RUU HIP Tidak Perlu Dikebut, Lagipula Untuk Apa?
Penulis: Tiara Bakhtiar
Pancasila sebagai dasar ideologi negara telah melewati dinamika yang begitu panjang. Bermula dari Piagam Jakarta hingga pada akhirnya termaklumatkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai satu kesatuan identitas bangsa yang utuh dan sah. Namun yang perlu ditekankan kembali saat ini ialah, pancasila bukan hanya sekadar rumusan yang tekstual dan normatif.
Pancasila bukan hanya sekadar bunyi menggema di setiap upacara bendera. Pancasila merupakan sebuah pijakan bagi tiap warga dalam berbangsa dan bernegara, sekaligus sebagai landasan utama dalam pembuatan pelbagai produk hukum. Namun, tampaknya hal ini tereduksi dengan masuknya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila ke dalam Prolegnas tahun 2020 yang dicurigai mengancam kedudukan Pancasila saat ini.
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) secara singkat merupakan sebuah undang-undang yang berisi tentang gagasan baru mengenai haluan atau pedoman ideologi Pancasila. Di dalamnya membuat klausul-klausul yang tampaknya meresahkan masyarakat dan cenderung multitafsir.
Sarat Kontroversi
RUU HIP yang terdiri dari 10 bab dan 60 pasal ini menyita perhatian karena terdapat substansi yang kontroversial. Adapun Bab II Pasal 7 paling banyak menyita atensi dari masyarakat. Pasal tersebut menjelaskan bahwa ciri pokok Pancasila yang berupa Trisila; sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan, dan Ekasila yang berisi gotong royong. Dua klausul tersebut pernah disampaikan oleh Bung Karno dalam perumusan dasar negara.
Pengerucutan klausul menjadi Trisila dan Ekasila merupakan upaya mendegradasi Pancasila sebagai kesatuan utuh. Hal tersebut terkesan menodai dan mengkhianati perjuangan bangsa Indonesa. Upaya pengerucutan juga sama artinya dengan menjatuhkan konstruksi fundamental dalam nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap butir Pancasila. Jika kita merujuk pada pasal 2 UU Nomor 10 tahun 2004 yang berbunyi, “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”, maka perubahan pada konsep Pancasila ditakutkan akan berpengaruh pada tatanan hukum bangsa Indonesia.
Selain Trisila dan Ekasila, terdapat frasa baru yang lahir pada RUU HIP dan cukup kontroversial pula yaitu “Ketuhanan yang berkebudayaan”. Hal ini pernah disampaikan oleh Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, namun terjadi perubahan pada finalnya. Menjadi sebuah polemik yang ramai diperbincangkan di masyarakat dengan tuduhan mengesampingkan sila pertama Pancasila, serta ketakutan akan berkembangnya sekulerisme di Indonesia.
Adapun TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tidak dimasukkan menjadi konsideran dalam pembahasan RUU HIP. Padahal ketetapan tersebut seharusnya menjadi salah satu pedoman bagi pemerintah dalam membuat peraturan. Isi ketetapan tersebut antara lain mengenai pembubaran partai komunis, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Indonesia bagi partai komunis Indonesia, serta larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunis/marxism-leninism.
Hal ini sangat penting untuk menjadi pertimbangan dalam pembahasan RUU HIP. Momentum kelam ‘lubang buaya’ bebarapa puluhan tahun silam mengindikasikan bahwa Pancasila pernah diperangi membabi buta dan ingin diganti dengan ajaran atau gagasan baru. Pancasila mati-matian dipertahankan, dan saat itu pula Pancasila diperkuat dan menjadi sakti. Oleh karena itu setiap pada 1 juni diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Tidak dimasukkannya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 menimbulkan kecurigaan dari masyarakat tentang kebangkitan kaum komunis yang dari segi historis cukup melukai bangsa Indonesia.
Urgensi Rendah
RUU HIP memang masih sarat dengan kontroversial di dalamnya. Selain klausul yang meresahkan dan multitafsir, pembahasan RUU tersebut di masa sekarang juga memiliki kadar urgensi yang rendah. Bukan hanya karena substansi yang dibawa, tetapi juga waktu yang tidak tepat. Bandingkan dengan sejumlah keadaan yang sangat memerlukan pengaturan hukum yang jelas, seperti RUU PKS. Berkaca dari banyak dan beragamnya kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi dalam lingkungan masyarakat luas, maka seharusnya RUU PKS mendapatkan prioritas karena terbukti mengancam keselamatan masyarakat dan merugikan korban, baik dari segi fisik maupun psikis. Daripada merancang produk hukum baru yang mengatur hal-hal yang sudah jelas, konkrit dan tak terbantahkan, ada baiknya membahas persoalan-persoalan yang darurat. Namun anggota legislatif memang pandai perihal memberi kejutan, dan sepaket pula dengan kekecewaan.
Ditambah pula saat ini Indonesia tengah dihadapkan dengan situasi pandemi virus corona, dimana bijaknya seluruh jajaran pemerintahan menyatukan langkah untuk menangani kasus ini. Dilansir dari situs Satgas Covid-19, peningkatan jumlah kasus hingga mencapai 2.307 per hari, dan total sejak diumumkannya kasus pertama hingga saat ini terdapat 135.123 orang. Dari data tersebut membuktikan bahwasanya ada persoalan lain yang jauh lebih membutuhkan prioritas dalam penanganannya.
Di tengah penolakan secara masif oleh masyarakat, pemerintah menawarkan ulang konsep baru dari RUU HIP, yakni RUU BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) sebagai gantinya. Perbedaan yang cukup signifikan terjadi dalam RUU BPIP kali ini, mulai dari jumlah bab dan pasal yang lebih sedikit dibandingkan dengan RUU HIP yaitu hanya memuat 7 bab dan 12 pasal. Selain itu pasal 1 RUU BPIP cukup menjawab atas keresahan yang timbul akibat Trisila dan Ekasila di RUU HIP, pasal 1 berbunyi “Pancasila adalah dasar negara, dasar filosofi negara, ideologi negara, dan cita hukum negara untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, serta berdaulat dalam tata masyarakat adil dan makmur sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Begitu pula dengan TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 yang pada kali ini dimasukkan menjadi konsideran dan menjadi salah satu landasan.
Dengan munculnya tawaran baru tersebut memang meminimalisir polemik-polemik yang terjadi karena badan RUU HIP belakangan ini. Namun bukan berarti konsep baru tersebut lantas seketika berubah menjadi darurat, mengingat statusnya hanya menggantikan RUU HIP. Ada baiknya kemudian RUU HIP dicabut dari Prolegnas tanpa perlu menambah regulasi baru untuk menggantikannya. Karena sekali lagi, banyak persoalan yang perlu diselesaikan dan mendapatkan prioritas.