YANG TERBUANG
Oleh: Theofilus Richard
Hai, aku adalah seekor kucing betina. Dulu majikanku dan keluarganya sering memanggilku Kitty dan sering menimang – nimang serta mengajakku bermain. Dulu pun mereka sangat sering memberiku makan enak. Ya, dulu. Itu dulu. Sekarang, entah dimana aku sekarang. Aku kini hidup di alam bebas semenjak anak majikanku bertambah dewasa dan semakin sibuk dengan entahlah apa yang dia urusi. Mereka menjadi malas mengajakku bermain, memberiku makan dan akhirnya aku dibuang di pinggir jalan. Kejadian itu sudah berlangsung lama, entah sejak kapan. Aku tak bisa menghitung, karena itu pekerjaan manusia.
“Kita menjadi liar malam ini ! Kita liar ! Dan kita akan selalu menjadi liar !!” begitu lah teriakan para rocker yang berada di atas panggung di sebuah taman kota yang sedang kulewati. Entah mengapa sepertinya manusia – manusia itu ingin hidup liar. Tahukah kamu tentang hidup liar ? Memangnya apa enaknya dari hidup liar ? Makan pun susah dan selalu saja dikucilkan oleh semua yang ada di sekitar. Beruntung aku malam ini, ada sisa makanan manusia itu yang terjatuh dan kini, aku bisa makan.
Setelah makan, kulanjutkan kembali perjalananku setapak demi setapak mengarungi dunia liar ini. Entah aku kuat atau tidak. Selama aku masih bisa berjalan, maka aku akan terus berjalan. Tiba – tiba, hujan pun datang dengan lebatnya. Aku harus segera menemukan tempat berteduh. Namun tidak semudah itu. Saat aku menemukannya, seekor kucing lainnya mengusirku.
“Hei, ini tempatku ! Carilah tempatmu sendiri !” teriak kucing jantan itu.
Kususuri jalan setapak sampai aku menemukan rumah yang agak besar. Kumasuki rumah itu diam – diam, namun nahas, pemilik rumah itu menemukanku, lalu mengusirku dan dengan tongkat kayu panjang yang mereka genggam erat, mereka memukulku sampai aku keluar dari area rumah mereka. Tak ada yang bisa kulakukan selain ‘mengeong’ . Setelah aku keluar, aku menemukan sebuah pohon di ujung jalan. Malam ini aku akan beristirahat di bawah pohon itu. Meskipun becek – becek di atas tanah yang basah. Kehidupan liar ini memang tak seperti dulu, dimana aku mendapat tidur yang nyaman di atas kain hangat dan makan enak yang telah disediakan majikanku.
Keesokan harinya, aku pergi mencari makan. Aku berjalan dan memasuki sebuah rumah. Tentunya rumah yang berbeda dengan tempat aku diusir kemarin. Di pekarangan rumahnya, aku melihat seorang manusia membuang nasi begitu banyaknya beserta lauk pauknya. Aku pun heran mengapa hal itu terjadi ? Aku mencari makan pun susah, kenapa mereka masih bisa membuangnya ke tempat sampah yang bau itu ? Tapi masa bodoh lah. Aku pun langsung menuju tempat sampah itu dan langsung mencari nasi yang dibuang manusia tadi. Aku mencoba meraih dan mengaduk tempat sampah yang lumayan tinggi itu, sehingga menyebabkan tempat sampah itu jatuh dan sedikit dari sampah yang berada di dalam tong itu menjadi berserakan. Ketika aku sedang mengaduk tempat sampah untuk mencari makanan tersebut, manusia yang sedang berjalan masuk ke dalam rumah tersebut, langsung menoleh ke arahku dan langsung mengejarku. Lalu dia menggenggam gagang sapu, lalu dipukulkannya gagang sapu itu ke arahku, sehingga aku takut dan berlari secepat mungkin. Aku heran, aku susah mencari makan, tapi manusia membuang nasi itu dengan mudahnya dan ketika aku mencoba mendapatkan nasi yang dibuang itu, mereka menjadi marah. Manusia memang sulit dimengerti.
Dengan perut kelaparan, aku berjalan. Aku mencoba memikirkan, sebenarnya apa yang mereka (manusia) itu pikirkan. Liar, buang makanan, memukuli kucing liar ? Apa maksudnya ? Belum hilang rasa sakit atas pukulan gagang sapu tadi, seekor kucing jantan hitam tiba – tiba mengejarku. Sontak aku takut, lalu aku berlari sekuat tenaga. Namun, itu semua tak ada guna. Kucing jantan hitam tadi dapat menerkamku. Diterkam dalam keadaan berlari cepat, ini membuatku terperosok ke sebuah parit. Yah, rasanya jelas sakit. Belum hilang rasa sakit pukulan kemarin dan tadi pagi, kini aku harus disakiti oleh sesama bangsa kucing. Ternyata kucing hitam itu hanya ingin menyetubuhiku. Setelah dia puas, dia langsung pergi dan tak memperdulikanku yang sedang dalam keadaan terluka di dalam sebuah parit. Manusia yang lewat hanya melihatku saja, tak ada yang menolongku. Bahkan setelah sekian lama, aku melihat manusia yang pernah menjadi majikanku membawa seekor anjing baru, tanpa mengenalku lagi yang sedang terbaring di sebuah parit.
Kini, aku mengerti. Apa yang terjadi selama ini. Manusia hanyalah bodoh. Mereka menginginkan keliaran, hidup liar, hidup semau dirinya tanpa menghendaki resikonya. Manusia itu pengecut ! Dia tak berani bertanggung jawab dengan apa yang telah diperbuatnya. Habis manis, sepah dibuang , seperti diriku yang dulu dimanja oleh manusia, lalu setelah mereka makin sibuk, mereka tidak mau lagi mengurusi diriku dan lebih memilih membuangku dan tak peduli lagi denganku bahkan jika aku mati di parit ini. Lalu, saat mereka ingin peliharaan yang baru, mereka pun membeli yang baru tanpa mengingat lagi yang lama yang dulu pernah mereka sayangi. Manusia itu rakus dan munafik ! Mereka membuang apa yang mereka miliki, namun tak membiarkan seorang pun mengambil apa yang mereka telah buang. Dan aku, hanya harus menerima alam liar ini. Hukum alam harus ku jalani, hingga saatnya aku mati karena ada yang lain yang lebih tangguh dariku dan menjadikanku lemah. Dalam hukum itu lah aku hidup.