak dapat kita hindari. Berbagai format media sosial baru terus bermunculan bagai jamur. Hal ini memberikan dampak yang beraneka ragam terhadap masyarakat dunia.
Yang ingin dijadikan perhatian oleh penulis di sini adalah bagaimana media sosial seharusnya memberikan ‘keamanan’ bagi penggunanya. ‘Keamanan’ di sini tidak hanya mencakup soal privasi, namun juga mengacu pada kemanfaatan yang bisa didapatkan penggunanya.‘Keamanan’ di mana media sosial seharusnya bisa semakin mempermudah kehidupan kita, bukannya mempersulit.
Tak dapat dipungkiri, banyak manfaat yang bisa didapat oleh media sosial. Di antaranya kemudahan untuk berbagi informasi dan kabar terbaru. Jika Anda membutuhkan respon paling cepat, bagi saja di media sosial. Keuntungan respon cepat ini dimanfaatkan pula oleh parapublic figure, para pejabat tinggi dan bahkantokoh dunia,supaya‘lebih dekat’ dengan rakyat dan pengagumnya.
Namun tak sedikit yang mendapat kesulitan akibat adanya media sosial ini, entah itu didapat dari pengguna lainnya ataupun ia mempersulit dirinya sendiri. Ada yang lupa bahwa media sosial ini bukanlah goa kosong, di mana tak ada siapapun di sekeliling sehingga bisa bicara apapun tanpa mengganggu atau menyakiti orang lain. Sebagian lainnya mulai menganggap bahwa eksistensi di media sosial adalah salah satu dari kebutuhan primer mereka. Untuk memenuhinya, tak jarang orang-orang ini berusaha keras melakukan hal-hal yang membuat mereka bisa ‘diakui’ di media sosial. Mulai dari mengungkapkan hal-hal pribadi yang tidak perlu diketahui khayalak ramai, kemudian berdandan lama sekali hanya untuk mendapatkan foto bagus yang bisa diunggah, sampai menuliskan hal-hal yang sebenarnya kontroversial, entah itu mereka sadari atau tidak, hanya untuk mendapat perhatian dari pengguna media sosial lain. Hal ini pun diikuti dengan semakin banyaknya orang yang terlalu ingin tahu tentang urusan pribadi orang lain hingga banyak berkomentar dan bertanya hal-hal yang tak perlu.
Saking pesatnya berkembang, dapat dirasakan bahwa dunia media sosial ini mulai membentuk struktur masyarakat baru di dalamnya. Seolah-olah ada hierarki tersendiri di antara pengguna media sosial ini: yang ‘lebih eksis’ akan punya pengikut lebih banyak dari yang ‘lebih tidak eksis’, ada yang fotonya disukai ratusan orang, ada yang puluhan saja. Tipe-tipe orangpun mulai bisa dibedakan di media sosial Ada yang suka hanya memberi ‘like’, ada yang aktif mengkritisi permasalahan sosial, ada yang doyan menceritakan kehidupannya yang ‘berat’. Sampai-sampai masyarakat media sosial ini memiliki bentuk sanksi tersendiri bagi pengguna yang dianggap telah menyampaikan sesuatu yang tidak pantas, misalnya dalam bentuk komentar-komentar pedas bahkan sampai dikucilkan. Masih ingatkah Anda dengan kasus Florence Sihombing?
Berbicara tentang sanksi, bagaimana jika dilihat segi jaminan hukum? Mengacu pada Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat, khususnya pasal 9 ayat (1), kebebasan berpendapat yang diatur hanyalah dalam bentuk unjuk rasa, pawai, rapat umum, dan/atau mimbar bebas. Jadi penulis menyimpulkan bahwa belum ada produk hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur kebebasan berpendapat di media sosial. Belum ada aturan hukum yang memberikan batas-batas sejauh mana pengguna dapat menyampaikan hal-hal di media sosial. Sehingga sampai saat ini, lumrah-lumrah saja mengungkapkan apapun di sana, bahkan apabila itu membuat pejabat negara menjadi bahan bercandaan.
Pada akhirnya, penulis hanya ingin menekankan bahwa media sosial telah berubah wujud menjadi layaknya masyarakat yang sesungguhnya, di mana kita tak hidup sendirian di sana, sehingga seyogyanya penggunabisa menghormati pengguna media sosial lainnya. Penemuan-penemuan inovatif semacam ini harusnya membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik, bukannya saling menekan satu sama lain demi mempertahankan eksistensi masing-masing.
*mahasiswi FH UB 2012 dan pemilik akun @ayaaulian