PERINGATAN HARI TANI: MENGHAYAT PETANI SAMINNYA SOESILO TOER
“Masak, masak apa yang nggak pernah mateng? Masak iya?”
Soesilo Toer berkelakar ala Samin, seorang tokoh yang ditulisnya dalam bukunya, “Dunia Samin”. Di Blora, kata Soesilo, setiap masa punya “Samin”-nya sendiri. Sehingga ia meyakini bahwa Samin bukanlah tokoh fiksi. Ia adalah tokoh nyata yang melahirkan paham Saminisme.
“Di dunia ini banyak sekali orang yang bernama Samin,” jelas Soesilo pada acara “Tandur Gulma Refleksi Hari Tani”. Samin merupakan tokoh protagonis yang menolong rakyat kecil dari jerat kemiskinan. “Seperti Robin Hood,” katanya yang menjadi salah satu pembicara di acara tersebut, Minggu (24/09) kemarin. Tapi tidak berhenti di situ, Samin yang disosokkan Soesilo adalah seorang tokoh yang dekat dengan lingkungan, khususnya dunia pertanian.
Orang Samin (pemeluk Saminisme), bagi Soesilo, adalah orang-orang yang memberontak pemerintahan Hindia-Belanda di masa Kolonial. Karena dalam masa Revolusi Pertanian, “Eksplantasi pertani dan buruh melahirkan Kapitalisme,” ujarnya. Dirunut lebih detail “Dunia Samin” berkaitan dengan revolusi Prancis yang menjadi tonggak runtuhnya feodalisme, menuju kapitalisme, menuju imperialisme, dan berakhir di kolonialisme.
Di masa kini, orang-orang Samin memberontak pembangunan pabrik semen di Rembang hingga Pati. Aksi itu melahirkan sosok Padmi yang meninggal karena menyemen kakinya pada saat melakukan penolakan. Sosok Padmi, adalah sosok yang ia abadikan dalam puisi yang ditulisnya. “Padmi, Patriot Bumi!” kata Soesilo.
Muda Bertani
Pentingnya dunia pertanian yang menjadi latar sosial dalam “Dunia Samin” disebabkan oleh pentingnya peran petani dalam mengatasi isu pangan. Soesilo menjelaskan bahwa manusia di dunia selalu kekurangan makan, “Yang menolong adalah petani,” jelasnya.
Hadir sebagai pembicara, pada acara kolaborasi yang dilaksanakan di Pan Java Garden tersebut, Rifki Azriel, seorang petani kopi yang masih muda. Motivasinya untuk bertani adalah anngapannya bahwa petani memiliki keterjaminan atas pangan. Tetapi kenyataannya, kata Rifki, justru banyak petani yang miskin dan kekurangan pangan. Ia yang sudah enam tahun bertani itu lantas bertanya, “Bagaimana kita bisa bergantung pada petani, tetapi kami petani sendiri tidak bisa makan?”
Ketergantungan terhadap pupuk menjadi kritik yang sudah lama menjadi persoalan bagi Rifki. Katanya, “Harga pupuk masih menjadi persoalan.” Hal ini menjadikan sikap pesimistisnya terhadap pemerintah yang dinilainya gagal dalam mengatasi isu pertanian. Soal ketahanan pangan, sebagaimana dijanjikan oleh para bakal calon presiden selanjutnya, Rifki berpendapat, “Mau berharap apa pada tirani?”
Mengutip Ernest Douwes Dekker, “Tugas manusia adalah menjadi manusia itu sendiri,” Soesilo menjelaskan bahwa produksi pertanian yang didorong oleh industri justru merusak alam. Ini lah salah satu poin permasalahan lain yang dirasakan oleh Rifki sebagai petani kopi. Ia banyak melihat adanya rekayasa genetik terhadap tumbuhan yang ia rasa itu adalah bentuk mempermainkan tumbuhan, tidak menjadikan tumbuhan sebagai tumbuhan itu sendiri. “Di suatu daerah, ada petani yang ditangkap karena menanam jenis bibit tertentu karena dianggap melanggar hak cipta, tanaman punya hak cipta sekarang,” ujar Rifki berkisah.
Revolusi Sebatang Jerami
Industrialisasi pertanian dengan pengadaan pupuk kimia, pestisida dan sebagainya memang dirasa menguntungkan dan memberikan hasil panen yang tinggi. “Tapi lama-lama itu juga akan merusak lahan pertanian para petani sendiri,” Kata Tri Wardani, seorang dosen agroteknologi Universitas Widyagama Malang. “Pupuk pabrik itu selain menyuburkan juga menghancurkan,” tambah Soesilo.
Ia yang hadir sebagai pembicara pada acara tersebut, mengulas banyak perihal sebuah buku yang berjudul “Revolusi Sebatang Jerami” karya Masanobu Fukouda. Tri menceritakan bahwa Fukouda adalah seorang ahli microbiologi yang akhirnya memutuskan untuk bercocok tanam sebagai petani. Fukouda, jelas Tri, melihat bagaimana tanaman tumbuh dengan caranya sendiri.
Diberi judul “Revolusi Sebatang Jerami”, Tri menjelaskan bahwa sang penulis berhasil menyuburkan tanah pesawahan yang kering hanya dengan batang-batang jerami. Fukouda tidak menggunakan bahan-bahan kimia. Jelas Tri, cara bertani Fukouda, “Tidak berusaha menguasai alam, tetapi bekerja sama dengan alam.”
Bagi Fukouda, yang dikutip oleh Tri, hal yang penting dalam bertani bukan lah bertani itu sendiri, melainkan, “Pola pikir petaninya,” katanya. Tri berkeyakinan bahwa petani di Indonesia dapat mandiri tanpa bergantung pada subsidi pupuk dan bahan kimia lainnya. Di daerah Taji, jelas Tri, banyak tumbuh tanaman paitan (tithonia diversifolia). Tanaman yang mengandung hidrogen tinggi itu, dapat menyuburkan tanah dengan baik.
Ia memberi contoh para petani Kenya. Tri menjelaskan bahwa Kenya adalah negara miskin yang petaninya tidak mampu membelli pupuk. Yang mendorong produksi pertanian di Kenya tersebut adalah penggunaan tumbuhan paitan yang banyak tumbuh di Kenya. “Itu hasilnya bagus dan kaya unsur hara,” kata Tri yang menyebut bahwa paitan adalah pupuk hijau berkualitas tinggi.
Masih menjadi persoalan bahwa mengubah pola pikir petani menuju pertanian yang lebih hijau bukan lah perkara mudah. Tri menyebutkan dibutuhkan keberanian sebagaimana Soesilo menuliskan “Dunia Samin”, “Memang tidak gampang, tapi butuh keberanian,” kata Tri. Di akhir sesi, Soesilo juga memberikan motivasi, “Hidup itu harus berani! Menang kalah itu lain lagi.” Rupanya, perkataan itu ia sadur dari perkataan kakaknya, Pramoedya Ananta Toer.
Penulis: Moch. Fajar Izzul Haq