Masih Pantaskah Malang Menyandang Status Kota Layak Anak?
Oleh: Ivan Yusuf
“The true character of a society is revealed in how it treats its children”
-Nelson Mandela
Dalam struktur demografi, anak adalah salah satu kelompok rentan yang keberadaanya cukup penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Pada pundak merekalah masa depan, cita, dan harapan masyarakat dibangun. Namun sayang, sebagai kelompok rentan, anak juga di hadapkan pada sebuah realita masyarakat bahwa mereka yang “lemah” akan selalu menjadi yang tertindas. Pelbagai berita tentang kekerasan pada anak pun seolah menjadi hal yang biasa didengar oleh telinga kita. Lembaga formal seperti pendidikan yang sudah sepantasnya memberikan rasa aman bagi anak kenyataannya juga turut menyumbangkan angka kekerasan. Jaminan keamanan bagi anak lantas menjadi sebuah utopia yang diimpikan bagi setiap masyarakat kita.
Menyadari hal tersebut, pemerintah berupaya untuk menggandeng partisipasi dari masyarakat dalam sebuah komunitas wilayah untuk bersama-sama menciptakan ruang yang aman bagi anak. Upaya tersebut sering kita dengar dengan istilah Kota Layak Anak (KLA). Program KLA adalah sebuah program penghargaan yang diberikan pemerintah pada sebuah wilayah yang berhasil memenuhi prasyarat aman untuk ditinggali anak. Kota Malang yang acapkali didengungkan sebagai Kota Pendidikan itu secara berturut-turut juga berhasil mendapat predikat sebagai Kota Layak Anak (KLA). Keberhasilan tersebut bermakna bahwa kota Malang berhasil memenuhi standar aman untuk ditinggali anak. Namun benarkah realitanya demikian?
Sebelum berangkat lebih jauh membedah realita aman di kota Malang, alangkah lebih baik untuk mengenali indikator-indikator “aman” yang selama ini dijadikan standar KLA oleh pemerintah. Indikator pertama adalah kelembagaan yang melingkupi urusan-urusan formal pemerintah daerah, seperti peraturan tentang anak. Kedua adalah hak sipil kebebasan. Ketiga, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif. Keempat, yaitu kesehatan dasar dan kesejahteraan. Kelima, menyoal pendidikan dan pemanfaatan waktu luang dan kegiatan kebudayaan. Kemudian yang keenam, mengenai perlindungan khusus bagi anak-anak yang mengalami kekerasan atau kondisi keterbatasan seperti disabilitas.
Mengutip sebuah untaian bijak dari seorang aktivis kemanusiaan terkenal, Nelson Mandela, “The true character of a society is revealed in how it treats its children.” Pepatah tersebut berusaha memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa anak-anak mereka adalah “mahkota nilai” paling berharga yang sudah sepantasnya dijaga dan dilindungi dengan baik.
Satu hal yang perlu menjadi perhatian penting untuk memastikan mahkota tersebut tetap aman dan terjaga adalah menentukan dimanakah mahkota itu sering digunakan. Jawabannya jelas tentu di kepala. Sama halnya dengan anak, kita perlu mencari tahu dimanakah anak-anak kita banyak menghabiskan waktunya. Banyak dari kita mungkin akan menjawab relatif, tergantung dari rentang usia si anak. Pada anak usia pra sekolah mungkin akan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, sementara anak yang sudah memasuki usia sekolah akan lebih banyak berada di sekolah atau lingkungan bermainnya. Tetapi secara garis besar, lingkungan yang tidak akan terlepas dari anak adalah lingkungan pendidikan.
Menyoroti lingkungan pendidikan yang ideal untuk keamanan anak akan sangat menarik jika kita menyoroti realita yang ada di Kota Pendidikan seara langsung; kota Malang. Kota yang terletak di sebelah selatan dari Surabaya tersebut sejak lama didengungkan menjadi Kota Pendidikan. Banyak berdirinya perguruan tinggi bergengsi hingga prestasi pendidikan masyarakatnya yang sudah mencapai skala nasional menjadi alasan tersendiri bahwa Malang layak untuk mendapatkan gelar tersebut.
Namun ironisnya, baru-baru ini Malang sedang digemparkan dengan kasus pelecehan seksual di SDN Kauman 3 yang dilakukan oleh salah seorang oknum guru setempat. Pelecehan seksual yang berhasil melukai 20 orang siswi tersebut dilakukan di tempat yang sudah sepantasnya menjadi rumah kedua bagi anak, yakni sekolah. Tidak berhenti disitu, pada tanggal 4 April 2018 Malang juga di hebohkan dengan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh siswa SMAN 2 Malang. Lagi-lagi motif aksi tersebut di latarbelakangi oleh perilaku tidak menyenangkan yang dilakukan oleh oknum sekolah terkait. Siswa SMAN 2 Malang yang seringkali mendapat sindiran hingga tekanan psikologis di lingkungan sekolah merasa tidak nyaman hingga merasa perlu menurunkan paksa sang kepala kekolah, aktor yang menjadi sasaran pada demo tersebut. Kedua kasus besar yang terjadi di Malang tersebut seolah menegaskan kepada kita bahwa lembaga pendidikan formal setingkat sekolah pun nyatanya tidak menjamin keamanan bagi anak.
Apabila kita amati kembali pada indikator Kota Layak Anak (KLA), khususnya pada poin kelima mengenai pendidikan. Kedua kasus besar di Malang tersebut jelas menyalahi indikator KLA. Meskipun kedua kasus besar tersebut terjadi di tahun yang berbeda dan dengan jumlah yang tidak signifikan, kualitas kota Malang sebagai Kota Layak Anak tentu sudah tercederai. Belum lagi, pemandangan tentang anak-anak jalanan yang seringkali menjadi Polantas “dadakan” di sepanjang jalan layang Klojen atau anak-anak yang dipaksa mengemis di sudut kota Malang. Maupun kasus-kasus lain yang sebenarnya terjadi disekitar kita seperti ; perundungan (bullying), kekerasan dari teman sebaya, atau mempekerjakan anak di bawah umur yang kebanyakan dari kasusnya belum terekspos secara publik.
Jika sekolah sendiri sebagai lembaga formal pendidikan belum berhasil menjamin rasa nyaman bagi anak untuk memperoleh haknya dalam belajar, lantas di mana kah anak-anak kita bisa merasa aman? Fenomena miris ini tentu bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Impian Malang untuk menjadikan kotanya ramah dan aman untuk ditinggali anak adalah tanggung jawab kita bersama. Tentu setiap dari kita akan berandai, suatu saat nanti Malang akan benar-benar menjadi kota yang tidak hanya menyandang predikat Layak Anak tetapi juga berhasil mengimplementasikan kepercayaan tersebut tanpa terkecuali.