Oleh Rabbani Imaduddin Aziz*

Malam sunyi, seorang gadis berjalan melewati sepetak lapangan basket yang sudah retak sana sini. Dihimbaunya rasa jamak lewat doa dalam angker pohon-pohon yang mengepungnya, padahal di seberangnya riuh obrolan dan canda pemuda pemudi. Malam itu, sang gadis memang pulang terlambat. Mungkin masih banyak kotoran dan air penghujan yang tampias di keliling lantai kerjanya. Apalagi teman kerjanya sibuk merapikan barang-barang kerja mereka. Sepertinya tidak ada keringat, pun bau badan atau sekedar kering mulut hampiri dirinya. Seperti lainnya, mungkin bau wanita ialah salah satu semerbak alam, apalagi di tengah gelap langit alam yang rimbun akan ketidak pedulian sesamanya. Langkahnya cepat sekali, namun menggemaskan, seperti anak rusa yang belum bertanduk. Dibalut dengan jaket kurang modis, tetap, banyak mata lelaki yang mengekorinya.

Seperti tanpa sengal, bahkan desahan nafasnya tak merembes di sunyi udara malam itu. Berjalan terus, tidak mempedulikan tentang pasangan yang bergumul tanpa bugil di seberang parkiran gelap yang ia lewati. Iri, atau mungkin jijik, ah entahlah, namanya juga manusia, apalagi wanita. Sang gadis masih cakap dalam langkah enerjiknya, walaupun orang-orang sama-sama tahu tentang kelelahannya. Namun tetap saja, peluhnya mungkin menguap di antara ketidak pedulian sesamanya atau membeku karena dinginnya alam malam itu. Lenggak-lenggok orang latihan tari, teriakan-teriakan murid karate, bunyi gitar, desing jangkrik, ah, apapun itu. Seperti berjalan dalam lorong transparan, kedap suara, pun rasa.

Sang gadis masih tetap berjalan. Ketika awan abu-abu menutup rasi bintang pari di langit timur. Ketika kabut perlahan menjamah jok-jok motor dan kaca-kaca mobil di keliling gadis itu. Angin sejuk membelai pelipis dan pipinya. Namun tak sedikitpun ia angkat bahu atau sekedar menggosok-gosokkan dan meniup kedua telapak tangannya. Sudah biasa mungkin, atau mungkin akibat dari efek lorong yang katanya kedap suara dan rasa itu? Nyatanya, sang gadis tetap berjalan, seperti ingin membalas ketidak pedulian sesamanya. Seberang langit, tepat di bawah purnama yang malu-malu. Seorang lelaki tua duduk sendiri, jauh dari keberadaan gadis itu. Lelaki tua ini rupanya ingin menguak satu per satu bagian tubuh Tuhan, wajahNya, tanganNya. Ah, apa mungkin? Mengisi perut atau menambal lubang bajunya atau bahkan membuat mulutnya wangi pun susah. Jika disetarakan dengan hubungan budak-majikan pun rasanya seperti ibadah tanpa agama, sia-sia. Tapi yang namanya Tuhan itu beda. Mungkin saja Dia sedang duduk merangkulnya di sela giginya yang kuning jorok itu.

Di seberang rasi bintang pari yang mulai kelihatan, terlihat lagi seorang pemuda. Dengan tekad berbalut langkah, dia memegang sebuah megafon, di dahinya terikat seutas kain, berwarna merah dan putih. Mungkin untuk persiapan orasi esok hari, atau mungkin ia ingin menjadi solo-demonstran, agar retorikanya lebih menusuk ke jantung sistem yang merengkuhnya saat itu. Kemudian, di tengah gagah langkahnya, melintas seorang wanita paruh baya yang gemuk, dengan kulit sawo kematangan, daster yang kusam, dan seorang bocah lelaki yang ingusan dan gundulnya penuh koreng di gendongan selendangnya. Langkah wanita itu terlihat kepayahan, miring ke kiri untuk menyeimbangkan bocah yang digendongnya di sisi sebelah kanan badannya. Di antara kabut yang merobek kuduk, dia menggenggam sebuah tempat bekas minuman, berisikan beberapa lembar uang ribuan dan logam recehan yang tak banyak. Ketika lama berjalan, dia berhenti di depan sebuah gedung yang sepi. Bocah gundul penuh  koreng itu pun seperti dijajanya, dipamerkan kepada orang-orang yang lewat, sebagai imbalan terhadap orang yang mau berbelas kasih dan simpati kepadanya.

Masih di bawah purnama yang kini tidak malu-malu, sang gadis masih jalan. Kakinya sama sekali tidak pegal atau kesemutan. Tapi kini tangannya masuk ke dalam kantong jaket, merogoh, mengambil berbungkus permen untuk makan malamnya. Mungkin alasannya ialah diet, ah siapa yang tahu, namanya juga wanita. Tak lama ia masuk ke dalam gang sempit, yang ujungnya menggunung sampah bau. Di antara udara yang berlendir, dia melangkah terus ke dalam gang kumuh itu, perlahan  bayangnya memudar ditelan gelap malam, basah kabut, dan bau sampah.

Ah, gadis rembulan, siapakah yang tahu, bahwa mungkin saja wanita setengah baya dan bocah ingusan itu ialah ibu dan adikmu. Atau lelaki yang berikat kepala itu kakakmu, atau mungkin lelaki tua yang mencari tubuh Tuhan itu bapakmu.

Ah, gadis rembulan, dapatkah kita bertemu? Akan kucumbu duka yang menjalar di mulutmu, akan kuraba pahit yang menyebar di badanmu, akan kujilat getir yang merangsek di ketiakmu, dan akan kusetubuhi deritamu, ku-sejiwai sepimu.

Ah, gadis rembulan, aku jatuh cinta padamu!

*Mahasiswa Ilmu Kelautan FPIK UB 2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.