SEBUAH KOMA
ketika sebuah bencana bermuasal dari dirimu
(Fitria Hayulinda Putri)
Selangsang peluru menembus kepak sayap merpati putih, jatuh ke aspalan coklat tanah, raib berkalang rerimbunan belukar, seorang bocah tanggung terkekeh puas. Jahat!
***
Waktu mengantar sebuah evolusi. Bocah tanggung itu tak lagi tanggung seperti pertama kali, sudah berupa fisik seorang laki-laki tampan, kekar, serta mapan. Waktu memang penuh rahasia, tak dapat ditebak bagaimana ia akan mengubah kala. Bocah desa yatim piatu itu kini menjadi laki-laki yang patut di perhitungkan dunia. Eh, namun tunggu! Coba lihat! Ada kilatan merah menyala darah dalam retinanya, sebuah kobaran kah? Kobar yang beku, penuh benci, buncah amarah yang lebih dari api. Dendamkah? Sebisanya ia menghasilkan sorot mata yang begitu membunuh, dan kejam menantang hingga mampu melumat beningnya mata putih sang tuan. Mungkinkah aura setan telah menyisip dalam?
Laki-laki itu berjalan gagah kaku, menyeret langkah semi beratnya menuju sebuah bangku taman di sisi trotoar. Gadis-gadis muda pejalan kaki terkikik centil menatap sang laki-laki dengan tatap mengoda. Laki-laki itu tersenyum seadanya, hanya menyajikan serupa senyum beku dan sinis seolah manusia adalah benih-benih jahat yang tak pantas diperlakukan baik.
Langit mendung matahari nampak menyembul malu-malu di antara mega kelabu. Laki-laki itu diam, rupanya sedang melamun. Disudut pandang sang lelaki dunia nampak hitam, terlalu hitam untuk dipandang mata putih. Manusia-manusia hitam penumpah darah, perampas harapan, penumpas indahnya kehidupan. Memorinya berputar ulang menuju puluhan tahun mundur ke belakang, saat dirinya masih menjadi bocah manis dan berbahagia bersama sebuah keluarga kecil pula lengkap.
Saat itu sedang diadakan tasyakuran kecil-kecilan untuk merayakan peringatan tahun ke 7 si bocah itu hidup berkalang dunia. Sang Ayah adalah seorang Kepala Desa yang arif, Ibunya adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang lembut nan cantik. Wajah-wajah itu nampak berbahagia, si bocah merengek kepada sang Ibu sembari menarik-narik ujung bajunya. “Ibu, ayo tiup lilin, tiup lilin!” Ibunya tersenyum lembut sembari berkata, “iya sayang sebentar, Ayah masih mengambil korek apinya,” sang Ayah pun tertawa dan mengelus rambut si bocah “ini-ini koreknya nak, ayo kita nyalakan lilinnya.” Saat lilin berhasil dinyalakan dan do’a usai dibacakan, si bocah pun mulai berancang-ancang untuk meniup lilin di kue ulang tahun kecilnya, pipinya sudah mengembung tanda bahwa ia sungguh tidak sabar.
Namun, tiba-tiba terdengar suara dobrakan pintu yang sangat keras. Bocah itu pun ketakutan dan bersembunyi dibelakang tubuh Ibunya. Si Ibu berwajah pucat, sang Ayah panik tak karuan. Namun ia masih mencoba menenangkan istri dan anaknya, “tenanglah, hanya angin, Ayah akan memeriksa kesana.” katanya gugup. Kemudian majulah sang Ayah menuju ruang tempat dimana pintu itu terletak. Belum sempat sang Ibu berpesan hati-hati tiba-tiba terdengar dua bunyi tembakkan terlepas, tembakkan yang mengena dan bersarang di dada sang kepala desa, buncah darah, ciprat bengis. Kepala desa itu pun ambruk di ekor mata keluarga, sang istri mencoba menahan tangisnya lalu berlari ke jendela samping rumah, membukanya, mengendong anaknya keluar lewat jendela pun kemudian berkata, “larilah nak, lari sejauh-jauhnya. Berjanjilah untuk tidak tertangkap oleh mereka.” Si anak dengan wajah ketakutan menjawab. “Tapi, Bu..” dengan sigap Ibu menyela. “Tidak ada waktu lagi nak, untuk Ibu dan Ayah berjanjilah!” Bocah itu pun dengan pasrah membalas “Baik, Bu.” Ibunya pun tersenyum “Anak pintar, ini bawalah liontin milik Ibu dan senapan Ayah untuk berjaga-jaga dari mereka, sekarang larilah sejauh-jauhnya dari sini nak, lari! Ibu akan mencoba menghadapi musuh-musuh Ayahmu ini.”
Dengan ragu bocah itu pun berlari menjauh menuju hutan, setelah dirasa mencapai jarak yang cukup aman dari penglihatan mereka, si bocah pun membalikkan punggungnya untuk melihat rumah. Namun, betapa shocknya ia saat melihat pemandangan yang ada, Ibunya dijambak, pula disiksa, darah bercucuran dari kepalanya, hingga yang paling naas mereka menempelkan pelatuk pistol ketempurung kepala Ibunya kemudian menembaknya hingga membuat sang Ibu terjatuh kehilangan nyawa. Bocah itu menangis, buncah-buncah amarah lahir, manusia-manusia setan dan jahat. Bocah itu berlari masuk kedalam hutan, membawa dendam kesumat pada manusia busuk pembunuh keluarganya itu. Lihatlah! Lihat! Aku akan membalas kalian semua nanti. Rutuk si bocah dalam hati kemudian menghilang dalam kegelapan hutan.
Lamunan pria itu buyar, dibangunkan oleh seorang bocah perempuan yang sedang menawarkan barang. “Kak, bunga untuk ibumu?” Namun laki-laki itu hanya menatap bocah perempuan itu dengan tatapan sinis, beku. Bocah itu berkaca-kaca kemudian lari ketakutan dan pria itu tetap berekspresi hambar. Merogoh saku, ditatapnya lintion yang berisi potret keluarga kecilnya dulu. Ibu, Ayah, dan dirinya tersenyum bahagia dalam kenang. Mata pria itu kemudian gerimis.
Ditatapnya sekeliling. Entah apa yang terlintas hingga sepertinya amarah pria itu terpacu lagi. Dibukalah tasnya, tampak kotak hitam dengan banyak sekali kabel disekelilingnya. Pria itu menekan sebuah tombol merah pada pemicu yang ia genggam. Seketika suara bip… bib… bib… terdengar makin lama makin cepat. Pada sebuah layar kecil di kotak hitam, terlihat detik 60 mundur kebelakang. Tersenyum, pria itu menutup kembali tasnya, dan duduk manis menatap sekeliling.
Tak dirasa, detik itu hampir mencapai 0 dan tiba-tiba “DDDDUUUAAAAARRRRRR” sebuah ledakan besar terdengar lalu mencincang tubuh-tubuh manusia, bangunan, dan benda disekeliling menjadi cacah serpih kecil. Radius yang cukup besar, hujan darah, teriak-teriak sakit, pilu menebar. Pria itu mati dalam dendam, membawa tewas ratusan manusia yang mungkin tak bersangkut. Kota dibalut api, hangus, merah oleh darah. Kehidupan pun enyah dalam dendam dan menjadi sebuah bencana taklid.
-SELESAI-