Secuil Kisah Diplomasi Publik Amerika di Pers Mahasiswa UB
Ainun Syahida A.*
Pertengahan September ketika matahari mulai condong ke arah barat, jalan raya dipadati dengan rutinitas warga di akhir pekan. Sebagian pemuda-pemudi mengisinya dengan agenda ‘wajib’ malam minggu-an. Sementara mahasiswa berseragam hitam-putih dan putih-putih berhamburan dari fakultasnya masing-masing, bertebaran di sekitar lingkungan kampus setelah seharian mengikuti orientasi pengenalan fakultas. Di pinggiran kampus, mahasiswa-mahasiswa di unit aktivitas masih berkegiatan.
Jauh dari hiruk-pikuk protokoler dan birokrasi, dua orang perwakilan US Embassy datang mengunjungi awak pers mahasiswa di UB. Tidak ada spanduk selamat datang yang menyambut Gurdit Singh dan Indar Juniardi, bahkan gedung UKM tidak bersolek sedikitpun. Dengan fasilitas seadanya dari UAPKM UB dan pinjaman ruangan bawah gedung UKM, kunjungan selama satu setengah jam itu berlangsung amat sederhana. Kedua tamu bersama-sama awak persma UB dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Canopy Fakultas Pertanian, LPM Basic Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan LPM Display Fakultas Ilmu Komputer duduk di atas karpet, ditemani kopi dan gorengan di atas kertas minyak. Sambutan dan jamuan yang tidak berbeda layaknya kunjungan LPM lain ke UAPKM UB Kavling 10. Melihat kondisi yang ada, samasekali tidak ada niatan dari UAPKM Kavling 10 sebagai tuan rumah untuk bersikap tidak sopan terhadap tamu dari United States (US) Embassy.
Indar memperkenalkan diri sebagai analis media di US Embassy dan Gurdit sebagai perwakilan US Embassy di bidang diplomasi publik bagian pers. Keduanya mengungkapkan bahwa mengunjungi setiap elemen pers menjadi agenda rutin ketika berkunjung ke daerah. Kunjungannya meliputi perusahaan media mainstream seperti radio, surat kabar, dan televisi di daerah. Tak terkecuali LPM yang berada di universitas daerah terkait.
Penulis pribadi menganggap lazim jika kunjungan untuk perusahaan-perusahaan media daerah, tetapi muncul pertanyaan-pertanyaan ketika kunjungan ditujukan untuk media dari mahasiswa di LPM. Siapa kami? Mengapa kami? Setidaknya pikiran-pikiran ini yang tetap membawa kaki tetap menapak tanah. Tanpa bermaksud jumawa, mulanya penulis beranggapan mungkin inilah kekuatan dari sebuah tulisan. Meski belakangan terkuak jika jaringan antar LPM-lah yang berperan mengantarkan kedatangan kedua tamu tersebut langsung ke UAPKM Kavling 10.
Pikiran liar lantas melintas, terbawa alam bawah sadar dari studi di perkuliahan. Berkecamuk dipikiran penulis jika setiap kepentingan selalu menyimpan motif, mengingatkan pada sebuah matakuliah bernama opini dan diplomasi publik. Kini yang tersaji di depan mata dalam sebuah kunjungan, bentuk nyata soft power yang disampaikan melalui diplomasi publik sebuah negara superpower.
Dalam diplomasi publik, soft power merupakan aset negara yang sulit diukur namun mempunyai pengaruh jika digunakan secara tepat. Joseph Nye dalam tulisannya Public Diplomacy and Soft Power menjelaskan bahwa soft power antara lain dapat berupa karakter menarik yang dimiliki suatu negara seperti budaya, nilai-nilai politik dan institusinya, serta kebijakan politik terutama yang terkait dengan moral seperti bantuan kemanusiaan. Soft power negara perlu diolah sehingga dapat dimanfaatkan menjadi diplomasi publik. Selain pengaruh, tujuan dari diplomasi publik adalah mempertahankan dominasi dan memperbaiki citra (rebranding).
Di UB memang tidak ada American Corner seperti universitas tetangga. Tetapi pendekatan langsung yang dilakukan delegasi US Embassy kepada LPM sebagai aktor pers bisa jadi cara efektif merebut simpati. Mengingat kecenderungan yang terjadi saat ini awak pers mahasiswa justru dikucilkan oleh jajaran petinggi serta sesama akademisi di lingkungan universitas sendiri. Dengan mendatangi langsung, berbincang, berbagi cerita, dan bertukar pendapat, menjadi motivasi bagi awak persma yang seringkali diabaikan dan dihalangi dalam berkegiatan.
Gurdit Singh dan Indar Juniardi juga sempat bercerita tentang kondisi pers mahasiswa di Amerika. Gurdit Singh mengungkapkan jika kegiatan pers mahasiswa di Amerika dan di Indonesia tidak berbeda, termasuk dalam membuat kritik. Hanya saja yang berbeda dari pers mahasiswa di Amerika, kritik merupakan bagian dari proses berdemokrasi. Kritik yang dituliskan pers mahasiswa di sana merupakan hal yang lumrah sebagai tanda kedewasaan bersikap dan tidak dihalang-halangi.
Kedewasaan berdemokrasi dan toleransi menjadi salah satu yang di banggakan Gurdit ketika bercerita. Meski pada saat yang sama, media di Indonesia sedang menyorot kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat dimana isu rasial serta kepercayaan juga menjadi topik utama. Namun, Gurdit menganggap hal tersebut tidak bisa digeneralisir dan ia meyakini jika toleransi masih terjaga di Amerika Serikat.
Walaupun tidak secara langsung terbahas, demokrasi sebagai nilai politik kembali menjadi bagian dari diplomasi publik Amerika sore itu. Sebuah penegasan kembali untuk citra Amerika dalam menjaga demokrasi. Di penghujung kunjungan, Indar Juniardi sempat bertanya tentang harapan awak persma UB kedepan. Ia menawarkan tentang kerjasama yang mungkin bisa dijalin bersama. Tetapi hanya ada jawaban jujur agar dapat terus menulis. Jawaban yang mungkin tidak cukup memuaskan untuk sebuah kemewahan kerjasama.
Pada akhirnya penulis pribadi menganggap kunjungan kilat tersebut menjadi bentuk praktik yang tertunda dari mata kuliah satu tahun lalu. Sebuah ketukan untuk pintu diplomasi publik Indonesia, kemudian disambung sapaan lirih, sampai mana diplomasi publikmu Indonesia? Sekaligus bukti kecil tentang berjalannya diplomasi publik media Amerika yang terus berbenah dan memperbarui peta pengaruhnya di Indonesia.
*Mahasiswa Hubungan Internasional UB 2013