CATATAN MAHASISWA PERTANIAN YANG RAGU JADI PETANI

0

Sebagai mahasiswa pertanian semester tua, saya sering mendapatkan pertanyaan-pertanyaan nyeleneh dari orang sekitar. Mulai dari teman tongkrongan yang selalu bertanya jenis tanaman yang dia lihat, sampai tingkat kesuburan tanah kuburan. Di antara pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan dan sepertinya teman-teman FP yang lain juga mengalami. Pertanyaan itu adalah: “Kamu kalau lulus nanti mau jadi petani?”. 

Tentu saja tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu. Saya memahami bahwa kebanyakan ekspektasi orang terhadap mahasiswa pertanian adalah nantinya akan mengubah kondisi pertanian Indonesia atau paling gampangnya menjadi petani. Tapi kuliah selama empat tahun dengan digembleng teori-teori pertanian menurut saya masih belum cukup untuk terjun langsung menjadi petani. Ada faktor-faktor diluar teori yang bisa membuat mahasiswa FP syok saat menjadi petani.

Anggapan Petani Adalah Pekerjaan Usang

Menariknya, data dari BPS 2022 menunjukan bahwa persentase usia petani Indonesia didominasi kelompok usia 40 tahun ke atas sebanyak 75,81%. Hal ini seolah menunjukan bahwa memang anak muda sudah kehilangan minat untuk menjadi petani.  Mungkin ada banyak alasan yang menyebabkan hal yang seperti ini bisa terjadi. Saya sendiri masih ragu dengan masa depan pertanian indonesia. Ya, mungkin berkaca pada kondisi pertanian Indonesia saat ini yang menurut saya petani masih menjadi objek, bukan subjek. 

Miris ketika melihat negara yang selalu menggembor-gemborkan ke-agraria-annya justru memiliki ekosistem pertanian yang tidak bagus. Pemerintah melihat petani hanya lah dari hasil panen dan segala sesuatu tentang angka produksi lainnya. Hasil dari penjualan panen seringkali tidak dapat menutupi biaya modal. Hal itu disebabkan karena adanya impor yang dilakukan saat panen raya. Ironinya, komoditas yang diimpor kebanyakan didatangkan dari negara yang tidak menjuluki negeri mereka sebagai negeri agraris, misalnya India, Vietnam, dan Thailand.

Padahal yang lebih penting dari angka-angka produksi tersebut adalah kesejahteraan petani. Banyak orang tua yang bekerja sebagai petani tidak ingin anaknya menjadi petani juga. Kebanyakan mereka berharap anaknya tidak mengalami struggle yang sama dengan yang dialami orang tuanya. Mereka beranggapan menjadi petani itu susah. 

Reforma Agraria Cuma Omong Kosong

Tantangan menjadi petani selanjutnya adalah konflik agraria. Saya membayangkan jika nanti menjadi petani tapi tidak memiliki lahan, apakah saya harus sewa lahan terus? Hal itu saja menurut saya cukup untuk mengurungkan niat mahasiswa pertanian menjadi petani. Nah, sekarang saya membayangkan jika saya punya lahan pertanian lalu lahan itu diserobot atau diklaim oleh pihak lain (pemerintah, pemodal, aparatur negara). Tentu bukan hal yang menyenangkan. 

Konflik agraria kurang lebih adalah konflik yang terjadi akibat sengketa lahan. Konflik agraria seringkali terjadi akibat adanya ketimpangan kepemilikan dan pengelolaan. Konflik seperti ini bersifat struktural yang ditandai dengan kebijakan pemerintah yang tumpang tindih. Di tahun 2022, ada sekitar 212 konflik yang terjadi, di mana 99 kasus di antaranya disumbang dari sektor perkebunan dan sisanya adalah proyek strategis pemerintah dan juga swasta. 

Banyak dari kasus konflik agraria melibatkan petani yang berakhir dengan pelanggaran HAM. Sebut saja kasus Pakel, Wadas, dan Salim Kancil. Pada kasus Pakel saja sampai berakhir dengan penangkapan tiga petani Pakel. Mereka ditangkap karena dituduh menyebarkan berita bohong. Saya tidak membayangkan semisal nanti setelah lulus menjadi petani, ketika sedang asyik mencangkul tiba-tiba datang seperangkat alat penggusuran beserta ormas yang mengklaim bahwa tanah itu milik perusahaan. Reforma agraria yang digadang-gadang pemerintah seharusnya tidak berfokus pada lahan yang bebas konflik saja, tapi di daerah yang memiliki kompetisi tanah yang ketat dan terdapat banyak konflik.

Ancaman Krisis Iklim

Sudah jatuh tertimpa buldoser, kini ditambah dengan ancaman krisi iklim pula. Jika banyak yang beranggapan bahwa krisis iklim adalah omong kosong, tentu saja salah besar. Krisis iklim menjadi ancaman serius bagi petani. Seperti yang kita ketahui, sektor pertanian sangat bergantung dengan alam. Mulai dari penentuan awal tanam, pengendalian hama dan penyakit, sampai proses panen. 

Perubahan iklim yang terjadi saat ini mengakibatkan pergeseran musim yang menyulitkan petani menentukan masa tanam dan panen. Perubahan suhu dan kelembapan udara yang fluktuatif menyebabkan serangan hama dan penyakit sulit terprediksi, dan akibatnya berpengaruh terhadap kualitas tanaman komoditas. Peningkatan suhu global ini jelas mempengaruhi tanaman-tanaman yang memiliki spesifikasi suhu tertentu agar bisa tumbuh optimal. 

Misalnya saja, lahan pertanian apel di Kota Batu sekarang mulai menurun. Petani banyak yang beralih ke komoditas lain karena suhu di kota Batu sudah bergeser dan kurang cocok untuk tanaman apel. Jika krisis iklim masih tidak ditanggapi serius, mungkin kota Batu perlu mengganti ikon kotanya menjadi kota sejuta villa.

Itu lah sederet alasan kenapa saya sebagai mahasiswa pertanian masih ragu menjadi petani. Terakhir, pesan saya terhadap Menteri Pertanian Indonesia nanti, sebenarnya masih banyak potensi pertanian di Indonesia yang kurang diperhatikan oleh pemerintah. Menarik minat anak muda khususon mahasiswa pertanian agar mau jadi petani mungkin bisa menjadi solusi. Perlu juga untuk memperhatikan kesejahteraan petani beserta keluarganya. Jangan hanya menuntut hasil produksi saja atau memberi apresiasi petani dengan memberikan subsidi liburan gratis. Penanganan konflik agraria yang intimidatif dan represif pun mesti dikurangi. Kalau ini benar-benar terwujud, mungkin jumlah petani di Indonesia akan membludak.

Penulis: Byllal Fajar Aristiadi
Illustrator: Husnul Khotimah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.