Pengendara Harley Davidson Tolong Patuhi Rambu Lalulintas

0

change

Pada pertengahan Agustus, saya mendapat panggilan mendadak dari orang rumah dan secepatnya harus pulang ke Solo. Tak sempat memesan tiket kereta, moda transportasi andalan saya, pun saya memilih naik bus umum meski akan memakan waktu yang lama dan melelahkan. Bus yang saya tumpangi berjalan perlahan, sampai di Batu tiba tiba kebisingan itu mulai muncul. Segerombolan pengendara Motor Gede Harley Davidson tiba-tiba melintas dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Mereka dikawal oleh mobil-mobil polisi, menyalakan sirine, dan deru motor mereka meraung dengan keras. Menyerobot sesama pengguna jalan dan meminta pengendara lain untuk berhenti. Mereka tidak mengindahkan tata tertib yang ada.

Hal ini mengingatkan saya pada sikap Minke, seorang pribumi terpejalar yang hidup dalam kisah Bumi Manusia1 milik Pram. Minke selalu mengagungkan perkataan Jean Marais, temannya yang berkebangsaan Perancis itu. Jean berkata; Seorang terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran. Dan apa yang membuat pengendara Moge itu begitu ingin menguasai jalanan hingga mengambil hak orang lain sesama pemakai jalan? Mungkin mereka belum cukup terpelajar, atau sebaliknya, terlalu terpelajar hingga melupakan hal hal mengenai kesetaraan.

Alat transportasi adalah wujud dari kebudayaan. Seiring berjalannya waktu tentu alat-alat ini senantiasa berkembang. Sebelum kemunculan alat transportasi modern, kaki yang melekat pada tubuh manusia menjadi alat transportasi paling purba. Pada tahap ini, manusia dan dunia masih berkawan2. Kini transportasi bukan hanya menjadi moda yang digunakan untuk berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain. Namun juga sebagai identitas kelas kelas sosial.

Orang dengan tingkat ekonomi atas tentu akan merasa bangga dengan segala yang mahal yang mereka miliki. Mobil, motor, bahkan pesawat pribadi tak lagi menjadi khayalan bagi mereka yang punya uang. Pengendara Moge tentu juga orang-orang dengan kelas ekonomi atas. Motor seharga ratusan juta tentu siapa lagi kalau bukan orang berduit yang membelinya? Orang miskin seperti saya harus diam, menyaksikan sekat-sekat eksklusifitas itu mereka pajang dan pamerkan di jalanan. Mereka seperti lupa, bahwa jalanan yang mereka lewati adalah buah penjajahan atas pembangunan sarana dan prasarana yang menghabiskan keringat dan nyawa ribuan rakyat Indonesia. Mereka seperti terlalu senang merayakan modernisme, hingga lupa hal itu. Saya yang hanya bisa melihat mereka konvoi dari dalam jendela kaca bus yang telah berubah buram saking berdebu dan lama tak dibersihkan ini, harus mau menerima. Tapi apa betul demikian ?

Sepertinya saya salah. Beberapa hari kemudian saya melihat seseorang mempetisi pengendara Moge di laman change.org. Pembuat petisi ini bernama Hendra Subiyanto. Dirinya membuat petisi karena sebelumnya seorang pria pengendara sepeda berani menghadang segerombolan pengendara Moge saat melintas perempatan Jalan Condong Catur, Yogyakarta. Pria pemberani itu bernama Elanto Wijoyo. Aksi ini membuat banyak orang bersimpati dan memberikan dukungan untuk petisi tersebut, hingga hari ini sudah 37ribu orang menandatangani petisi tersebut. Namun angka itu masih belum cukup untuk memenangkan petisi ini, setidaknya masih dibutuhkan 13ribu penandatangan untuk menggenapkannya menjadi 50 ribu.

Petisi tersebut menuntut pengendara motor gede untuk berlaku adil. Semua pengguna jalan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam penggunaan jalan. Mereka berhak memakai jalan namun tetap pada aturan. Tetap mematuhi rambu-rambu lalu lintas, kecuali kalau mereka sedang mengendarai mobil ambulance itu beda lagi. Pemotor Harley Davidson bukanlah pengguna jalan yang harus diistimewakan, apalagi harus dikawal pihak kepolisian. Dengan pengawalan tersebut, sekat-sekat itu terlihat nyata. Polisi yang notabene adalah aparat penegak hukum, kini malah menciderainya dengan menyerobot hak pengendara lain untuk menggunakan jalan. Bukankah itu ketidakadilan yang dilakukan penegak keadilan. Ah hal ini seperti oxymoron belaka. Dalam petisi tersebut juga dikeluhkan, pengendara motor gede yang berkelompok atau membentuk gerombolan dinilai sangat mengganggu dan menyebabkan polusi suara.

Jadi, untuk masyarakat dimanapun kalian berada, tidak hanya di Jogjakarta, juga di Malang, dan seluruh Nusantara untuk selalu menjaga ketertiban dan keamanan, saling menghargai dan bukan merendahkan apalagi bersikap saling memamerkan arogansi kepada orang lain.

 Rahmawati, Redaktur Pelaksana UAPKM UB

 

  1. Bumi manusia adalah salah satu dari Karya tetralogi buru milik Pramoedya Ananta Toer. Karya ini dibuat ketika Pram dipenjara di pulau buru tanpa sama sekali ada proses hukum yang jelas. Sebelum menuliskannya, pram membuat karya tersebut dengan metode lisan, lalu diceritakan ke kawan kawan tahanannya.
  2. Hal ini merupakan pandangan Peursenian. Peursen membagi tiga kebudayaan manusia. salah satunya adalah pandangan mistis, dimana manusia merasa selalu bertaut kepada kekuasaan alam raya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.