Wijaya Herlambang: Kenapa Masyarakat Masih Membenci Komunis?
Malang.Kavling-10 Kejadian Penumpasan PKI tahun 1965 adalah tragedi pembunuhan terbesar dalam sejarah indonesia, karena pada masa itu para militer berkoalisi dengan pemerintah berusaha menumpas seluruh simpatisan PKI. Dua juta korban berjatuhan, banyak korban yang sebenarnya bukan simpatisan PKI ikut dihilangkan nyawa mereka. Para militer pun getol menyuarakan berita, berupa produk produk budaya, yang sebenarnya terlalu dilebih- lebihkan, atas kekejaman PKI.
Wijaya Herlambang, seorang penulis yang berangkat dari penelitian disertasinya, akhirnya berani menguak fakta kekerasan budaya pasca 1965 lewat diskusi buku ”Kekerasan Budaya Pasca 1965” yang berlangsung di Gedung Pentas Budaya FIB UB, Sabtu (05/04) lalu. Wijaya Herlambang ditemani Grace Leksana, seorang Pembahas dan Peneliti ISSI Jakarta sekaligus Peneliti Center for Culture and Frontier Studies (CCFS) UB. Acara diskusi ini digagas atas kerjasama antara Penerbit Marjin Kiri dengan (CCFS) UB.
Dalam diskusi tersebut Herlambang menanyakan mengapa masyarakat masih membenci komunis. Ia pun memaparkan beberapa fakta yang cukup mengejutkan. Menurutnya ada dua alasan utama mengapa pada masa Orde Baru pemberantasan Komunis giat dilakukan.
Pertama, karena adanya kampanye Orde baru. Melalui produk produk budaya, Orde baru, secara pelan pelan, berusaha memanipulasi alam pikiran dan psikologis masyarakat. Sebagai contoh, film Pengkhianatan G30S PKI, yang dari penelitian yang ia dapatkan, sebenarnya ada campur tangan militer dalam pembuatan film tersebut. Pada masa itu pemerintah bekerja sama dengan berbagai bioskop untuk menayangkan film tersebut dan semua masyarakat terus didorong bahkan diwajibkan untuk melihat film tersebut. Secara tidak langsung mereka dipaksa untuk meyakini betapa kejamnya PKI.
Grace Laksana juga memaparkan bahwa cara mereka mendorong masyarakat seperti itu agar mereka dapat memberi efek memori kolektif, yang berusaha mengajak masyarakat untuk membenci komunis atas kebiadabannya. Selain itu film tersebut juga memberikan rasa ketakutan yang hebat akan komunis padahal mereka tidak memiliki alasan yang kuat. ”Mereka seperti phobia pada komunis, iya memang phobia, karena phobia adalah ketakutan yang tidak beralasan,” ungkap Grace.
Yang kedua adalah dikarenakan adanya penyusupan paham Liberalisme dan Neo-Liberalisme di Indonesia dan di dunia oleh Amerika. Nama-nama seperti Goenawan Muhammad, Mochtar Lubis, juga Arif Budiman, sempat disebut-sebut sebagai salah satu penganut Liberalisme Barat. Wijaya Herlambang menjelaskan, Amerika Serikat, melalui Congress of Culture Freedom (CCF) berusaha menyusupkan ide liberal kepada kaum intelek, politisi, ekonom dan angkatan darat untuk bergabung melawan komunisme guna membentuk kebudayaan dan ideologi yang berbasis liberal.
Definisi kekerasan budaya sendiri, di dalam buku Kerkerasan Budaya Pasca 1965 adalah ketika orang orang melegitimasi kasus penumpasan PKI atau bisa dibilang ketika orang orang menganggap bahwa kekerasan sesungguhnya dapat dibenarkan, dan membenarkan secara moral, ideologis dan agama bahwa pembunuhan simpatisan Komunis merupakan hal lumrah. Jadi pembenaran atas produk produk budaya yang dibeberkan militer kepada masyarakat adalah salah satu contoh kekerasan budaya. ”Mereka menganggap PKI sangat kejam, lalu pembunuhan dua juta simpatisan PKI tidak kejam?,” tutur Herlambang.
Acara yang berlangsung mulai pukul 09.00 tersebut akhirnya ditutup pada pukul 12.00 setelah melalui sesi tanya jawab yang cukup panjang. Acara ini dihadiri oleh berbagai macam kalangan, dari mulai mahasiswa, dosen, dan penulis. (rhm)