Sayap-Sayap Patah di Jalan Panjang
Oleh: Khoyrudin
Judul Buku : Sayap-Sayap Patah
Penulis : Kahlil Gibran
Penerbit Buku : Navila
Tahun Terbit : 2010
Tebal : 115 Halaman
Pendeta Galib, seorang pendeta yang tamak dan memainkan perannya jauh dari kata suci. Ketamakan dan kerakusannya telah merenggut kebahagian banyak orang. Celakanya orang taat sebagai korban hanya menganggap itu semua perintah Tuhan seperti sebuah peribadatan wajib. Orang taat beragama pun mengiyakan semua apa yang telah mereka katakan walau itu salah. Semua orang tunduk bersujud kepada pemuka agama seperti kawanan ternak yang digiring menuju tukang jagal. Mereka siap masuk jurang jika pendeta menyuruhnya.
Sedangkan, Affandi Karamy adalah hartawan jujur dan seorang yang taat beragama. Dia adalah sosok yang sangat jarang dibandingkan orang kaya lain, berkepribadian lembut serta santun. Pribadi dermawan dan baik ke semua orang ini tidak pernah membeda-bedakan manusia atas kekayaan dan statusnya. Namun pada akhirnya hanya menjadi korban dari pendeta yang telah memperbudak agama untuk menindas orang-orang taat.
Bersama putrinya Salma Karamy, Affandi awalnya memiliki kehidupan yang damai di rumah besarnya yang jauh dari keramaian. Apabila ada yang mau berkunjung kerumahnya akan menemukan taman yang luas dan ditanami berbagai bunga yang indah. Di sana tamu itu dapat melihat indahnya purnama jika waktunya tepat.
Kini pendeta Galib telah merampas itu semua. Ajakan rundingan di rumahnya ternyata membahas perjodohan Salma dan Manshur Bek Galib keponakannya yang culas, tamak dan sifat-sifat buruk lainnya yang telah tergabung menjadi satu dalam diri Manshur Bek. Affandi hanya berkata “iya”, tak ada kata menolak untuk pendeta Tuhan bagi seorang umat taat. Berita itu dibawanya dengan berat hati, putrinya harus segera lepas dari tangannya.
Sayap-sayap cinta Salma pun patah, mendengar dirinya akan dinikahkan sesaat setelah ia bertemu pujaan hatinya. Malam itu sinar rembulan berubah pucat. Sebagai perempuan jaman dulu keputusan ayahnya yang dijebak “agama”, Salma tidak dapat mengelak. Salma kini telah menjadi korban status perempuan yang direndahkan kala itu.
Keluarga ini resmi menderita bersama-sama dengan keputusan gereja akan pernikahan Salma. Keduanya harus berpisah, Affandi sendiri di rumah megahnya, sementara Salma pergi bersama suami biadabnya. Kemudian Manshur dan Pendeta Galib menjadi pemenang dalam pertaruhan nasib yang mengatasnamakan “agama” ini.
Sayap-sayap Salma semakin patah. Sebenarnya pribadi Salma bisa dikatakan seperti Kartini ala Indonesia, namun nasibnya tak seberuntung Kartini. Beban dari suami dan budaya yang ditanggungnya cukup berat. Sempat ia curahkan kesedihan pada kekasihnya yang setia menerima keluh kesahnya. Banyak pula pendapat yang ia ceritakan pada kekasihnya mengenai kehidupan.
Salma adalah perempuan masa depan dan masa lalu. Ia memiliki visi yang bagus tentang kehidupan wanita seharusnya dan jika hidup saat ini dia mampu memanen apa yang ia harapkan. Namun ia terjebak dalam peradaban masa lalu. Apalah daya yang bisa ia perbuat? Sebagai wanita yang terjerat oleh peradaban dan “agama”.
Begitulah Kahlil Gibran berusaha menggambarkan keadaan agama yang dimainkan oleh seorang pendeta untuk keuntungan pribadinya. Lepas dari romansa cinta yang kental dari Sayap-Sayap Patah Gibran, tergambar kisah saat pemuka agama sebagai orang suci telah menodai apa yang telah mengangkat derajatnya. Dalam kisah fiksi nyaris nyata ini mungkin hanya mengorbankan sebuah keluarga kecil, secara realita bisa lebih mengerikan karena negara pun saling bertempur gara-gara “agama”.
Agama seolah-olah menjadi alat yang mampu menyulut permusuhan. Ada yang rela mati dan menjadi korban. Ada yang bahkan mencapai tahap genosida akibat terprovokasi ayat yang diotak-atik demi tujuan pribadi tertentu. Akibat dari bermainnya kepentingan muncul fobia-fobia terhadap agama yang sering dianggap dalang teror. Yang pada akhirnya menciptakan generasi baru anti toleransi terhadap agama, kebebasan beragama pun terancam. Identitas dan peribadatan agama yang wajib dipakai dan dilaksanakan malah dikira mengganggu orang lain serta dianggap ancaman. Kini dari sayap-sayap patah di jalan yang panjang ini muncul sebersit harapan agar seandainya agama dapat menciptakan kedamaian dan persaudaraan, sebenarnya tidak ada agama manapun yang menginginkan peperangan dan kebencian.