Pertaruhan Perempuan Atas Tubuh Mereka
Oleh: Rahmawati Nur Azizah
Pertaruhan adalah sebuah film omnibus dokumenter yang dirilis pada akhir tahun 2008. Pengertian omnibus sendiri adalah sebuah film yang terdiri dari beberapa segmen dan memiliki benang merah yang sama. Fokus utama di film berdurasi 106 menit ini menyoal tentang perempuan yang harus mempertaruhkan tubuh mereka sendiri demi keluarga dan bahkan orang lain, juga masalah-masalah yang dihadapi atas tubuh mereka. Film ini dibagi menjadi 4 bagian dengan judul yang berbeda dan dibuat keroyokan oleh 5 sutradara dan penulis naskah yang berbeda pula. Mereka adalah Lucky Kuswandani, Ucu Agustin, Muhammas Ichsan, Iwan Setiawan, dan Ani Ema Susanti.
Film pertama, berjudul Mengusahaakan Cinta oleh sutradara Ani Ema Susanti. Bercerita tentang 2 orang buruh migran yang bekerja di Hongkong, mereka adalah Ruswati dan Riantini. Disini bukan bagaimana mereka harus bekerja keras yang di fokuskan, namun bagaimana mereka mengupayakan cinta mereka. Ruswati adalah seorang perempuan paruh baya yang baru akan menikah di usianya saat itu, namun dokter menyatakan ia terkena tumor di rahim dan harus dioperasi, lantas sang calon suami yang berada di Indonesia justru meragukan keperawanannya.
Berbeda dengan Ruswantini, Riantini adalah seorang lesbian yang sudah punya anak di Indonesia dan harus menghidupinya sebagai single parent karena ia sudah berpisah dengan mantan suamiya. Ia dijodohkan dengan mantan suaminya sejak umur 14 tahun dan sering menerima kekerasan fisik. Atas dasar itulah tubuhnya melawan dan mulai membenci mantan suaminya sehingga ia memilih menjadi seorang lesbian. Di Hongkong ia mempunyai pacar perempuan dan mereka pun merencanakan untuk segera menikah. Namun ia takut membawa pasangan lesbiannya tersebut untuk pindah ke Indonesia. Romantika percintaan 2 buruh migran ini pun tak jarang diperlihatkan.
Lalu Untuk Apa? Oleh Iwan Setiawan dan Muhammad Ichsan. Di Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim yang banyak, praktek sunat untuk perempuan, untuk sebagian orang, adalah hal yang sah-sah saja. Mulai dari para tetua kampung, sampai pemuka agama setuju bahwa praktek ini, menurut mereka, dapat mengurangi sifat “liar” perempuan. Namun masih tidak jelas, apakah hal ini benar benar berpengaruh pada sifat liar tersebut. Banyak perempuan juga menyatakan bahwa mereka melakukan praktek ini karena bukan demi diri mereka sendiri tapi demi orang lain.
Selanjutnya Nona Nyonya oleh Lucky Kuswandi. Di indonesia sendiri ketika kita hendak pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan organ kelamin, sering bahkan selalu di tanya di awal pertemuan ”Anda nona atau nyonya?” hal ini menjadi tidak nyaman bagi banyak perempuan. Pasalnya hanya para Nyonya alias wanita yang sudah menikah yang diperbolehkan masuk untuk periksa ke dokter Ginekologi atau dokter kandungan. Mereka secara langsung dituduh dengan persepsi moral dari pihak Ginekologi tersebut. Apakah hanya orang yang menikah yang boleh memeriksakan kesehatan organ reproduksinya?
Yang terakhir Ragat’e Anak oleh Ucu Agustin. Adalah kewajiban oran tua untuk membiayai anak dan keluarganya. Namun pengorbanan dua orang PSK ini benar benar miris. Pada siang hari ia akan bekerja sebagai tukang batu dan malamnya ia akan menjajakan tubuhnya di area makam kuburan cina. Karena mereka menjajakan di area pekuburan, maka tarif yang di berikan pun murah dan sering kali mereka diganggu oleh para preman. Betapa berat pengorbanan ibu ibu tangguh ini guna membuayai anak mereka.
Film ini mengantarkan kita pada sebuah realita dimana perempuan, sebenarnya punya tanggung jawab yang besar terhadap orang lain, termasuk dirinya sendiri. Namun tak jarang mereka lupa mengambil hak hak nya sendiri, terlalu sibuk melayani orang lain hingga rela mempertaruhkan tubuh sendiri.