Arah Takdir yang Tak Sama
Oleh : Aurelya Dinda Pratiwi
Desember 2021
Pukul 2:00
Siapa yang memilih takdir? Tuhan atau Manusia?
Aroma kopi yang baru saja saya buat berhasil menghilangkan rasa kantuk yang berusaha memeluk kelopak mata. Masih berkutat dengan kumpulan kertas yang penuh dengan coretan merah. Saya sempatkan membuka gawai dan menemukan pesan Rina—pemimpin redaksi—yang tenggelam dan berisi pesan singkat bahwa pukul 09.00 nanti saya harus bertemu seseorang. Cahaya hangat matahari masih muncul beberapa jam lagi, sementara isi kepala masih berceceran di atas kertas berisi foto-foto perempuan yang bernasib sama dengan perempuan yang melahirkan saya puluhan tahun lalu. Ibu—perempuan yang tidak berhasil saya selamatkan. Kematiannya mungkin adalah pertanda. Saya anggap tanggung jawab ini bukan sekadar urusan pekerjaan, tetapi lebih dari itu. Pengabdian menunda kematian.
1 Januari 2001
Inilah cerita saya di awal abad ke-21. Bukan tentang perayaan senang atau bahagia bisa berkumpul bersama keluarga, takdir justru memilih saya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak pernah saya ketahui asal-usulnya. Saya menikahi seorang laki-laki pilihan ayah—ayah yang tidak pernah saya tahu apa yang dia lakukan setiap malam minggu semenjak kematian ibu. Saya dinikahkan dengan seorang laki-laki bernama Amar. Siapa itu Amar? Saya juga tidak tahu. Perawakannya hitam dan kurus, saat itu ia terlihat berusia lima tahun di atas saya. Yang saya tahu di tahun itu adalah sebagai perempuan saya hanya bisa mengikuti semua pilihan ayah. Menikah bukanlah hal yang krusial dan pilihan orang tua pasti adalah yang terbaik. Itulah kesimpulan yang saya pegang sebagai seorang anak perempuan.
1 Januari 2015
100 hari kematian ayah. Saya tidak tahu harus sedih atau bahagia karena hubungan kami sebagai orang tua dan anak tidak pernah dekat. Saya tidak pernah mengerti apa yang dia pikirkan, apa yang dia maksudkan di setiap keputusan di hidupnya dan juga hidup saya. Ayah hanya bertindak sesuai kehendaknya. Dia bahkan tidak tahu bahwa selama satu tahun pernikahan saya dengan Amar, laki-laki ini melakukan hal yang sama seperti yang ayah lakukan saat ibu masih ada. Atau seandainya dia tahu, dia tidak akan peduli. Seorang ayah,laki-laki ini selalu menutup mata pada kenyataan bahwa ibu meninggal gara-gara ingin melarikan diri dari yang selalu memukulnya setiap hari karena hal-hal kecil yang tidak ibu lakukan. Misalnya, di satu waktu ibu bangun kesiangan dan akhirnya telat membuat kopi untuk ayah.
Waktu itu, saya masih berumur lima tahun dan tidak bisa mengganti peran ibu untuk membuatkan ayah kopi. Ayahpun marah. Dia menyeret ibu dan menarik rambutnya hingga ibu menangis dan meminta ampun. Dia mulai menyangkut pautkan ibu yang bangun kesiangan dengan kedatangannya yang agak malam, sekitar pukul 10:00. Dia mengatakan ibu adalah wanita jalang yang senang “menjajakan” tubuhnya kepada laki-laki lain, padahal ayaht idak tahu bahwa ibu pergi ke rumah tetangga sebelah untuk mencuci pakaian karena uang pemberian dari ayah tidak cukup untuk mengenyangkan perut kami untuk satu minggu.
Kemana perginya uang ayah? Padahal dia selalu berangkat setiap pagi dari Senin sampai Jumat tanpa pernah libur satu kali pun. Ini hanya satu cerita dari bagaimana ayah memukul ibu atas landasan emosi dan ketidaktahuannya. Saya tidak tahu di hari kematiannya apakah ibu mendapat dosa atau surga karena dia pergi meninggalkan kami dengan cara yang tidak pernah kami duga. Baru setelah agak dewasa, saya mengetahui di antara mereka tidak pernah ada cinta, begitu pula saya dengan Amar. Satu pertanyaan yang tidak akan pernah saya dapatkan jawabannya, mengapa waktu itu ibu tetap memilih bertahan?
Di 100 hari meninggalnya ayah, saya dan Amar tidak melakukan perayaan apa pun. Saya tidak benci, tidak pula dendam. Marah? Mungkin iya, tetapi kalau dipikir-pikir lagi untuk apa selamanya menyimpan amarah kepada seseorang yang sekarang sudah tidak ada?
Sebuah perayaan kecil yang bisa saya lakukan di hari ini adalah bermonolog dengan diri sendiri. Monolog ini saya lakukan bersama dengan Sekar kecil dan berisi bincang masa lalu dan masa kini agar kami tidak saling benci dan saling mengerti. Beberapa hal yang dibicarakan berisi tentang bagaimana seharusnya perempuan berbicara dan bersikap. Jujur, saya tidak terlalu senang membicarakan ini karena sepenuhnya berisi pengekangan dan keterbatasan pilihan untuk perempuan. Saya sempat merasa rugi dilahirkan sebagai perempuan karena perempuan hanya boleh diam dan duduk manis.
Sekar sekarang: “ Sekar, di 100 hari tiadanya ayah, saya mau kita berbicara tentang apa yang membentuk dirimu. Apa yang Sekar kecil selama ini pegang sebagai manusia. Bagaimana kamu melihat dunia kecilmu saat itu. Saya akan memberikan tanggapan seperlunya karena dari yang kamu sampaikan, mungkin sekarang sudah tidak lagi jadi kepercayaan saya hari ini. Kamu tahu sekarang saya sudah tidak lagi tinggal di tempat kita tumbuh besar. Saya bertemu banyak orang. Saya dihadapkan dengan jutaan pengalaman. Jadi, saya harap kamu juga bisa mendengarkan. Satu hal, saya sama sekali tidak akan menyesali hal-hal yang kita yakini di masa lalu karena itu juga bagian dari dirimu, bagian dari diri saya. Saya persilakan kamu bicara lebih dulu.”
Sekar kecil: “Memasak hanya boleh dilakukan oleh perempuan. Begitu juga dengan belanja bulanan. Setiap hari minggu saya bersama ibu pergi ke warung Bu Mina untuk membeli beras dan juga kopi hitam bubuk. Suatu waktu, kalau aku tidak salah, di pagi-pagi buta saya mendengar ibu dihina habis-habisan oleh mertuanya (ibu ayah) saat ayah waktu itu dimintai tolong untuk memasak air hangat untuk kopinya karena ibu sedang mengangkat jemuran yang terkena hujan. Memasak juga dijadikan alasan agar suami tidak keluyuran dan makin cinta istri.”
Sekar sekarang : “Memasak bukanlah urusan perempuan. Siapa saja bisa memasak. Cinta dalam rumah tangga bukan diukur dari seberapa hebat perempuan bisa memasak. Dulu ayah juga tidak tahu cara membetulkan atap yang bocor karena hujan dan hanya bisa mengeluh tidak jelas. Kenapa kemampuan itu juga tidak dituntut kepada laki-laki?Apa kamu dan ibu lantas berpikir ayah gagal menjadi laki-laki karena tidak bisa membereskan atap yang bocor? Tentu tidak bukan?”
Sekar kecil : “Perempuan harus segera menikah. Kamu ingat kan waktu itu kamu menikah di usia sembilan belas tahun? Banyak orang bilang jangan menunda-nunda menikah sampai umur tiga puluh, nanti dikira tidak laku. Mungkin ayah menikahkan kamu karena takut kamu diolok-olok sebagai perawan tua.”
Sekar sekarang : “Peduli setan dengan pendapat orang. Perempuan bukanbarang, Sekar. Kita bukan benda mati yang tidak punya otak dan nyawa. Setiap orang punya prioritasnya masing-masing. Kita tidak pernah tau apa yang menjadi alasan seseorang sehingga dia memilih menunda atau bahkan tidak menikah. Masyarakat kita terlalu mengglorifikasi pernikahan, menurutku. Rentang usia untuk menikah bahkan dibuat oleh masyarakat. Sebenarnya kita ini terburu-buru dikejar apa, sih?”
Sekar sekarang : “Ya … tahun itu mungkin banyak perempuan masih banyak di dalam rumah, tetapi sekarang zaman sudah berubah. Cepat sekali berubah. Perempuan bahkan keluar rumah bukan karena mau, tetapi harus. Saya bertemu ratusan perempuan yang berjuang mencari nafkah agar anaknya tetap bisa makan. Dia tidak peduli pada kemungkinan dia akan dijahati atau diganggu oleh laki-laki. Lagian apa tidak terbalik? Bukannya yang harusnya tidak diluar itu orang-orang yang berperilaku bejat?”
***
Akhir Januari 2015
Saya telah menjadi seorang jurnalis selamalima tahun dan bercerai dengan Amar. Saya memilih takdir yang berbeda dengan ibu. Saya tidak ingin pergi dari dunia ini karena tingkah jahat seorang laki-laki. Profesi ini membuat saya berani membuat keputusan dan menentukan pilihan untuk diri saya sendiri. Bekerja di dunia seperti ini telah mempertemukan saya dengan ratusan perempuan yang bernasib sama dengan ibu. Saya seperti melihat kepingan kaca yang rusak, tetapi tetap digenggam erat. Saya tidak mau dihantui hal-hal yang melazimkan kekerasan. Oleh sebab itu, saya memilih terus melakoni profesi ini.
Desember 2021
Pukul 09.00
“Ini bukan cuma perkara uang. Saya harap kamu kuat,” ucap laki-laki yang sangat khas suaranya.
“Melakukan ini seperti membuka luka lama yang sudah saya simpan rapi, tetapi saya tidak ingin melihat orang lain menyimpan luka yang sama. Kita mungkin tidak bisa selamatkan semua, tetapi saya ingin mengucapkan terima kasih atas kesempatan ini, Amar.” balas saya.
“Kamu hebat, Sekar. Tidak saya sangka profesi ini mempertemukan lagi saya dengan kamu di kota ini. Setelah apa yang terjadi di masa lalu, saya ingin meminta maaf atas perlakuan saya. Saya mendirikan komunitas ini dengan rasa bersalah yang ingin saya tebus sampai saya mati kepada seorang perempuan. Dan kamu tahu, perempuan itu adalah kamu, Sekar. Jadi, saya harap kamu bisa menerima kerja sama ini.” kata Amar.
Enam tahun berlalu. Setelah saya dan Amar berpisah kami memutuskan untuk menjalani dan memilih jalan hidup masing-masing. Amar tetaplah laki-laki kurus berkulit hitam, bedanya sekarang warna putih mulai menyukai warna hitam di rambutnya. Saya tetaplah Sekar yang tidak mengenalnya. Kami tidak pernah tahu kabar satu sama lain, hingga ruangan kecil dengan kumpulan notes di dinding tempat saya bekerja mempertemukan kami di tempat dan waktu yang sama. Amar ternyata tinggal di kota ini dan mendirikan komunitas peduli korban kekerasan. Komunitasnya melakukan kerja sama dengan media tempat saya bekerja agar gerakannya menarik lebih banyak massa. Manusia ternyata bisa sangat berubah menjadi sosok yang tidak pernah kita duga.
Jakarta, Jakarta, Jakarta, tempat jutaan pertemuan tak terduga.
Entah kenapa pagi ini angin terasa lebih segar dari biasanya.