UKT: Problema Mahasiswa, Problema Negara
Malang-KAV10. Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya ( EM UB) menggelar acara bertajuk Sekolah Advokasi dengan tagline Aksi Cepat Tanggap, Sabtu (11/4). Sebagai pembicara,. Sihabuddin yang ditemui dalam acara Sekolah Advokasi EM UB 2015 mengutarakan banyak hal terkait UKT yang kerap menjadi problematika rutin di setiap universitas. Bahasan khusus disini tentu dalam lingkup Universitas Brawijaya, meski kemudian merangkak naik ke lingkup negara. Diawali dengan kisah pribadi dari masa lalu seorang Wakil Rektor 3 Universitas Brawijaya ini, mengenai biaya pendidikan tinggi yang begitu murah di masanya. “Waktu saya kuliah itu, SPP hanya Rp. 15.000-Rp.42.000 dan SPP segitu terlalu berat,” tukasnya.
Pria tersebut juga memberikan materi mengenai persoalan penentuan UKT. Dari dasar pertimbangan pusat, besaran tiap universiatas hingga besaran tiap mahasiswa dipaparkan lengkap. “Untuk besaran tiap mahasiswa sendiri bergantung pada penetapan kategori. Untuk SNMPTN dan SBMPTN terdiri dari lima kategori dan untuk jalur mandiri terdiri dari tiga kategori”,tukas mantan Dekan Fakultas Hukum tersebut. Kategori-kategori ini dikatakan sebagai wujud nyata dari system UKT proporsional yang meski dalam realitanya seringkali didapati berkebalikan. dengan dasar pertimbangan dalam proses penetapan UKT. Dasar pertimbangan kebijakan pusat dan dasar pertimbangan besaran tiap universitas. “Keduanya sama-sama berkiblat pada satu peraturan perundang-undangan yaitu UU Dikti No. 12 Tahun 2012. Di dalam UU tersebut diamanatkan bahwa pungutan biaya pendidikan kepada peserta didik harus berdasarkan kemampuan ekonomi orang tua,” ujarnya.
Dari pandangangan mahasiswa sendiri Yoga Prabowo mengkritisi tentang berkas utang-piutang yang baru dipermasalahkan ketika mahasiswa mengajukan penurunan. “Kenapa dalam proses verifikasi diawal masuk, UB tidak meminta sertakan berkas utang-piutang? Tetapi baru diminta ketika ada pengajuan penurunan,” ujar mahasiswa dari Fakultas Pertanian ini. Dalam hal ini, Sihabuddin menjelaskan bahwa dana bantuan tersebut berasal dari Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). BOPTN sendiri biaya yang dianggarkan pemerintah untuk biaya bantuan biaya pendidikan perguruan tinggi negeri. Pada penyelenggaraannya, BOPTN mengalami pergeseran presentase anggaran. BOPTN yang seharusnya dianggaran 60% dari bantuan pemerintah nyantanya hanya dialokasikan sebesar 10%. “ Hal ini menjadikan nominal UKT itu mahal sebagai salah satu sebabnya,” Ujarnya. (hun/miy)