Liar
Oleh : Rahmawati Nur Azizah
SUATU PAGI, aku terbangun dari tidur panjangku. Aku tidak ingat apa apa lagi tentang apa yang terjadi kemarin, seingatku aku baru saja pulang dari kampus lalu menutup pintu dan terlelap. Tanpa ganti pakaian, tanpa makan, tanpa membasuh wajah dan gosok gigi, aku langsung saja memejam mata. Baru baru aku sadar, sudah 2 hari aku tertidur, gila! Rasanya kemarin masih hari jumat, tapi layar Hp ku menunjukkan pukul 06.00 pagi pun ini hari minggu. Ah.. obat macam apa yang aku tenggak kemarin? Rasa rasanya seperti tidak pernah menyentuh kasur selama bertahun tahun saja badanku ini.
Aku masih memakai kemeja flannel kotak-kotak lusuh ini, pun dengan celana yang seperti tidak mengenal setrika dan sepatu snickers butut. Tentu penampilanku sudah acak-acakan sekali. Kuputuskan untuk menyudahi semua kemalasan ini, kemalasan yang aku bawa sejak dua hari kemarin, macam kerbau saja aku ini. Aku membuka pintu, Ayahku marah marah. Di depannya, layar televisi menyala nyala diantara kegelapan ruangan. Kebiasaan! Ia selalu mematikan lampu saat menonton televisi ”Biar terasa seperti bioskop. Tinggal tambahkan AC dan deretan kursi kursi berpodium, maka jadilah bioskop pribadi” ia pernah mengatakan seperti itu kepadaku ketika ku tegur. Aku khawatir, matanya akan bertambah minusnya. Kau tau, untuk membaca saja ia membutuhkan jarak 5 cm dari bukunnya. Ia memang gila.
”Hah! Kemana saja kau ini? Aku lama tak melihat kau?!” tanya ayahku tidak santai, aku tahu ia sedang marah marah. Memarahi berhala didepannya. Memarahi segala tayangan busuk di hadapannya, toh masih dia tonton juga.
”Aku.. aku tidak kemana mana. Ayah yang tidak tau, aku seharian di kamar. Ohh maksudku berhari hari dikamar. Tapi tak kau cari juga. Untuk membuka, bahkan mengetuk pintu saja enggan. Ayah macam apa kau ini!” aku kesal sekali dengannya, jujur aku tidak tahu. Padahal aku sama sekali tidak punya alasan untuk kesal dengan ayah.
”Ada apa dengan kau? Kenapa kau ikut marah marah. Seharusnya aku yang marah karena televisi busuk ini menyiarkan tayangan remeh temeh yang membosankan. Kau tahu? Semalam aku melihat talk show, hah! Sama sekali tidak mendidik acara itu. Yang mereka bicarakan hanyalah komedi haha hihi murahan, tidak ada sama sekali unsur informasinya, edukasinya! Hah kau tau ketika aku muda dulu…..” belum sempat ia merampungkan kisah masa mudanya aku langsung memotong.
”Ah sudahlah.. aku mau kekamar mandi. Habis ini aku mau bersepeda keliling kampung. Kau mau ikut tidak?” tanya ku sinis.
”Hmm.. tidak lah, aku mau memasak saja habis ini. Jangan lupa nanti kau belikan sayuran di warung Mbok Minah ya. Terserah kau mau makan apa, nanti aku masakkan.” ia masih saja memandangi televisi yang ia kutuk-kutuk sedari tadi. Tanpa sedikitpun melihatku. Aneh.
”Haaah.. Baiklah.” aku lalu bergegas ke kamar mandi dan menyudahi obrolan seorang bapak dan anak yang aneh ini. Benar benar aneh. Kadang aku merasa asing berada dirumahku sendiri. bersama ayah, kuhabiskan 20 tahunku. Tanpa ibu, tanpa adik, tanpa kakak, tanpa keluarga yang lain. ia juga tidak pernah mengenalkan ku dengan keluargannya, hanya kakek dan nenek yang sesekali datang kesini. Kalau mereka tidak datang, ayah juga tidak akan sudi menyambangi rumah mereka. Makanya, sudah kubilang ayahku memang aneh.
***
Aku mengikat rambutku, memakai kaus putih polos berlapis jaket dan celana tanggung, lalu mengeluarkan sepeda dari parkiran dan siap melaju menuju suatu tempat yang belum aku tentukan tujuannya. Hawa dingin pagi hari, atmosfirnya, segar udaranya aku rindu sekali dengan momen seperti ini. Rasanya sudah lama sekali aku tidak melakukan hal ini. Atau aku yang tidak pernah peka dengan ini semua? Mungkin, iya mungkin saja. Tiba tiba seseorang menepuk bahu yang kubalut dengan jaket coklat gelap yang aku kenakan.
”Hey, Faras! Apa kabar? Lama tak jumpa kita, sekarang kau bertambah kurus saja. Apa yang kau pikirkan, tak usah melulu berpikir tentang beban hidup. Sudah.. jalani saja dengan suka cita. Aku duluan yaa” Oh! ada tetanggaku lewat, berpapasan denganku. Ia ngomong banyak sekali, bahkan aku belum sempat menjawab, tapi ia sudah mau pergi saja.
”Tapi pak.. aku belum ngomong apa apa loh.” aku bingung. Mungkin pak Banda bisa melihat ekspresi kebingunganku. Sayang, ia tidak samasekali menaruh perhatian dengan ini semua.
”Sudahlah, kita sambung esok saja. Aku sedang terburu buru.” sambil jalan ia membalas perkataanku, tanpa menoleh langsung saja ia berjalan lurus menyusuri pagi yang masih malu malu menunjukkan sinar mataharinya.
Aku masih terdiam, kebingungan menyelimuti ku. Kebingungan menggantikan semua sejuknya pagi dan indahnya mentari. Ah.. sudahlah. Lalu aku bergegas menuju taman kota. Di jalan, aku menemukan kembali rekaman masa kecilku, kembali bertemu dengan kawan lama. Tapi keceriaan yang selalu kita lakukan sudah hilang, tidak ada lagi sikap polos dan naif dalam diri kita. Hanya ada rasa apatis dan penuh dengan kepalsuan. Aku jadi ingat Wickana Laksmi, dalam sebuah kompilasi ilustrasi berjudul Penahitam, ia pernah bekata bahwa masa kecil hanyalah seklumat kesenangan kita, tanpa sadar kita sudah meninggalkannya jauh dan kesenangan itu sudah berubah menjadi memori. iya aku pikir ia ada benarnya. Lalu aku mulai memasuki tubuh taman kota, pagi ini taman kota dipenuhi orang orang. Ada yang sekedar jalan jalan, jogging dan tentu, mereka yang pacaran namun berkedok olahraga. Shit! Di dekat air mancur, aku duduk. Memandangi orang orang sekitar hingga aku bosan.
***
Pukul 9:00. Aku sudah membawakan sayuran pesanan ayah. Pesanan? Bukan pesanan sih, lebih tepatnya pilihanku, sebab aku yang memilih dan menentukannya. Sekarang setelah selesai memarkir sepeda, aku dan ayah berada di dapur. Kami memasak. Aku suka memasak, karena sejak dulu memang ayah yang mengajariku memasak.
“Kau tahu? Dulu dan sekarang, jaman sudah sangat berbeda. ” ia mulai pembicaraan.
”Iya, tentu sajalah. Kalau dulu dan sekarang sama, maka ini bukan kehidupan”
Tiba tiba kulkas disampingku mengeluarkan bunyi yang aneh.
”Yaa termasuk kulkas tua itu. Ia sudah berubah, segala kehebatannya telah hilang termakan teknologi zaman sekarang to? Haha” ia tersenyum, jarang sekali aku melihatnya seperti itu.
”Kau tahu apa bedanya mahasiswa zaman sekarang dengan mahasiswa zaman dulu? Zamanku dulu?” aku hanya menggelengkan kepala, lantas ia segera melanjutkan ceritanya.
”Mahasiswa sekarang telah kehilangan esensi status mereka. Mahasiswa adalah seorang perubah zaman. Tapi sekarang zaman yang merubah mahasiswa.” aku hanya diam, aku yakin ini adalah efek talk show semalam yang tadi ia sebut sebut.
”Kau tahu Soe Hok Gie?” tentu aku tahu, aku sudah membaca bukunya dan menonton Filmnya berkali-kali. Dan karena itu juga aku menjadi tergila gila dengan Nicholas Saputra. Selain itu aku tahu Gie juga berkat cerita cerita Ayah kan?
”Ia dengan lantang dan beraninya mengumpulkan mahasiswa mahasiwa di kampusnya bahkan mengerahkan juga mahasiswa di seluruh Indonesia untuk terjun berdemonstrasi di jalan-jalan, demi lengsernya kepemimpinan Soekarno. Kau tahu, Soeharto pun lengser juga karena usaha keras dari para mahasiswa pada zamannya. Mereka tidak mau di pimpin oleh pemimpindiktator.” Benar juga ayahku ini, aku jadi ingin membuka tumpukan buku buku sejarah yang ada di raknya. Mungkin habis ia merampungkan pidato nya ini.
”Tapi apa yang dilakukan mahasiswa zaman sekarang? Mereka datang untuk menghadiri talkshow bersama artist yang sebenarnya tidak terlalu memiliki bakat seni yang mumpuni. Mereka sama sekali tidak kelihatan inteleknya ketika menghadiri acara talkshow haha hihi murahan semalam. Apa yang mereka dapat? Kenapa mereka mau maunya datang di acara itu? Mereka hanya tertawa tawa tidak jelas, menertawakan hal hal yang tidak masuk akal pula. Mana cermin intelektual mereka, ha? Ah… sudah jangan sekali kali kau ikut dengan mereka! Kalau sampai aku tahu kau ikut datang ke acara tsb, akan aku hukum kau habis habisan.” ia sungguh kelihatan jengkel dengan tayangan semalam.
”hahahahahaha” tawaku memecah suasana, baru kali ini aku melihat ayahku sejengkel itu. Biasanya ia memang marah, tapi tidak selucu ini.
”Kenapa kau malah tertawa? Hey aku beri tahu, datanglah ke acara acara diskusi, tentang buku, ide, musik atau sastra atau bahkan film, datanglah. Asal jangan sekali kali kau menyentuh panggung acara talkshow murahan macam tadi malam itu’’
”Haha.. tapi kau masih saja melihatnya to? Ada artis kesukaan mu disana? Siapa dia ha? Hahaha” aku masih terkekeh. Benar, ia lucu sekali kali ini.
”Ha? Aku tidak tahu apa maksud kau” ia meneruskan memasak, sementara aku masih tertawa terbahak bahak, sampai aku sadar bahwa aku ternyata hanya membayangkan itu semua. Aku masih di taman dan sepedaku masih terparkir di samping bangkutamanku. Beberapa orang yang lewat juga sempat menataapku, mungkin mereka mengira aku orang gila ya, karena aku terkekeh kekeh sendirian diantara bangkutaman dan pancuran air.
”oh may gat! Kenapa bisa seliar ini imajinasiku?” gumamku.
Lalu aku bergegas pulang kerumah, hingga lupa belum membelikan sayuran untuk ayah. Ia tentu akan marah marah. Namun, ketika ia membukakan pintu di depanku, aku memandangnya lalu tersenyum malu.
”Kau Kenapa?” ia keheranan, wajahnya begitu datar.
Solo, 27 januari 2014
*Anggota Magang UAPKM UB