KETIKA HUMAS KAMPUS MENYEMBUNYIKAN KOTORAN, PERS MAHASISWA MEMBONGKAR BAU BUSUKNYA!

0
Ilustrator: Az-zahra Aqilah Yasinisya Maulana
Ilustrator:Az-zahra Aqilah Yasinisya Maulana

Di dalam Ars Poetica-nya, Horace menulis “Non fumum ex fulgore, sed ex fumo dare lucem”—bukan asap dari cahaya, melainkan cahaya dari asap. Metafora kuno ini mengajarkan bahwa kebenaran sejati memancar justru dari ketidaksempurnaan yang berani kita hadapi, bukan dari kemilau palsu yang kita paksakan. Namun, apakah prinsip ini masih berlaku di lingkungan kampus yang terlalu sibuk menghias tampilan sementara membiarkan substansi membusuk?

Baru-baru ini, terjadi pengangkatan pembina UAPKM Kavling10 dari tubuh pejabat humas kampus, hal ini berpotensi mengoyak jantung independensi pers mahasiswa. Lembaga yang seharusnya menjadi mata dan telinga mahasiswa, sedang diupayakan untuk menjadi perpanjangan tangan birokrasi, sebagai “tim kecantikan” yang bertugas merias wajah institusi—tidak peduli seberapa banyak jerawat, komedo, dan noda yang perlu disembunyikan dari pandangan publik.

Tupoksi Pers Mahasiswa

Dalam lanskap kekuasaan kampus, pers mahasiswa berdiri sebagai entitas yang memiliki fungsi fundamental yang tak bisa dinegosikan: menjadi salah satu pilar demokrasi universitas. Sebagaimana dinyatakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, “Tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga untuk bebas dan mengatur diri sendiri”. Dalam konteks kampus, ini berarti menyingkap tabir kebijakan yang tidak transparan, menyuarakan aspirasi mahasiswa yang terbungkam, dan membuka ruang diskursus kritis tentang pendidikan tinggi.

Pers mahasiswa bukanlah institusi dekoratif yang hadir untuk memperindah halaman almanaknya kampus. Ia adalah organ vital yang bertugas menjalankan fungsi kontrol terhadap kebijakan rektorat yang sewenang-wenang, menyoroti inkonsistensi antara janji dan implementasi, serta mendokumentasikan narasi-narasi pinggiran yang kerap terabaikan dalam publikasi resmi. Dalam pengertian ini, independensi bukanlah sebuah privilese, melainkan prasyarat eksistensial bagi pers mahasiswa untuk dapat menjalankan tugasnya secara bermartabat.

“Quis custodiet ipsos custodes?”—siapa yang mengawasi para pengawas? Pertanyaan klasik dari Juvenal ini merefleksikan dilema abadi tentang mekanisme kontrol dalam struktur kekuasaan. Pers mahasiswa hadir sebagai jawaban atas pertanyaan ini, bertindak sebagai mata dan telinga civitas akademika untuk mengamati, mencatat, dan mengkritisi dinamika kekuasaan yang terjadi dalam lingkungan kampus. Tanpa kehadiran lembaga independen ini, universitas berisiko menjadi ruang otoriter di mana keputusan dibuat secara sepihak tanpa mekanisme akuntabilitas yang memadai.

Ketika sebuah institusi pendidikan tinggi mencoba menempatkan pers mahasiswa di bawah supervisi humas kampus, ini bukan hanya menjadi masalah administratif, melainkan sebuah kontradiksi yang mengancam eksistensi pers itu sendiri. Seperti ditulis George Orwell, “Jika kebebasan berarti apa-apa, ia berarti hak untuk memberitahu orang-orang apa yang tidak ingin mereka dengar”. Pers mahasiswa yang dijinakkan adalah pers yang telah kehilangan esensinya, layaknya singa ompong—masih terlihat gagah dari kejauhan, namun kehilangan kemampuannya untuk menggigit.

Humas dan Pers Tidak Pernah Sama

Dalam tradisi pemikiran kritis, Jürgen Habermas membedakan antara komunikasi yang berorientasi pada pemahaman mutual dan komunikasi yang berorientasi pada keberhasilan strategis. Paralelisme ini tepat untuk memetakan dikotomi fundamental antara pers dan humas. Pers, dalam idealitasnya, beroperasi pada ranah komunikasi yang berorientasi pemahaman—mencari kebenaran intersubjektif melalui dialektika argumentasi. Sebaliknya, humas secara inheren terikat pada logika komunikasi strategis—mendistorsi realitas demi mencapai tujuan spesifik, yakni membangun citra positif institusi yang diwakilinya.

Ada wacana, “UAPKM harusnya membantu kampus untuk memperbaiki citra,” yang mengungkapkan kesalahpahaman mendalam tentang hakikat jurnalisme. Humas bekerja dengan logika penghalusan realitas, menyembunyikan kotoran di balik narasi koheren tentang kemajuan dan prestasi. Pers, sebaliknya, justru bertugas membongkar bau busuk dari kotoran tersebut, mempertanyakan narasi dominan, dan membongkar struktur kekuasaan yang tersembunyi dalam kebijakan-kebijakan yang tampak netral.

Jika humas sibuk menciptakan kilau artifisial, membalut institusi dengan cahaya gemilang yang seringkali jauh dari substansi. Maka pers, di sisi lain, justru berusaha menemukan cahaya kebenaran dari balik kepulan asap propagandistik, menerangi sisi-sisi yang sengaja dikaburkan oleh narasi resmi. Menyatukan keduanya dalam relasi hierarkis dengan humas sebagai pembina adalah bentuk kekerasan epistemik yang tak termaafkan.

Dalam bukunya Amusing Ourselves to Death, Neil Postman memperingatkan tentang transformasi diskursus publik menjadi hiburan belaka. Fenomena serupa terjadi ketika pers mahasiswa dipaksa menjadi bagian dari mesin humas kampus—informasi berubah menjadi sekadar publisitas, kritik dinetralisir menjadi apresiasi, dan jurnalisme investigatif didomestikasi menjadi laporan kegiatan. Metamorfosis ini bukan sekadar perubahan bentuk, melainkan pengkhianatan terhadap telos jurnalisme itu sendiri. Pers yang berfungsi sebagai humas bukanlah pers sama sekali, melainkan promotor berkedok jurnalisme.

Paranoid Semu Rektorat

“Universitas Brawijaya sudah terkenal akan publikasi jurnal, namun masih banyak isu miring yang beredar”—kalimat dari Birokrat UB ini mengandung paradoks. Kampus yang membanggakan diri dengan produktivitas akademiknya, justru menunjukkan kerapuhan intelektual akut ketika berhadapan dengan narasi yang tidak sesuai keinginannya. Kondisi ini mengingatkan pada konsep paranoid style yang dikembangkan Richard Hofstadter—sebuah kecenderungan untuk melihat kritik sebagai konspirasi yang mengancam, bukan sebagai bagian integral dari diskursus yang sehat.

Max Weber dalam analisisnya perihal birokrasi modern telah memperingatkan tentang sangkar besi rasionalitas—struktur yang awalnya diciptakan untuk efisiensi namun berakhir membatasi kebebasan dan kreativitas. Keengganan rektorat untuk membiarkan pers mahasiswa beroperasi secara independen mencerminkan keterjebakan dalam sangkar besi tersebut. Ketika permohonan untuk mendapatkan pembina yang kritis direspons dengan pengangkatan pejabat humas sebagai pembina, jelas sudah ini adalah manifestasi dari ketakutan institusional terhadap suara-suara yang menyimpang dari narasi resmi.

Ironisnya, paranoia semacam ini hanya mengonfirmasi kelemahan substantif yang berusaha disembunyikan. Seperti dituturkan oleh Hannah Arendt, “Kekuasaan dan kekerasan adalah antitesis; ketika yang satu berkuasa secara absolut, yang lain absen. Kekerasan muncul justru ketika kekuasaan dalam bahaya”. Ketika rektorat harus bergantung pada mekanisme kontrol birokratis untuk membungkam kritik, jelas sudah indikasi absennya otoritas moral dan intelektual yang sejati. Universitas yang benar-benar percaya diri dengan integritasnya tidak perlu takut pada cermin—ia malah akan dengan sukarela mengundang kritik sebagai mekanisme refleksi diri untuk perbaikan kontinyu. Rektorat yang takut pada pers mahasiswa adalah rektorat yang, pada hakikatnya, takut pada bayangannya sendiri.

Redaksi Kavling10

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.