Bersama Taufik Ismail, Mencetak Generasi Muda Gemar Membaca

0

Taufik Ismail sedang menceritakan jalan hidupnya sebagai sastrawan. (Dok. Fakhruddin)

Taufik Ismail sedang menceritakan jalan hidupnya sebagai sastrawan. (Dok. Fakhruddin)
Taufik Ismail sedang menceritakan jalan hidupnya sebagai sastrawan. (Dok. Fakhruddin)

 

MALANG-KAV.10 Mempelajari sastra bukan hal yang membosankan. Sebuah karya sastra akan tercipta mulai dari giat membaca dan menulis. Taufik Ismail salah satunya, beliau menceritakan pengalamnnya pada Malam Pujangga 2014 yang diselenggarakan pada (17/04) di Gedung Sasana Budaya Universitas Negeri Malang (UM). Taufik panggilan akrab sastrawan nasional ini, mengawali kiprahnya dalam dunia sastra sejak usia 10 tahun.

Pada dasarnya Taufik bukanlah orang yang bergelar sarjana sastra, melainkan lulusan dari sebuah fakultas kedokteran dan peternakan pada saat itu. Taufik dibesarkan dari keluarga yang gemar membaca, meski orangtuanya berlatar belakang sebagai dokter.

Inspirasi menulis karya sastra muncul berawal dari sebuah tulisan tajuk rencana ayahnya yang dimuat di surat kabar dan puisi karangan ibunya yang dimuat disebuah majalah perempuan. Pada saat itu Taufik sontak kaget membaca karya orangtuanya.“Kalau karya ayah dan ibu saya bisa dimuat, kenapa taufik tidak mencobanya?” kata Taufik ketika dalam talkshow. Dari sanalah Taufik terdorong kuat untuk menjadi penulis.

Di usianya yang masih belia delapan tahun, beliau sudah pernah menamatkan membaca satu novel “Tak Putus Dirundung Malam” dalam waktu semalam. Sejak saat itu Taufik ingin sekali menjadi novelis, karena kagum melihat karya sastra novel yang selalu berhalaman tebal. “Saya ingin jadi novelis yang bisa menuliskan buku-buku berhalaman tebal,” sambung Taufik. Namun, dalam perkembangannya ternyata Taufik lebih banyak memilih karya sastra puisi sebagai jalan hidupnya, hingga sekarang disebut sebagai sastrawan legendaris Indonesia. Akhirnya cita-cita Taufik tersampaikan menginjak usia 10 tahun. Ketika itu Taufik mengirimkan karya puisi pertamanya dan diterbitkan di harian Sinar Baroe.

Memasuki pendidikan SMA, Taufik pernah mendapatkan beasiswa AFSIS (America Field Service International Scholarships) di Amerika Serikat. Disana beliau sempat terkagum-kagum dengan kondisi gedung perpustakaan yang selalu dipenuhi siswa untuk membaca pada saat itu. Membawa pengalaman dari Negeri Paman Sam, Taufik ingin sekali Indonesia seperti negara dibenua Amerika dan Eropa. Menurut Taufik budaya gemar membaca Indonesia pada zaman Belanda  dulu, sama seperti di negara barat pada saat ini, menamatkan 25 judul buku. Berbeda dengan kondisi gemar membaca pada pemuda-pemuda Indonesia pada saat ini yang dinilainya mengalami penurunan drastis. Kurang dari 3 buku dibaca pertahunnya.

Beliau sangat menyayangkan generasi muda Indonesia yang minim sekali gemar membaca apalagi menulis.Sehingga tidak bisa dipungkiri, kalau pendidikan di Indonesia saat ini berada di peringkat bawah dibanding negara-negara tetangga.

Menurut Taufik, membaca buku-buku sastra sebenarnya banyak sekali pelajaran-pelajaran yang akan didapatkan. Dan melalui karya sastra secara tidak sadar kita sudah menanamkan budaya gemar membaca dan kecintaan menulis kepada anak kita. Pelajaran hidup yang dapat diambil dari talkshow ini ketika generasi muda Indonesia tidak boleh “Rabun membaca buku dan pincang menulis karangan.”

Sehingga dengan kondisi yang memprihatinkan seperti saat ini, Taufik menghimbau kepada generasi muda untuk gemar menulis satu minggu sekali, sehingga akan terangkum 36 karangan dalam satu tahun. “Hal tersebut sama halnya seperti membaca pelajaran sastra di Eropa dan Amerika pada saat ini”, tutupnya. (fak)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.