{Cerpen) Hanya Sebuah Gedung Tua

0

Oleh: Theofilus Richard (Wartawan Kavling 10 Online)

Ketika aku hendak mengunjungi tempat itu lagi, aku sangat kaget. Hari itu banyak orang ramai – ramai datang ke sana. “Wuih…luar biasa” aku berbicara sendiri dengan penuh kagum pada animo masyarakat hari itu. Perubahan sangat drastis dibanding terakhir aku datang ke tempat ini 10 tahun lalu. Lalu tiba – tiba ada seorang yang rasanya tidak asing bagiku memotong saat aku berbicara.

“Apanya yang luar biasa dek? Sama sekali tidak !”

10 tahun lalu

“Pah, ayo pah ! Sekarang kan hari sabtu. Katanya mau ngajak aku jalan – jalan ?” Teriak aku pada papah yang baru saja pulang kerja pada jam 12 siang. Papah memang hanya bekerja setengah hari pada hari sabtu karena sudah menjadi peraturan di perusahaannya. Aku sendiri saat itu baru berumur 8 tahun dan baru menginjak kelas 3 SD.

“Ya sebentar dong Wel, sabar dulu. Papah kan baru pulang.”

Mamah menyaut sambil menyiapkan makan siang untuk papah.

“Nanti setelah papah makan, kita berangkat. Oke?” jawab papah memberi harapan.

Aku pun menunggu dengan sabar sambil menonton televisi.

“Welly, ayo kita jalan – jalan !” seru papah yang telah menyelesaikan makan siangnya.

“Yey…hore!!! Jalan – jalan !” seru diriku yang sudah tidak sabar. Akhirnya kita pun jalan – jalan.

Kami bertiga segera masuk ke mobil untuk memulai acara malam minggu. Tiga puluh menit mobil berjalan, aku melihat sebuah bangunan agak tua, namun masih berdiri kokoh dan tegak. Warna dinding gedung itu putih dengan atap berwarna coklat.

Pekarangan gedung itu pun rindang sekali. Di sekeliling gedung itu ditumbuhi pepohonan yang rindang dan bahkan di sekeliling area parkirnya merupakan taman yang ditumbuhi rerumputan hijau dan ada beberapa semak – semak di sana.

“Kita berenti di sini Wel !” seru papah kepadaku.

“Ini tempat apa pah?” tanyaku dengan polos.

“Kita masuk dulu aja, nanti kamu pasti tahu kok!” jawab mamah.

Ketika aku masuk ke gedung itu, sungguhlah aku takjub akan gedung itu. Banyak barang–barang antik yang sepertinya sudah tidak ada dan tidak dijual dimana – mana lagi. Lalu, aku berjalan di lorong gedung itu, beberapa saat berselang, aku menemukan sebuah ruangan yang membuatku takjub dan merupakan ruangan favoritku di gedung itu.

Di ruangan itu, ada berbagai rangka dari setiap jenis dinosaurus, lalu di depan kaki dinosaurus tersebut ada tulisan yang menyebutkan jenis dinosaurus serta dimana ditemukannya dinosaurus tersebut.

“Nah, Welly, ini yang namanya museum. Museum Sejarah dan Geologi Bandung.” Ujar papah dengan antusias.

“Pah aku suka ruangan ini pah ! keren ! banyak dinonsaurusnya !” jawabku pula dengan tegas dan penuh antusias.

“Jangan di ruangan ini terus Wel ! coba kamu keliling ruangan lain, masih banyak yang belum lihat !” seru papah lagi.

“Oke pah !” jawabku dengan semangat.

Ruangan demi ruangan, bilik demi Biceps Strength Exercises – Megagear viagra and heart arrythma oilseeds and bodybuilding: the benefits of almonds, hazelnuts, walnuts – espace musculation. bilik aku telusuri. Saat berkeliling, rasanya aku seperti telah mengetahui semua misteri di bumi ini. Mungkin sekitar 20 menit aku berkeliling dan tanpa sadar aku telah tersesat. Saat aku mau mencari papah, aku sendiri bingung harus kemana aku pergi.

Tapi aku tidak takut, karena saking asiknya aku melihat pemandangan di sekelilingku yang dipenuhi dengan ‘pembukaan rahasia’ misteri di bumi ini. Lalu, saat makin bingung, ada seorang lelaki tua berjanggut dan berambut putih serta memakai seragam berwarna biru – biru.

Seragam yang sama dengan penjaga museum di depan pintu gerbang tadi. Ternyata lelaki tua itu memang penjaga museum ini.

“Dik, kog kaya orang bingung ? kenapa?” tanya pria tua itu.

“Papahku ilang.” Jawabku dengan polos.

“Oh..hahaha.” tawa pria penjaga museum tersebut.

“Kamu lagi nyari papah kamu ya ? Ayo, om temenin.” Lanjut pria penjaga museum tersebut.

“Ntar aja ah, lagi asik di sini, belum liat semuanya.” Jawabku lagi dengan polos.

“Oh kamu suka sama museum ya? Ya udah, om temenin liat–liat ya sambil om jelasin apa yang kamu liat.” Tanggap pria penjaga museum tadi.

Tak terasa sudah 20 menit aku berkeliling museum bersama om penjaga museum tadi. Om itu orang nya baik dan ramah. Aku juga jadi lupa kalau aku sedang tersesat di museum dan harus nyari papah dan mamah.Dia juga curhat akan jarangnya pengunjung di museum ini.

Anak muda jaman sekarang lebih suka mall daripada museum katanya. Padahal di museum ini gedungnya enak, dingin dan sejuk walaupun tidak ada AC-nya. Akhirnya setelah sekian lama, aku ketemu juga sama kedua orangtuaku itu yang lagi asik ngeliat miniatur perkembangan bentuk muka bumi.

Aku pun meninggalkan om itu dan pergi menuju orangtuaku, tentunya setelah pamit dan berterima kasih pada om penjaga museum tersebut. Tidak lama setelah itu, kami pun pulang.

Sebulan, setelah pengalaman pertamaku ke museum, kami harus pindah ke Purwakarta karena papah dipindahtugaskan oleh perusahaannya. Di Purwakarta, kami tinggal di perumahan yang bisa dikatakan perumahan elit, namun aku sendiri tidak senang berada di sana karena jauh dari mana–mana.

Aku sendiri sudah tidak pernah pergi ke museum karena kesibukan papah. Ketika ada waktu hari libur, papah dan mamah lebih memilih untuk pulang kampung ke Palembang. Yah, bisa dikatakan saat aku pergi ke museum waktu itu adalah pengalaman pertama dan terakhir.

Saat aku beranjak remaja dan sudah boleh membawa motor sendiri, aku lebih suka bermain dan nongkrong bersama teman–teman dibandingkan ke museum. Karena itu aku tidak punya waktu lagi untuk kembali ke museum. Saat kuliah, aku harus tinggal di Malang karena aku diterima di salah satu PTN di kota Malang melalui SNMPTN. Saat berlibur, itulah kesempatanku main ke Bandung.

SEKARANG….

Ternyata pria tua yang memotongku berbicara tadi adalah om penjaga museum yang dulu pernah kutemui. Aku masih ingat janggut dan rambut putihnya. Masih sama, walaupun sekarang rambut sudah sedikit agak botak dan janggutnya sudah lebih panjang dari pertama kali bertemu.

“Bukankah jika museum ini lebih banyak pengunjung akan lebih baik?” tanyaku padanya.

“Tempat ini sudah bukan museum nak.” Jawabnya.

Aku sangat terkejut, bagaimana tempat bersejarah seperti museum sejarah dan geologi bisa dimusnahkan?

“Yang benar pak?” Tanyaku lagi seakan tidak percaya.

“Iya, tentu saja benar. Lihat saja, tulisan ‘Museum Sejarah dan Geologi Bandung’ yang seharusnya berdiri besar dan berada berada di atas pintu gerbang kini sudah hilang.” Jawab om itu dengan nada agak sedih.

Benar juga, aku tidak menyadarinya kalau tulisan tersebut sudah hilang. Maklum, sudah 10 tahun tidak pernah datang ke tempat ini, aku pun sudah lupa secara detail wajah dari gedung ini.

“Museum ini dianggap sudah tidak berguna lagi dan hanya akan menambah pengeluaran pemerintah saja untuk perawatan sedangkan pengunjung hanya sedikit sekali. Maka karena itu, para kaum pemilik modal melego pemerintah agar tempat ini dijadikan tempat bisnis. Benar saja, 3 tahun yang lalu, tempat ini resmi menjadi butik.” Jawab om tersebut dengan jelas.

Aku benar – benar terkejut dan tidak menyadari hal ini. Ada plang yang lumayan cukup besar yang berada di gerbang sebelah timur yang terlewat begitu saja dari pandanganku saat datang kemari yang bertuliskan ‘Jasmine Boutique’. Sungguh ironi.

Aku adalah mahasiswa Ilmu Ekonomi, jadi aku mengerti, bahwa pembentukan bisnis ini tentu saja akan membangkitkan gairah perekonomian kota Bandung, bahkan Indonesia. Namun, sejarah dan museum dilupakan.

“Dimanakah etikanya?” pikirku dalam hati.

Setelah itu, akupun langsung pulang terus berpikir mengapa ini terjadi. Aku pun sebagai anak muda turut andil dalam hancurnya museum tersebut. Anak muda sekarang lebih suka bermain ke tempat tongkrongan seperti cafe atau warung kopi atau bahkan ke mall, termasuk aku. Sekarang gedung itu hanyalah gedung tua yang menjadi ‘pasar’.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.