DAN KITA SEMUA ADALAH PELANTUR
Mungkin ada sesuatu, datang, dan terjadi hanya untuk menjadi sia-sia, sama seperti esai yang dimaksudkan sebagai balasan dari tulisan saya pada buletin PIKSILASI edisi kedua: Juni 2023 dengan judul Cinta Melulu. Kosong barangkali adalah perasaan yang cukup mengungkapkan kesan saat mula pertama saya purna membacanya. Saya percaya pemaknaan setiap kepala terhadap kekosongan adalah beda, dan itu niscaya! Maka mengisi kekosongan dengan menghabiskan jeda malam bersama Jeff Buckley adalah suatu siasat, setidaknya bagi saya. Malam di tengah sisa sepat, kekosongan yang tak menentu seperti malam lalu, membawa saya secara refleks untuk menelusuri deretan daftar putar di sebuah media, mengetikkan lima huruf yang telah dihapal sungguh oleh jemari tanpa saya suruh; G—R—A—C—E. Grace secara personal untuk saya adalah masterpiece. Di dalamnya sarat akan makna pertemuan, suka-cita, dan diakhiri dengan kehilangan. Tiga hal yang merupa delirium bagi hidup yang seolah berjalan biasa-biasa saja. Perjumpaan dan kehilangan, adalah dua hal lain yang sungguh layak untuk dirayakan, sebagaimana tulisan ini bermula dan di suatu waktu akan berakhir.
Barangkali Lilac Wine—yang menanti kita pada deret putar keempat—adalah pas menemani kita guna memeluruskan benang kusut perihal sastra dan realitas—atau realitas dalam sastra?—yang lagi-lagi gagal dipertanggungjawabkan penulis dalam esainya termutakhir. Butuh setidaknya paling sedikit empat paragraf bagi penulis untuk meruntuhkan keyakinannya sendiri melalui apa yang ia tulis. Ketika membaca empat paragraf—bermula pada “Sepenuhnya saya mengakui…”—ini, saya masih tak habis pikir betapa penulis agaknya masih kesulitan dalam menafsirkan pemikirannya sendiri, hingga akhirnya ia gagal menengarai titik mula pembahasan. Bukan representasi agaknya yang perlu didudukkan penulis, justru argumen atas realitas-zaman-ini-lah yang semestinya diejawantahkan. Sederhana saja sebenarnya, jika penulis telah meletakkan pijakannya atas realitas, maka selanjutnya tinggal mengaitkan argumen tersebut dengan karya sastra.
Saya tengarai jangan-jangan penulis memang masih belum juga dapat beranjak dari Oedipus, tak apa. Hal semacam ini juga merupakan karunia, ketika seseorang bisa membuahkan sebuah karya teramat adiluhung hingga tak lekang zaman. Maka Sopochles agaknya berhasil menjadikan Oedipus Rex sebagai magnum opus-nya hingga mengakar dalam pada benak penulis. Tapi menakar religiusitas masyarakat dengan tarikh yang terlampau senjang bagi saya terlalu mengada-ada. Barangkali penulis lupa, bahwa jauh sebelum klaim penulis yang secara sepihak menyatakan Oedipus Rex ditulis dengan misi mengemban nilai moral dan religiusitas yang merefleksikan keadaan masyarakat Yunani Klasik zaman-itu, Thales dari Miletus telah mulai menapak jejak pergeseran pada perkembangan penalaran kita. Maka saya rasa klaim penulis ini sedikit ngawur dan kontroversial, menyatakan dekadensi peradaban Yunani Klasik untuk mundur nyaris dua ratus tahun ke belakang, ini belum lagi ditambah pernyataan terkutip bahwa “demikianlah kemudian representasi atas realitas bekerja melalui nilai-nilai moral yang dipetik dari tulisannya,” sungguh asumsi berlebih yang teramat menggelikan, hingga dahi saya pun masih berkerut ketika tulisan ini sampai pada Anda. Sepertinya sudah saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal pada pernyataan lancung, yang barangkali penulis pun juga tidak meyakini apa yang ditulisnya dengan sungguh.
Seperti yang saya sampaikan, Lilac Wine telah menunggu kita. Melaluinya, Buckley seolah meyakinkan dirinya sendiri—dan kita—bahwa delusi yang ia rasakan adalah nyata. Buckley menyatakan bahwa I lost myself on a cool damp night//I gave myself in that misty light//Was hypnotized by a strange delight//Under a lilac tree dan setelahnya I made wine from the lilac tree//Put my heart in its recipe. Jika—saya hanya menuliskan seperti apa yang telah tertulis—Exupery dalam The Little Prince mampu menggambarkan secara detil Sahara karena ia adalah pilot, kemudian apakah bisa dikatakan bahwa Jeff Buckley adalah seorang pelantur yang berusaha membuat wine dari sebuah pohon ilusi ditambah dengan hatinya? Kita mengiakan bahwa pembuatan wine galibnya menggunakan buah anggur, lalu benarkah Buckley sedang mencoba bermain-main dengan realitas kita? tunggu sampai Anda mendengar bagian ini; Listen to me//Why is everything so hazy//Isn’t that she//Or am I just going crazy, dear? Dasar sinting!
Sebelum beranjak, ada satu hal lindap, terkait uraian penulis dan komentarnya atas argumen dari Platon. Terkutip penulis menyatakan “[…]kisah-kisah meniru moral yang ada di kenyataan. Lebih lanjut lagi, mari simak pernyataan ini, “Sastra yang disebut meniru ini baginya (Platon) memang buruk, dan sastrawan mengambil tokoh dan latar yang tak ada di dunia nyata, namun kisah tersebut kaya akan nilai moral.” Dari proposisi dalam kalimat tersebut, sangat eksplisit penulis menyatakan (pertama) realitas bekerja melalui nilai moral yang dipetik dan (kedua) sastrawan mengambil tokoh dan latar yang tak ada di dunia nyata namun kaya nilai moral, maka (bagi penulis) sangat lah sahih bahwa sastra mengambil inspirasinya dari fenomena dunia nyata, sebuah anekdot berpredikat kompor-meleduk yang sangat menggelikan. Bagi saya, selain apa yang diuraikan dan disimpulkan penulis saling bertolakan, kelancungan pernyataan itu semakin menegaskan kenaifan penulis perihal realitas yang telah ditegaskan sebelumnya. Pertentangan internal dalam pernyataan penulis berlanjut pada pembicaraan The Little Prince hingga Laut Bercerita, silakan membaca kembali jika berkenan, sekalipun pernyataan penulis ihwal Kapten Nemo adalah hasil cerapan Verne atas tokoh real bernama Gustave Flourens hanya berupa uraian dengan dasar asumsi, yang saya tak akan membuang waktu untuk itu.
sependek pemahaman saya terkait apa yang penulis tulis, tetapi saya yakin kita tak perlu menjadi pilot seperti Exupery dahulu untuk mulai menulis prosa fiksi. Cukup menggunakan ketajaman daya jelajah imaji kita guna membentuk suatu hal yang unik nan personal, perdekat dengan hal-hal galib yang ada dalam realitas inderawi kita, tulis hingga tuntas, dan “zing!” selamat, Anda telah menciptakan kehidupan dalam rupa teks prosa fiksi. Persoal realitas, saya masih setia bersitahan dengan anggapan bahwa realitas adalah hasil resepsi dari sebuah rangkaian sistem yang memungkinkan indera kita mencerapnya, kemudian dikonstruksi sedemikian rupa oleh komuni sosial, dibumbui dengan etika, moral, hukum, nilai, serta etiket yang berlaku, hingga dibungkus common-sense yang ada, barulah ia menjelma menjadi realitas. Yang menarik sejujurnya adalah apakah fantasi ataukah realitas yang hadir mula-mula dalam mengilhami seorang pengarang dalam mencipta karyanya. Tetapi perlu juga diingat bahwa posisi kita adalah sebatas penikmat, pembaca, paling mujur adalah peneliti yang hanya berusaha memberi makna. Kita bukanlah peramal yang bisa tahu apa yang tersemat di kepala seorang pengarang di balik lahirnya suatu karya, apalagi menakar nilai yang akan disampaikannya. Kita bisa saja mengatakan Verne mengimajikan Nautilus karena ia pernah melihat gurunya menggambar kapal selam, kita pun boleh berujar dengan gegap-gempita kalau Bre Redhana menulis Blues Merbabu didasarkan pada pengalaman pahit masa kecilnya medio 1960-an. Pertanyaannya, apakah pendapat serupa juga bisa berlaku pada karya-karya seperti Divine Comedy, Candide, 1984, Fahrenheit 451, dan A Clockwork Orange? Apakah Dante pernah masuk neraka? Apakah Voltaire sesaleh itu dalam memengang teguh teodisinya? Apakah Orwell, Bradbury, dan Burgess adalah penjelajah waktu, atau ahli nujum kawakan? Lagi-lagi apa yang kita uraikan, toh, hanya sebatas asumsi, sebatas klaim.
Bagi saya, anggapan-atas-realitas bisa saja memberi pengaruh terhadap realitas itu sendiri. Bukan saya—yang seorang pandir ini—ingin mengungkit idealism dan metafisika klasik bak seorang Platonis atau Hegelian muda, tetapi saya masih percaya bahwa pemahaman kita atas realitas bisa saja hanya merupakan abtraksi, sebab ketidakmampuan kita dalam memahami kesenjangan antara anggapan-atas-realitas dengan realitas itu sendiri. Kemudian fantasi hadir dengan begitu liarnya, pendeknya—jika saya seorang pengarang—adalah saya akan berusaha memfamiliarisasikannya dengan cara mendekatkan fantasi yang abstrak tersebut menggunakan hal yang galib; realitas, setidaknya sebagian besar dari kita pernah membayangkan Tuhan juga memiliki bentuk merupa manusia, bukan?
Sebagaimana hidup Buckley yang berakhir sesaat menjelang maghrib di sungai Mississippi, Lilac Wine yang selesai pada menit ke-4 lebih 32 detik, maka semua yang menitik mula akan menemu akhir, begitu pula tulisan ini. Sedikit catatan dari saya, apabila penulis merasa kurang sreg dengan lantunan suara Jeff Buckley sepanjang tulisan ini, saya sarankan untuk coba dengarkan secara khidmat dan berulang tembang Pelantur diambil dari album ketiga The Adams, Agterplaas. Sedikitnya ulang sepuluh kali, dan setelahnya… Selamat datang kembali pada realitas! Semoga basa-basi semacam ini masih bisa menghibur kita~
Penulis: Pamujism
Ilustrasi: Muhammad Zaki