Saya Minoritas, dan Bagaimana Saya Harus Bersikap di Masyarakat?!

“Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan
-Pramoedya Ananta Toer
berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang
berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana”
Mungkin masih terbesit oleh ingatan kita, bagaimana sekelompok orang mendatangi seorang biksu bernama Mulyanto, di Tanggerang, dan kemudian mengusirnya karena dianggap melakukan penyebaran agamanya. Pembakaran Gereja di Singkil, Aceh, oleh sekelompok orang. Atau 27 ormas di Bandung, bubarkan acara Ahmadiyyah, dengan dalih penyebaran agama melalui launching buku. Dan masih banyak lagi tindakan sewenang-wenang lainnya, yang dilakukan oleh “Mayoritas” kepada “Minoritas”.
Begitupun saya, saya seorang minoritas, jika orang melihat identitas saya, baik materil atau immateril dari saya berbeda dari orang kebanyakan. Foucault dalam bukunya Archeology of Knowledge, menganggap identitas bersifat personal, dan sosial, yang berimplikasi pada penandaan seseorang itu sama atau berbeda. Pembentukan identitas dibentuk melalui proses dialogis (dialogically), atau berada dalam sebuah wacana (discourse), yang selalu ada dalam jalinan relasi dengan yang lain (the other). Sederhananya, identitas dibentuk oleh pengakuan oleh orang lain, atau dibentuk dari wacana yang ada dan berhubungan dengan orang lain, dalam hubungannya juga dengan pengetahuan dan kekuasaan.

Oleh karena identias yang berbeda itu, ditambah identitas seperti yang saya miliki, hanya dimiliki oleh segelintir orang, maka bisa dikatakan saya sebagai minoritas. Konsep minoritas sendiri, didefinisikan sebagai, suatu entitas yang termarginalkan oleh kelompok lain, dalam relasi kultural yang multikultur. Yang mana dari proses multikultur tersebut, terdapat superioritas oleh salah satu entitas kultural terhadap entitas kultural lain. Hal itu yang seperti diulas Paul Kelly di bukunya Multiculturalism Reconsidered Culture and Equality and its Critics. Kadangkala, hubungan antara mayoritas dan minoritas sangat baik, atau bisa dikatakan menghasilkan toleransi antar identitas yang berbeda. Disisi lain, ia juga dapat berhubungan sangat tidak akur, sehingga intoleransi antar identitas tersebut, menghasilkan konflik yang bersifat negatif.
Misalnya salah satu tempat ibadah saya di Malang, pada saat saya melakukan proses peribadatan di jaga oleh beberapa Polisi, dan Banser. Hal tersebut buntut dari peristiwa pengeboman gereja di Surabaya, akhir tahun lalu. Nah, penjagaan dari identitas yang berbeda, yaitu: Banser, yang notabene beragama Islam, yang kemudian berhubungan dengan identitas berbeda bin minoritas, adalah bentuk positif dari hubungan antara mayoritas dan minoritas. Disisi lain, akibat dari hubungan mayoritas dan minoritas yang tidak akur, menghasilkan konflik yang bersifat negatif, seperti: Tindakan yang dilakukan oleh Kelompok Sunni kepada Kelompok Syiah di Sampang, yang mana pernah saat Kelompok Syiah hendak melakukan peribadatan, dihadang oleh Kelompok Sunni, sehingga mereka tidak jadi beribadah.
Menurut Laporan Wahid Foundation tahun 2018 tentang Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan, terdapat 204 peristiwa pelanggaran HAM pada tahun 2016, 213 peristiwa tahun 2017, dan 192 tahun 2018. Sedangkan, ada 313 tindakan pelanggaran HAM pada tahun 2016, 265 tindakan pada 2017, dan 276 tindakan pada 2018. Dan untuk aktor, ada 159 aktor negara dan 156 aktor non negara pada tahun 2016, 95 aktor negara dan 170 aktor non negara pada 2017, dan 130 aktor negara dan 146 aktor non negara pada tahun 2018. Dari data diatas, peristiwa pelanggaran naik pada 2016 ke 2017, tapi turun kembali pada tahun 2018. Sedangkan, tindakannya turun dari 2016 ke 2017, tapi naik pada tahun 2018. Grafik yang fluktuatif juga dialami oleh aktor, pada 2016 ke 2017 aktor negara menurun, namun aktor non negara naik, ironinya pada tahun 2018, aktor negara justru meningkat, sedangkan aktor non negara menurun. Juga dari data tersebut, korban pelanggaran tidak lain adalah, individu atau kelompok minoritas di suatu wilayah tertentu.
Saya masih ingat, diwaktu saya kecil dulu, kira-kira menginjak Sekolah Dasar, saya yang beragama kristen, ditengah lautan entitas yang beragama Islam di Sumatera Barat, sering dicemooh oleh teman saya, dengan sebutan; “kafir, batak, tuhan mu kok pake kolor doang, dan apalah itu sebutan lainnya”. Saya tentu tidak tahu, kenapa saya dipanggil seperti itu pada waktu itu. Meskipun diperuntukkan untuk bercanda agar kita lebih dekat, apakah tidak ada sebutan atau cara lain agar kita makin dekat?! Tidak hanya di institusi pendidikan, perundungan dengan cara memakai identitas atau primordialisme, juga saya alami di lingkungan bermasyarakat. Dulu saat saya melakukan school trip dengan teman saya, dan mengharuskan untuk membawa bekal, guru dan orang tua teman saya, mengatakan hal yang sangat diskriminatif.
“Rinto, kalau bawa makanan, nanti jangan bawa daging babi ya, kan teman-teman mu gak bisa makan itu”
Perkataan itu dimaksudkan agar saya membawa makanan yang pada saat berbagi makanan, saya dapat berbagi makanan halal kepada teman-teman saya. Atau dulu saat harus belajar Agama, saya tidak diperbolehkan keluar oleh Guru saya. Atau yang satu lagi, pada saat masuk kelas, saya harus ikut berdoa, dengan jenis doa teman-teman saya yang mayoritas. Tentu tidak sekali, praktik atau tindakan diskriminatif saya terima, sampai pada titik tertentu saya sudah malas menanggapinya, dan menganggap saya memang harus menerima perbuatan itu karena; 1) Saya menganggap tindakan mereka adalah cobaan bagi saya dari Tuhan, agar iman saya kuat 2) Saya terbiasa dengan perlakuan tersebut, dan membuat saya harus patuh terhadap tindakan tersebut, atau 3) Saya takut mengutarakan keresahan saya, agar kemudian saya dapat diterima oleh entitas masyarakat yang dominan.
Dalam urusan aturan atau konstitusi, sudah banyak kemudian yang melindungi kebebasan beragama dan berkepercayaan, aturan tentang bebas dari perlakuan diskriminasi, atau aturan yang membebaskan memiliki identitas tertentu tanpa adanya gangguan terhadap haknya tersebut, baik skala internasional ataupun nasional, seperti; International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR), International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), International Convention on the Elimination of All Forms of Racial and Discrimination (ICERD), UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, UUD 1945 Pasal 28 I ayat 2, dan aturan lainnya yang terkait.
Di sisi lain, jalan hidup saya sebagai minoritas di tengah masyarakat mayoritas, membuat saya berpikir dan berprilaku untuk menghargai identitas orang yang berbeda, atau yang lebih minoritas dari saya sebagai minoritas. Agar kemudian, individu yang minoritas seperti saya, tidak merasakan perasaan yang sama, seperti yang saya alami. Mungkin itu salah satu implikasi positif dari bagaiman saya menanggapi tindakan kelompok mayoritas, itu masih kemungkinan sih, dari sekian kemungkinan.
Tidak hanya saya sebagai minoritas yang mengalami hal tersebut, tentu masih banyak minoritas lainnya, dari identitas yang berbeda, tinggal di suatu wilayah yang diisi oleh masyarakat yang dominan, dan kemudian mengalami hal yang sama seperti saya. Gustavo Razzeti dalam tulisannya berjudul Why Racism Is About th Color of the Mind, Not Your Skin, menarasikan bagaiamana ia melihat diskriminasi dan rasisme berawal dari pemikiran terhadap identitas rasial yang berbeda, yang kemudian berujung pada tindakan diskriminatif bersifat rasial, baik dengan sikap, ataupun kebijakan. Ia juga melihat, bagaimana pengetahuan dipakai sebagai medium untuk mengokohkan superioritas suatu entitas. Selain itu, dia mengutip 5 strategi ala Devine, dalam menangani perilaku diskriminatif, adapun strateginya: 1) Stereotype Replacement, 2) Counter-stereotype Imaging, 3) Individuating, 4) Perspective Taking, 5) Increasing Opportunities for Direct Contact.
Tulisan ini diperuntukkan untuk kembali berpikir dan menguji sejauh mana, kita mampu melewati multikultural di negara bangsa, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penulis: Rinto Leonardo Siahaan
1 thought on “Saya Minoritas, dan Bagaimana Saya Harus Bersikap di Masyarakat?!”