Menggusur Mahasiswa Abadi
Anggria Ahda Mawadati*
JAKARTA – Pemerintah membuat aturan baru yang mempersingkat batas maksimal durasi masa pendidikan sarjana (S-1), dari semula maksimal tujuh tahun menjadi paling lama lima tahun. Aturan baru itu tertuang dalam Permendikbud 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT).
(Jawa Pos, 14 Agustus 2014, http://www.jawapos.com/baca/artikel/5789/Kuliah-S-1-Maksimal-Lima-Tahun)
Saya teringat salah satu scene film tanah air berjudul “5 cm” ketika mendengar isu mengenai peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) tentang pembatasan durasi masa pendidikan bagi para mahasiswa. Di film yang sempat booming pada akhir 2012 lalu itu, ada seorang tokoh berbadan subur dan berkepala botak yang bernama Ian. Ian ini adalah seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi di kampus ternama ibukota yang hobinya main game dan nonton film porno. Tapi gara-gara hobinya sering melototin komputer itu, otaknya menjadi agak lemot sehingga skripsi dan lulus kuliahnya pun molor.
Sukonto Legowo, tokoh yang didapuk sebagai dosen Pembimbing Akademik (PA) Ian ini pun tak henti-hentinya mengingatkan Ian untuk segera merampungkan kuliahnya. Dan salah satu dialog antara Sukonto dengan Ian yang paling berkesan di benak saya ialah ketika Sukonto berkata demikan, “Ian, kamu SD berapa tahun? Kalau kamu menyelesaikan kuliah kamu enam tahun, berarti otak kamu, otak anak SD!!!”
Dari tokoh Ian di film “5 cm” itu saya mengekspektasikan begitu berharganya arti sebuah toga, baju wisuda dan selembar ijazah bagi makhluk bernama mahasiswa. Iya, memangnnya apa lagi? Dulu, saat diterima menjadi mahasiswa baru (Maba), orang tua kita memang menyematkan amanat dengan penuh rasa bangga dan harapan bagi anaknya agar cepat lulus kuliah lalu mendapat pekerjaan.
Berbicara mengenai Permendikbud 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT), saya rasa niat Mendiknas itu baik dengan dikeluarkanya peraturan tersebut. Peraturan ini memberi wejangan bagi para mahasiswa untuk me-manage waktu studi yang ditempuhnya. Ketentuannya yaitu mahasiswa S-1/D-4 diberi batas waktu 4–5 tahun (8–10 semester)beban belajar minimal untuk menuntaskan seluruh beban SKS (Satuan Kredit Semester) sebesar 144 SKSyang harus ditempuh. Nah, bukannya dengan diberlakukannya peraturan seperti ini justru akan mengurangi populasi mahasiswa di suatu Perguruang Tingggi? Bukannya dengan semakin berkurangnya populasi mahasiswa di Perguruan Tinggi tersebut maka berkurang pula segala ke-riwueh-an dan kemacetan di kota tersebut?
Jika diperhitungkan, masa pendidikan di Perguruan Tinggi selama 4-5 tahun toh bukan waktu yang sebentar. Semestinya, waktu selama itu sudah cukup bagi mahasiswa untuk “sekadar” mengantongi ijazah. Antisipasi agar mahasiswa tidak tertinggal kurikulumnya,, pembatasan masa kuliah inilah jawabannya. Jika ada mahasiswa yang kuliah hingga tujuh tahun, ada potensi seorang mahasiswa mengalami dua kurikulum berbeda dalam porsi yang hampir sama yakni empat tahun dan tiga tahun.
Tentu perspektif ini akan berbeda bagi para mahasiswa organisatoris. Bukan berbicara tentang pembatasan waktu melainkan tentang pengalaman, bukan bicara soal kuantitas melainkan kualitas. Pembatasan masa pendidikan di bangku kuliah ini dianggap menjadi sandungan bagi mahasiswa yang merasa di bangku kuliah lah mereka dapat mengeksplor segala potensinya. Sehingga apabila target lulus dan wisuda menjadi beban maka akan menghancurkan potensi tersebut. Selain itu, alasan beberapa mahasiswa telat wisuda juga bukan melulu tidak fokus pada kuliahnya tapi banyak pula mahasiswa yang kuliah sambil kerja.
Tidak seperti KTP atau SIM yang bisa diperbarui lima tahun sekali, ini masalah maksimal lima tahun adalah harga mati. Dengan aturan yang baru ini, ancaman Drop Out (DO) gara-gara tidak segera lulus akan semakin mepet. Kuliah S-1 atau D-4 ditempuh selama empat tahun (delapan semester), normalnya. Dengan demikian, batas toleransi kemoloran kuliah hanya diberi waktu satu tahun (dua semester). Jika lewat dari lima tahun, mahasiswa tentu terancam di-DO. Di Universitas Brawijaya sendiri yang memberlakukan SPP Progresif bagi mahasiswa yang kuliahnya sudah memasuki tahun kelima dan seterusnya itu, saya rasa juga merupakan bagian dari ancaman DO hanya saja tidak represif.
Lulus kuliah tepat waktu memang idaman, idaman bagi para orang tua maupun calon mertua. Lagipula kenapa tidak segera menggapai gelar sarjana, kalau Tes CPNS 2014 sudah dibuka?
*Mahasiswi Hubungan Internasional, pemilik akun @anggriaahda
semangat untuk semua para mahasiswa