Oleh Ariska Puspita Anggraini*

Dari seluruh waktu dalam hidupku, aku paling membenci saat lebaran.  Tak ada yang salah sebenarnya. Semuannya tersenyum saat takbir menggema. Semua berubah religius saat hari penuh ketupat itu datang. Semua dendam mati saat lebaran tiba. Tapi hanya mati suri. Bukan mati yang abadi. Dan aku tak bisa menyukai sesuatu yang datangnya hanya sesaat.

Semua putih seakan menyusup dalam nadi mereka. Hanya kata maaf yang ada di bibir. Katanya, ini hari yang fitri. Semua yang bathil akan pergi. Semuanya terlahir kembali. Hanya putih tak ada hitam.

Aku muak melihat senyum mereka. Aku muak mendengar maaf dari bibir manusia-manusia itu. Mereka semua lupa. Lupa kalau bumi itu bulat. Lebaran pun akan melesat. Yang pergi akan kembali. Yang hilang akan menemukan jalan pulang. Putih akan berganti dengki. Senyuman akan menjelma dendam. Kata maaf cuma sekedar tradisi sesaat.

“ Maafkan Ayah, nak. Selama ini Ayah banyak salah padamu.” Itu kalimat yang tiap tahun ia ucapkan. Sembari memelukku, ia meneteskan air mata di depan ibu. Ibu terenyuh melihat air mata itu.  Sementara aku, harus menahan bau anyir kemunafikan dari dalam tubuhnya.

Sebenarnya, dia hanya lelaki jalang yang diangkat oleh ibu dari dinginnya jalanan. Usahanya bangkrut dan hidupnya carut marut. Dengan dalih iba, ibu membawanya ke rumah dan memberinya pekerjaan. Lelaki jalang tak tahu diri. Dalam hitungan bulan ibu jatuh dalam pelukannya hanya dengan sedikit rayuan.

Ayah pun terganti dengan kedudukannya. Kata ibu, ayah sudah punya tujuh bidadari yang menemaninya di surga. Ibu juga bilang kalau ranjangnya terlalu luas untuk dia seorang. Ibu butuh teman di kala malam dan lelaki jalang itu teman yang tepat. Dia lelaki baik katanya. Dia juga mau menerima keadaan ibu sebagai janda satu anak.

Mana ada lelaki yang menolak janda dengan gelimang harta. Tapi aku tak bisa berbuat apapun. Senyum ibu terlampau mengembang saat memperkenalkan lelaki jalang itu. Aku tak mau membuat layu senyum yang telah sirna sejak tiga tahun lalu.

***

            Pada siang hari tak terduga, ada api yang membesar dalam rumahku. Saat itu ibu sedang disibukkan dengan berbagai bisnis peninggalan ayah dan aku baru kembali dari sekolah. Tak seperti biasanya pintu rumah terbuka lebar. Juga ada suara musik dari ruang keluarga. Dengan tanda tanya yang berkelibat di otak, aku berjingkat-jingkat mencari tahu setan mana yang tega di siang hari terik ini mengganggu tidur para bayi.

Aku terkesiap. Jantungku meledak tak karuan. Di ruang keluarga, aku melihat ada lima botol cairan neraka. Lelaki jalang kelimpungan. Dia kaget melihatku berdiri tepat didepan tubuhnya yang diselimuti aroma alkohol. Lalu musik keras yang khusyuk dia cumbui berganti dengan teriakan kesakitan dari mulutku. Seranting dua ranting langsung melayang pada kaki dan tanganku. Merah dan biru menyelimuti tubuhku. Lidahku pun dibuatnya kelu untuk mengadu pada ibu. Katanya, biru akan semakin meyelimuti tubuhku jika aku mengadu pada ibu.

Waktu semakin membuat api berkobar dalam rumah. Lelaki itu semakin menjadi jalang. Dia selalu meminta uang hasil kerja ibu lalu memukuli ibu sampai menangis. Aku juga pernah melihat, ada asap mengapung dari bibir ibu, menguarkan racun dan membunuh tiap ide-ide gila dalam kepala. Dalam keadaan yang membuat aku dan ibu gila, tubuh ibu basah oleh minyak tanah juga api dari pemantik rokoknya yang siap melahap ibu. Ibu menangis. Aku pun juga menangis. Aku tak ingin ibu mati ditangannya

“ Ini ibuku, pergi, mati kau bangsat !” Seketika suaraku lantang mengundang para tetangga.

Orang-orang datang memukulinya. Lelaki jalang terusir. Aku senang. Ibu selamat dari jahanam itu.

Akhirnya api dalam rumahku perlahan-lahan mulai padam. Aku dan ibu bisa melewati bulan suci tanpa khawatir. Walaupun aku masih melihat ada sisa cinta di hati ibu untuk si Jalang. Juga hati yang mengharap lelakinya kembali pulang.

****

            Waktu yang menghadirkan sang Jalang untuk aku dan ibu. Waktu juga yang perlahan menyembuhkan aku dan ibu dari luka kebiadaban setan lelaki itu. Tapi kini, waktu kembali mengahadirkan luka itu untuk kami. Waktu benar-benar mencoba untuk bermain-main dengan keluargaku.

Pada hari dimana takbir menggema dan kata maaf menyelimuti semua bibir manusia, lelaki jalang datang kembali mengetuk pintu rumah.  Bersenjatakan maaf dan tobat di waktu lebaran, ia mengiba memohon agar pintu rumah kembali terbuka. Ibu luluh. Pintu rumah kembali dibuka untuknya.

Lebaran melesat. Maaf dan tobatnya hanya sesaat. Aku dan ibu terbunuh untuk kedua kalinya. Api kembali berkobar. Aku terbakar. Ibu begitu mudah tertipu. Sudah dua kali bulan suci menyelamatkan kami dari terkaman sang jalang. Sudah dua kali juga lebaran kembali dimanfaatkannya untuk mengetuk pintu rumah. Cerita-cerita dalam televisi tak selamamya benar.  Lihat, lelaki jalang selalu menang. Kejahatannya selalu beruntung

Kali ini aku tak mau ibu benar-benar mati di tangan lelaki itu. Aku tak mau lebaran kembali mempertemukan kami. Aku benar-benar membeci saat lebaran itu. Saat dimana maaf selalu jadi alasan dendam menghilang.

Tepat sebelum takbir menggema, saat aku menyusun rencana agar lebaran tak datang untuk aku dan ibu, aku menaruh racun serangga merek ternama pada menu makan malam. Aroma makanan di meja memancar kebahagaian. Saat magrib menggaung, kami pun menyantapnya dengan sedikit senyuman. Sejak saat itu lebaran tak akan pernah muncul dan menyalakan api di rumah kami. Sang jalang pun tak akan pernah kembali mengetuk pintu rumah. Dan aku, tak akan pernah mendengar kata maaf dari bibir manusia-manusia itu lagi.

**Dimuat di Jawa Pos Radar Bromo edisi Minggu 28 Juli 2013

*Anggota UAPKM-UB

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.