Bincang Bincang Bersama Dalang.
MALANG-KAV.10 Namanya Dian Permana Putra, Pria yang lahir di Malang 11 maret 1994 ini kini berada di semester 3, jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Pembawaannya tenang, namun cukup mengagetkan atas pemberian jawaban yang tidak semua anak seumurnya mengetahui, tentang seni tradisional. Terutama kesenian wayang. Ia dikenal sebagai Dalang di fakultasnya. teman temannya sering memangilnya dengan sapaan sederhana, ”Dalang”. Sedari kecil memang ia menyukai dunia perwayangan dan ketika menginjak kelas 2 SMP barulah ia menggeluti dunia pedalangan.
Hari itu Senin, 16 desember 2013, langit siang itu terlihat mendung. Awan hitam tampak jelas, dan hujan pun akhirnya turun.
Ditemui di cafetaria UB, pria ini sedang bercengkrama dengan teman temannya. Selanjutnya kami beralih ke obrolan mengenai dia dan seputar dunia Pewayangan.
” Kalau dari keluarga saya tidak ada yang bergelut dalam dunia seni. Kalau masalah suka wayang itu, gak tau sih dari mana dari kecil emang suka wayang,” aku nya yang memang mulai mengenal dunia wayang ketika melihat acara wayang yang selalu di tampilkan di televisi setiap sabtu.
”Memang keluarga saya dulu, embah canggah saya itu dalang juga” tuturnya sembari menghabiskan sisa puntung rokok yang ia bawa.
Pria kurus ini pun mengatakan, pedalangan memang bisa dijadikan sebagai sebuah profesi, namun menurutnya ia tidak mau menjadikannya sebagai satu satunya pilihan. Karena memang mejadi dalang adalah hal yang sulit terutama dalam hal eksistensi dan pengkajian nilai nilainya, namun itu semua tergantung dari niat masing masing.
”Kalau dibilang susah ya susah. Kalau dibilang gampang ya gampang. Ya tergantung apa ya. Kalau punya niat dan semangat dalam menggeluti pedalangan ya akhirnya yang susah menjadi gampang. Ya walaupun memang susah tetapi ketika mau belajar dan berproses ya pasti bisa”
Ketersediaan buku-buku referensi untuk seni pedalangan, dianggapnya tidak telalu susah. Di toko toko buku, pemberian sang guru, dan beberapa dari keraton, disitulah ia biasa mendapatkan referensinya. Seiring dengan perkembangan teknologi, referensi tersebut juga bisa diambil dari sumber sumber di internet. Namun harus dikaji terlebih dahulu, supaya bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Refleksi dan Titipan anak cucu.
Beberapa bulan yang lalu, pria berumur 19 tahun ini juga mengisi acara Nidayaku, sebuah festival budaya yang diselenggarakan oleh BEM FIB UB. Berisikan parade budaya tradisional yang diselenggarakan selama dua hari. Di acara puncaknya, Dian mengisi dan menampilkan cerita Lakon Gatotkaca. Disitu Ia menggambarkan bagaimana Mahasiswa dan Gatotkaca memilliki kesamaan namun berada dalam dimensi yang berbeda.
”Saya kemarin mengambil cerita lahirnya gathot kaca. Ya kalau secara penggambarannya, Gatotkaca kan kesatria bagaimana dia di proses oleh dewa lalu dimasukkan ke kawah chandra dimuka. Sebenarnya saya merefleksikan sebagaimana mahasiswa di kampus, seperti halnya lakon gatot kaca sebagai mahasiswa dan kampus sebagai kawah Candradimuka” terang pria yang juga hobby futsal ini.
Dalam pewayangan kita mengenal Pandawa dan Kurawa. Pandawa memiliki watak kesatria, berjiwa pemimpin dan sifatnya baik. Sedang Kurawa adalah kebalikkannya, berjiwa iblis dan jahat. Wayang sendiri merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat jawa.
”Di wayang itu sendiri representasi dari perilaku masyarakat jawa. Wayang itu sebenarnya mengkaji diri kita sendiri. Contoh tokoh kurawa dan tokoh pandawa, itu sebenarnya ada dalam diri kita sendiri. Kalau kita memunculkan kurawa, bisa. Sifat kejelekan kita pokoknya yang jelek jelek tentang manusia, kita punya semua. Pandawa, bisa kita munculkan kebajikan kita. Tinggal kita memilih yang jelek atau yang baik” ungkapnya bijak.
Ketika ditanya bagaimana Ia melihat tradisi dan pesan-pesan untuk teman yang penasaran dengan pewayangan, Dian melontarkan sebuah peryataan baru. Menurutnya tradisi merupakan sebuah titipan bukan warisan.
”Silahkan kalau mau belajar, kalau mau mengenal dan ingin tau tentang dunia pedalangan dan pewayangan. Esensinya bagaimana kita mengenal budaya kita sendiri, itu minimal. Tidak ada kewajiban untuk kita harus bisa, tapi minimal kita tahu bagaimana wayang itu, bagaimana karawitan itu. Ketika kita mengenal saja tidak mau ya sudah.. Karena tradisi seperti ini, kalau menurut saya, itu titipan anak cucu. Bukan warisan leluhur malah. Ketika kita tidak bisa mempertahankan, anak cucu kita mau melihat apa tentang tradisi kita? ”
Menjadi Manusia
Di akhir wawancara ia menceritakan kisah favoritnya, sebuah kisah tentang bagaimana Bima Suci mencoba ”menjadi manusia” dengan cara mencari apa arti Tuhan. Karena manusia memang erat kaitannya dengan Tuhan.
”Bima Suci itu menceritakan bagaimana ia menjadi manusia. manusia itu sangat erat kaitannya dengan agama. Awalnya lakon Dewa Ruci terus menjadi Bima Suci” terangnya memulai cerita. Kemudian cerita tersebut berlanjut.
Pada awalnya Dewa Ruci mencari apa itu kayu gong susuhing angin. Kata tersebut berasal dari bahasa Kawi yang mana kalau diartikan satu persatu bermakna; kayu berarti Keinginan, gong itu besar, susuhing angin itu sarang angin. Apa itu sarang angin? Menurut Dian sendiri, saranga angin ini bermakna manusia itu sendiri. Karena manusia tidak bisa hidup tanpa angin. Dari situ Dewa Ruci tahu, bahwa manusia itu memiliki keinginan yang besar akan pengetahun. Lalu ia mencoba mencari apa yang dimaksud ilmu kehidupan, dan yang terakhir ketika ia disuruh untuk mencari tahu tentang Banyu Parwitosari.
Banyu parwitosari adalah sebuah simbol kesucian untuk mensucikan diri, yaitu dengan cara berdharma, dengan perilaku baik, menolong orang. Akhirnya Dewa Ruci pun menemukan sebuah tingkatan ilmu paling tinggi tentang ketuhanan. Maka jadilah ia Bima Suci. Bima sudah menjadi manusia yang seutuhnya karena sudah bisa mengenal Tuhan.
”Kalau direfleksikan ke kehidupan manusia sebanarnya bagaimana caranya kita mendapat kekuatan dalam menghadapi kehidupan, dan yang harus kita sadari semua kekuatan itu berasal dari Tuhan. ” pungkasnya menutup pembicaraan siang itu. (rhm)