Munir Said Thalib, mungkin nama ini adalah nama paling populer jika disebutkan almamater kita. Dua dekade lalu, Munir diracun saat berangkat sekolah, meneruskan studinya di “Ibu Kota Hukum Dunia”, miris. Yang hingga saat ini, aktor intelektual dibalik peregangan nyawanya hingga sekarang masih bisa ngopi-makan-dan main biliar dengan bebas.

Di balik upaya-upaya untuk mengadili aktor intelektual pembunuhan Cak Munir, banyak dari pihak-pihak yang “urunan” dalam bidang masing-masing tentunya. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) dan lembaga sejenis misalnya, berusaha mengadvokasi kasus ini, media-media yang berusaha menyalurkan informasi dan perawat ingatan massa, serta negara berusaha menutupinya. 

Namun, dari peran-peran yang telah disebutkan di atas, peran sebagai akademisi, khususnya Universitas Brawijaya sebagai institusi, tempat Munir menimba ilmu, masih menjadi tanda tanya besar. Terasa aneh agaknya jika institusi ini tetap hening dalam kasus pembunuhan alumninya. Sebenarnya, ada apa?

Tak hanya kasus pembunuhan Munir, di kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya, Universitas Brawijaya masih saja diam dan membisu, Kanjuruhan menjadi contohnya. Tragedi yang ber-TKP hanya satu jam perjalanan dari UB tidak membuat institusi ini bersuara. Teriakan-teriakan “usut tuntas Tragedi Kanjuruhan” yang disuarakan mahasiswanya di berbagai kesempatan tidak pula membuat UB menyatakan pendapatnya. 

Sebagai pengingat kasus-kasus Hak Asasi Manusia yang belum benar-benar mendapatkan keadilannya, kami sebagai pers merasa perlu menjadi salah satu ujung tombaknya. Melalui buletin ini kami mencoba menapaktilasi perjuangan Munir dan bagaimana cara civitas akademika hari ini meneruskannya. Akhir kata, selamat membaca.

Sila baca dan unduh dengan cuma-cuma Ketawanggede Edisi II 2024 melalui laman atau tautan berikut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.