Awal Cerita Saya Tidak Menyukai Polisi

0

{"source_sid":"54A94D7C-208D-48D7-AEF8-4B39E7187419_1588591035558","subsource":"done_button","uid":"54A94D7C-208D-48D7-AEF8-4B39E7187419_1588591034895","source":"other","origin":"gallery"}

Ilustrasi: Nabila

Penulis: Zainal Mustofa

Banyak membaca jadi pintar, sedikit membaca jadi polisi. Maaf pak polisi, di sini saya blak-blakan menuliskannya. Jika anda para polisi merasa bahwa ungkapan itu benar, maka berterimakasihlah kepada masyarakat karena masih ada yang peduli dan memperhatikan kinerja kinerja bapak sekalian.

Dan sebaliknya jika para bapak sekalian masih mengelak, memperlindungi institusi, merasa bahwa anda lah yang paling berwawasan, semoga pengalaman yang akan saya tuliskan berikut dapat membuka mata hati bapak sekalian.

Bermula pada sekitar pertengahan 2018, saat itu sekolah kami di daerah Bekasi menerima sosialisasi perekrutan calon Akademi Kepolisian untuk angkatan pada tahun tersebut. Saya yang kala itu masih duduk di bangku kelas 11 merasa bahwa dinamika yang dijelaskan dalam tubuh kepolisian masih profesional. Stigma awal yang saya tangkap saat itu adalah polisi mengayomi masyarakat, dengan bergabung pada kepolisian berarti satu langkah pasti mengabdi pada negara.

Ya bagaimana tidak profesional, pertengahan 2018 adalah rame-ramenya pentas politik di Jakarta, sedang saya sendiri domisili Bekasi. Masyarakat pada saat itu (dan mungkin sampai saat ini) masih terpolarisasi menjadi dua kubu lucu, cebong dan kampret. Teman teman sebelumnya saya minta maaf, jujur dulu saya sempat cebong. Wkwk.

Dengan latar belakang saya yang saat itu cukup keras menolak Islam keras, maka saya terhasut untuk mengambil sikap politik saya. Melawan segala bentuk gerakan kelompok kampret, seperti demo ber episode dan secara tidak bijak beralih membela petahana. Terakhir saya menyadari bahwa yang saya lakukan sebuah langkah mundur. Saya menjadi tidak bijak, close-minded dan puncaknya saya pernah menjadi seorang ultra nasionalis menurut pengertian pemerintah. Ngaakkzz.

Itu masa lalu bodoh saya, sekarang kembali ke kepolisian. Waktu itu saya sangat menghargai kinerja kepolisian yang mencium narasi-narasi soal khilafah. Ketegasan polisi saat itu saya apresiasi. Mereka berhasil menjaga stabilitas politik saat itu, meski saya agak kecewa tuntutan kelompok islam keras tentang penistaan Ahok dikabulkan. Ahok dipenjara, meski dalam penetapannya yang memutuskan bersalah adalah pengadilan dan polisi tidak melakukan langkah konkrit. Tetap kepolisian di mata saya adalah instansi yang profesional.

Profesi polisi di masyarakat masih menjadi profesi yang prestisius. Dengan ‘melindungi dan mengayomi’ sebagai tagline utama, banyak kawan saya berlomba-lomba ingin mendaftar kepolisian. Naas, belom sampai gerbang Polsek setempat  mereka sudah menyerah. Layaknya kalah sebelum berperang, mereka minder dengan persaingan yang ketat. Ada satu kawan saya yang gigih berlatih fisik, namun lemah dalam lobbying. Dia pemuda desa, gagal menjadi polisi. Buyar harapannya untuk menjadi abdi negara.

Saya mendengar ceritanya, persepsi saya soal kepolisian mulai berubah. Hingga perjalanan hidup saya mulai memunculkan kesadaran baru yang mungkin polisi tak akan menyukainya.

Instansi kepolisian yang saya pahami adalah salah satu komponen dalam sistem hukum yang berfungsi melakukan penegakan. Hukum sendiri bukanlah disiplin ilmu yang hanya dipandang secara normatif. Agar hukum ini efektif dalam masyarakat, instansi kepolisian maupun pejabat pembuat hukum, dalam hal ini legislatif, harus melihat kenyataan sosial yang ada. Keputusan pengadilan pun yang dibuat harus berdasarkan nilai dalam masyarakat.

Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, kedudukan kepolisian sedikit di bawah kekuasaan eksekutif. Menurut Tap MPR No. VII/MPR/2000, Keppres No. 89 Tahun 2000, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, instansi Kepolisian berada dalam tanggung jawab Presiden. Urusan undang undang-sudah dibuat legislatif dan mereka tinggal melaksanakannya. Di sini poinnya.

Banyak dari polisi yang menurut saya belum memahami undang-undang dan hanya menjalankan perintah dari instrumen eksekutif di atasnya, seperti Presiden dan kepala daerah. Mereka dididik untuk menjadi prajurit; menangkap dan mengamankan. Artinya mereka akan menangkap warga negara yang menurut mereka melanggar undang-undang. Nah, sedangkan undang-undang sendiri banyak macamnya.

Apakah para polisi ini mengikuti dan memperhatikan setiap pembahasan undang undang yang diadakan legislatif? Apakah bapak memahami undang undang publik yang dibahas beserta delik-deliknya? Apakah bapak polisi mengerti substansi yang sedang didebatkan oleh bapak bapak di parlemen sana? Bapak bapak polisi harus paham itu agar tak salah tangkap.

Ibarat jatuh tertimpa monas, masyarakat kecil yang dirugikan oleh undang undang ngawur masih disusahkan dengan penegakan hukum yang ngawur pulak. Gubrak. Dan polisi dengan seenaknya berdalih menegakkan hukum. Sedang hukum di negeri ini belum tentu memuat keadilan. Hukum sudah dirasa adil tapi belum memberikan banyak manfaat pada banyak orang. Paradoks. Memang sistem ketatanegaraan di negeri ini pada dasarnya ngawur, maka dari itu pak Polisi banyak membaca, ya.

Saya tak begitu yakin para bapak sekalian mengetahui bagaimana ketatnya pembahasan undang undang sensitif seperti Tap MPR No.XXV/MPR/1965 kala itu, lalu alotnya lobbying kepemimpinan Gus Dur untuk menghapuskan undang undang tentang larangan komunis tersebut. Atau jangan jangan kawan kawan polisi muda saat itu belum lahir. Pemahaman akan undang undang ini akan menjadi penting untuk menunjang kinerja kepolisian.

Untuk teman teman yang berniat untuk mendaftar di kepolisian, silakan. Profesi polisi itu nggak buruk kok di mata masyarakat. Bahkan dengan bergabung ke instansi abdi negara tersebut, kalian akan membantu tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Yang menjadi catatan adalah jangan berhenti untuk jadi pion-pion saja, kalian harus menjadi ksatria yang bijak dan idealis.

Banyak polisi teladan yang memilih untuk menjadi petani karena bersebrangan dengan idealismenya. Ini hasutan, saya sedang menghasut teman-teman untuk mau berpikir. Jangan hanya tunduk tanpa berpikir.

Saya cukupkan tulisan ini karena menyadari betapa bahayanya jika ada kawan-kawan yang terhasut oleh tulisan saya ini. Yang ada opini ini bisa jadi barang bukti seperti yang sudah sudah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.