Dea Novi Anggersari (Dok. Maya/Kav.10)

Di era 1980-1990 jilbab digunakan sebagai simbol keagamaan di Indonesia. Awalnya jilbab ditentang karena kelompok islam dianggap mengganggu otoriter penguasa zaman orde baru. Seiring dengan perkembangan zaman, penggunaan jilbab mengalami kemajuan pesat. Di tahun 1980-an mahasiswa berjilbab hanyalah satu atau dua orang. Berbanding terbalik dengan sekarang.

Memasuki abad ke-21, jilbab menembus batas penggunaan secara ideologis, masih dalam kesadaran dan semangat sebagai seorang muslimah.

Namun, jilbab marak digunakan untuk sekedar ikut-ikutan tren. Hingga muncul istilah jilboobs. Berasal dari kata Jil (jilbab, red.) dan Boobs (payudara, red.), jilboobs ditujukan bagi perempuan berjilbab tetapi menonjolkan bagian dada. Pelaku jilboobs biasa mengenakan jilbab gaul yang pemakaiannya dengan menyampirkan kedua ujung jilbab di bahu.

Salah satu pengguna jilbab syar’i, Dea Novia Anggersari menyatakan tidak setuju dengan fenomena jilboobs. ”Jilbab merupakan penutup aurat bukan sekadar pembalut kepala dengan pakaian yang tipis. Mereka berpakaian tapi telanjang,” ungkapnya.

Dea Novi Anggersari (Dok. Maya/Kav.10)
Dea Novia Anggersari (Dok. Maya/Kav.10)

Faktor Munculnya Jilbab Gaul

Jilbab gaul muncul karena faktor globalisasi yang secara tidak langsung mengharuskan seorang muslim untuk tampil modis dan trendi. Dalam hal ini peran media sangat menonjol, kini majalah-majalah fashion merek ternama luar negeri banyak menyajikan gaya berbusana khusus muslim.

Menurut Dea, wanita erat kaitannya dengan 3F yaitu food, fun dan fashion. Ketika fashion disuguhkan pada wanita pasti mereka tergiur. Seperti halnya makanan, pasti kebanyakan orang lebih tertarik dengan makanan asing daripada makanan lokal. Orang luar paham bahwa orang indonesia menyukai fashion dalam hal berbusana, maka di buatlah desain yang keren supaya orang tertarik.

Prinsip Penggunaan Jilbab Gaul

Sebagian besar masyarakat menganggap menutup aurat berarti memakai pakaian panjang. Padahal tidak demikian. Panjang tapi ketat tentunya dapat memperlihatkan bagian tubuh pemakai. Salah pengertian seperti ini yang harus di waspadai, apalagi untuk orang yang sedang berhijrah menggunakan jilbab.

Di era jilbab gaul yang ngetren saat ini, Dea Novia masih tetap eksis mempertahankan jilbab syar’i nya, meskipun banyak orang yang menganggap dengan model jilbabnya terlihat tua dan ketinggalan jaman.

“Nggak mengikuti jaman, tren atau masalah kostum ya nggak masalah. Saya enggak akan pernah tersinggung dengan kata-kata itu, yang pasti saya taat sama Allah. Kalau nggak suka ya nggak usah lihat saya,” ujarnya.

Keterbatasan pemahaman tentang hukum jilbab membuat gaya berbusana masyarakat tidak sesuai dengan syariat islam dan terakumulasi menjadi jilbab gaul. Bahkan yang lebih parah adalah pemakaian jilbab sebatas leher atau hanya menutupi rambut saja, sehingga anting, kalung, dan poni rambut terlihat. Fenomena ini berdasarkan tradisi sosial budaya yang menyalah artikan pemakaian jilbab sebagai sebuah tren.

“Pemakaian jilbab gaul dengan baju yang terlalu ketat saya akui itu memang terlihat modis, tapi nggak enak dilihat dimata. Mungkin enaknya buat laki-laki,” tukas Dea.

Jilbab Sebagai Fashion

Kebanyakan pelaku jilboobs tidak menyadari perilakunya. Mereka menganggap pemakaian jilbab yang stylish sebagai kebutuhan fashion.

“Kita harus bisa menyesuaikan jilbab untuk kemana kita pergi dan dimana kita berada. Saya juga terpengaruh oleh tren yang sedang digemari teman-teman saya saat ini,” ujar Sanki Safia, salah satu mahasiswa FISIP UB.

Sedikit berbeda dengan yang di ungkapkan oleh Bestari Triwirda, salah seorang mahasiswa Teknik Sipil Universitas Negeri Malang. Baginya penggunaan jilbab gaul selain sebagai fashion juga supaya kelihatan menarik dan unik saat dilihat orang, Bestari mengaku banyak terinspirasi dari internet dan instagram salah satu artis pengusung tren jilbab gaul, Zaskia Adya Mecca.

Fauzi Ahmad, salah satu mahasiswa Sosiologi FISIP UB yang juga anggota Media Mahasiswa, kurang setuju dengan sorotan negatif yang ditujukan kepada pelaku jilboobs.

”Sebelumnya yang menentukan tren atau tidaknya suatu fenomena bukanlah si pelaku jilboobs itu sendiri, melainkan karena media yang memberikan wacana di kehidupan sosial budaya,” tukasnya.
Fauzi juga menambahkan bahwa seiring dengan meningkatnya kebutuhan fashion, media mencoba menawarkan hal yang baru seperti jilbab.

”Media menyorot sosok perempuan yang islami untuk kemudian di tawarkan jenis jilbab tertentu misalkan jenis jilbab yang tertutup, sederhana sampai yang bentuknya aneh-aneh,” ungkapnya.

Di zaman yang serba maju dan menuntut manusia untuk professional, pemakaian jilbab gaul dengan segala modelnya boleh-boleh saja, asalkan tetap memenuhi kriteria pemakaian busana seorang muslim. (may/bun)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.