Gejolak Hidup Soekram Dan Hal–Hal Absurd Lainnya
Saudara, saya Soekram, tokoh sebuah cerita yang ditulis oleh seorang pengarang. Ia seenaknya saja memberi nama saya Soekram, yang konon berasal dari bahasa asing yang artinya – ah, saya lupa. Tapi sudahlah. Apapun nama saya, saya harus menerimanya, bukan? Pengarang itu sudah payah sekali kesehatannya, kalau tiba-tiba ia mati, dan cerita tentang saya belum selesai, bagaimana nasib saya – yang menjadi tokoh utama ceritanya? Saya tidak bisa ditinggalkan begitu saja, bukan? Saya mohon Saudara berbuat sesuatu.
Soekram adalah tokoh pemberontak, ia tak mau terlantar begitu saja lantaran ditinggal pengarang (yang katanya) meyusup ke lain dunia. Barangkali ia adalah seorang optimis, yang dengan usaha sekuat tenaga mencari teman si pengarang untuk berusaha membuka file-file lama tentang kisah-kisah dirinya yang belum terselesaikan, yang tersimpan dalam hardisk komputer pengarang. Soekram adalah tokoh inti buku ini. Seperti mahasiswa yang dengan daya dan upayan berusaha keluar atas kesewenang wenangan pemerintah, ia adalah tokoh yang menggugat pengarang. Menolak tunduk layaknya anak anak punk dengan ideologi Do It Yourself nya.
Buku yang dibagi kedalam tiga cerita ini seperti menyeret pembacanya untuk keluar dari novel ataupun cerita-cerita biasa. Pasalnya disini tokoh Soekram bebas dengan mudahnya menseting jalan ceritanya sendiri. Ia hidup bukan karena pengarang yang telah menjadikannya hidup. Ia hidup karena dia berusaha untuk hidup, meskipun pengarang telah mati. Berbeda dengan pengarangnya, tokoh karangan tak akan pernah mati. Ia dilahirkan bukan dari tanah ataupun segumpal darah. Ia dilahirkan dari sabda, dari pemikiran dan pembaca. Selagi masih ada yang membaca cerita tersebut, maka tokoh-tokoh didalamnya akan selamanya hidup. Tentu saja hidup dalam benak-benak pembacanya, mendiami pikirannya, lantas mungkin saja mempengaruhi pembaca untuk membuat tokoh serupa ataupun lebih unik dari dia.
Ketiga cerita tersebut adalah : Pengarang Telah Mati (2001) Pengarang Belum Mati (2011) dan Pengarang Tak Pernah Mati (2011). Secara keseluruhan seting buku ini adalah; Soekram bertemu teman pengarang dan memintanya menerbitkan ceritanya. Teman pengarang (editor) mencari file-file cerita Soekram yang belum selesai ditulis tersebut dan membacanya. Masuk ke cerita selanjutnya, setelah diterbitkan ternyata pengarang belum mati, sang editor tersebut bertemu si pengarang (yang kabarnya telah mati) di sebuah warung kopi. Ia kaget bukan main. Pengarang menjelaskan bahwa cerita yang telah diterbitkan tidak sama dengan apa yang ia tulis, ia berargumen barangkali terkena virus, atau memang terlanjur ditulis sendiri oleh Soekram, sang tokoh inti cerita yang narsis dan ambisius akan dirinya sendiri. Lalu pengarang memberikan file aslinya, sang editor pun membacanya namun kebingungan melanda dirinya. Akhirnya ia memutuskan untuk menerbitkan lagi draft itu. Pada akhirnya datanglah Soekram ke editor. Ia tak mau lagi jadi tokoh yang terus-terusan dipermainkan pengarang. Ia ingin membuat ceritanya sendiri. ia ingin lebih abadi lagi. Ia ingin menjadi pengarang yang meskipun raganya mati namun namanya akan selalu dikenang pembacanya, melebihi tokoh tokoh dalam cerita yang dibikinnya, meskipun Soekram tak akan pernah mati namun ia ingin menjadi lebih abadi lagi. Akhirnya Soekram memberi file buatannya sendiri tersebut.
Saat itu pula si editor atau dalam buku ini disebut ‘ teman pengarang’ merasa kebingungan, dalam kisahnya tertulis “Aku lebih suka diam sebab tidak mau terlibat dalam masalah hubungan-hubungan antara pencipta dan yang diciptakannya. Tetapi siapa lagi yang harus terlibat kalau bukan aku. Baik yang diciptakan maupun yang menciptakan telah menemuiku memasalahkan hal itu dan keduanya meminta bantuanku untuk berbuat seseuatu.”
Seperti itu kronologis buku Trilogi ini. Namun plot seperti ini tidak membuat pembacanya bosan ditengah jalan karena terlalu banyak hal-hal diluar kepala yang berhamburan disini. Soekram, tokoh utama, justru terlihat lebih aktif, lebih komunikatif ketimbang sang pengarang yang penggambarannya sangat misterius. Soekram lebih mengeksplorasi jalan cerita, tak seperti cerita pengarang di chapter dua; Pengarang Belum Mati (yang merupakan karangan asli pengarang) yang menurut saya tidak terlalu berani.
Dalam bagian tersebut Soekram dengan ideologi ayahnya, tunduk dan patuh dengan segala aturan. Tak seperti adiknya yang militan dan lebih membela kaum bawah. Dalam chapter tiga, Pengarang Tak Pernah Mati, Soekram melompat-lompat dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak mungkin menjadi mungkin. Ia merombak habis habisan cerita Sitti Nurbaya karangan Marah Rusli. Ia menghajar dengan sadis kebengisan Datuk Maringgih dan membuatnya sebagai pahlawan di kampungnya, yang dikagumi banyak orang dan juga Nurbaya.
Ia memutar balik cerita itu hingga Nurbaya tergila-gila dengan Datuk dan Datuk yang merasa dicintai wanita muda dan dengan idealisme nya menolak cinta itu, namun pada akhirnya goyah juga idealismenya. Pada suatu ketika Soekram bertemu Marah, Dialah Marah Rusli sang pengarang cerita Siti Nurbaya itu. Marah Rusli marah atas sikap kurang ajar Soekram yang tanpa seizinnya memutarbalikkan cerita yang ia buat itu. begini bunyi salah satu adegan dalam buku itu;
“Kau menciptakan mereka lagi sekarang, tanpa meminta izin dariku!”
Nah!
“Kau selama ini berkelit ke sana kemari dengan maksud yang tidak jelas. Dan sekarang kau melakukan sesuatu yang persis sama dengan yang telah kutuduhkan pada pengarang itu.”
Ya, tapi pengarang itu telah mati meninggalkanku dan kawan-kawan sehingga tidak jelas nasibnya. Dan malah kemudian membuat cerita baru yang sama sekali tidak menyebabkan nasibku juntrung.
“Saya tidak menciptakan Nurbaya. Saya adalah rekan senasibnya.”
“Pikiranmu kacau, Kram. Aku tidak mau terlibat dalam kekacauan itu, sama sekali. ”
Soekram memposisikan dirinya sebagai seorang tokoh yang terlantarkan, dan menganggap Nurbaya juga demikian. Atas permainan pengarang, tokoh-tokoh tersebut mereka kehendaki untuk menjadi apa saja. Marah Rusli membunuh Nurbaya melalui tokoh Datuk Maringgih, pengarang Soekram memisahkan nya dengan wanita idamannya dan meninggalkannya sendirian dalam folder file in edita tanpa pernah (sebelumnya) terbaca oleh pembaca. Pengarangnya, dari sudut pandang Soekram, adalah Tuhan yang tidak bertanggung jawab.
Hal hal aneh dan tidak jelas banyak terjadi dalam kisah kisah dalam trilogi ini. Sampai sekarang saya masih belum mengerti apa makna “bukit bukit pasir yang bergeser dalam hatinya” dalam cerita Pengarang Telah Mati. Hal serupa juga muncul dalam Pengarang Belum Mati “Jangan Makan Pasir Di Padang Pasir ” atau “Jangan Kunyah Pasir Itu Soekram, Jangan! ” ketiga kalimat tersebut sering sekali muncul di akhir cerita pada bagian satu dan dua.
Entah apa maknanya. Barangkali pasir dianggapnya seperti harapan-harapan Soekram. Barangkali pasir yang bergeser berarti harapan-harapan Soekram yang dengan mudahnya tergeser oleh ’tiupan’ waktu dan situasi yang ia alami. Barangkali Soekram tak boleh terlalu banyak ’memakan harapan’ pada bukit-bukit harapan yang telah ia buat sendiri dalam imajinya. Barangkali pengartian yang hanya tebakan diatas juga tak seperti arti yang sengaja dibikin Sapardi.
Buku yang cutting-edge, tak seperti buku lain yang pernah saya baca sebelum sebelumnya. Lompatan-lompatan cerita di dalamnya membuat pembacanya mengarungi emosi yang tidak terlalu serius namun tetap dalam dan menyenangkan. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan akan hal-hal yang tidak jelas dan kabur dalam cerita ini, lalu hilang begitu saja diiringi gelak tawa, ketika mendapati Soekram dengan mudahnya mengonta-ganti plot cerita.
Dalam buku ini pula terlihat bagaimana hubungan paling kompleks antara pengarang dan tokoh di dalam tulisannya. Barangkali kalau semua tokoh dalam tulisan bisa hidup seperti Soekram, mereka juga akan menggugat pengarang dan meminta atau bahkan berusah membuat jalan ceritanya sendiri.
Penulis: Rahmawati Nur Azizah
Judul Buku: Trilogi Soekram
Pengarang: Sapardi Djoko Damono
Isi: 273 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Maret 2015