Susahnya Perokok Insyaf
Oleh: Efrem Limsan Siregar*
Sudah barang tentu para perokok terus dikutuk kehadirannya. Segala macam ketakutan dinampakkan agar mereka segera mengaku insyaf. Sebabnya aktifitas ini sungguh tak lazim dipertahankan dalam peradaban.
Dahulu sekitar tiga puluh tahun silam, oleh Stanton Glantz, peneliti dari University of California Los Angeles (UCLA), diberi suatu kesimpulan, “merokok merupakan sebuah tindakan antisosial.” Penelitian ini serasa pembenaran untuk sebuah kemurnian masyarakat (public purity). Orang-orang yang menyimpang ini harus diatur bahkan Glantz berpikir bahwa negara harus memenjarakan para perokok.
Lalu perlawanan berlanjut dengan menyoalkan kesehatan. Nada-nadanya ini yang digemakan kalangan penggiat anti-rokok di AS disusul Indonesia. Mulanya menyinggung kesehatan publik, namun belum jelas keterkaitannya dengan masalah sosial-ekonomi.
Strategi berubah ke hubungan individual antar manusia. Dipakailah istilah perokok pasif (second-hand smokers) sebutan untuk orang yang menghirup asap tembakau tersebut. Pulanya asap tak hanya menyakiti perokok itu sendiri, namun orang yang berada di sekitarnya. Istilah ini membuat masyarakat seakan tercerahkan, yakin bahwa rokok lebih banyak tak baiknya daripada baiknya.
Pundi-pundi perlawanan semakin mantap dengan hadirnya Konvensi Internasional tentang Pengawasan Tembakau (FCTC). Konvensi ini cukup berjaya karena berada di bawah pengawasan WHO. Bukan main bahwa FCTC menjadi instrumen hukum internasional, ia juga mengatur produksi, penjualan, distribusi, iklan dan perpajakan tembakau.
Bloomberg Initiatives, lembaga nirlaba milik Michael Bloomberg, mantan walikota New York terang-terangan mendonasikan 125 juta dolar AS untuk mendanai studi pengendalian dampak tembakau. Dana saweran itu dibagi ke banyak LSM dunia, termasuk Indonesia. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, misalnya. Rentang waktu 2008-2010 lembaga ini menerima sekitar 280.000 dollar AS.
Para perokok pun berjalan tiarap dibuatnya setelah 172 negara meratifikasinya pada 2003 silam. Itu berarti negara peserta konvensi wajib membuat UU anti-rokok atau pengendalian dampak tembakau. Namun DPR lihai benar, tidak mau terburu-buru terpancing ratifikasi itu. Tentu para penggiat anti-rokok merasa terheran-heran. DPR justru menamakan RUU Pertembakauan ketimbang Pengendalian Dampak Produk Tembakau.
Setengah hati DPR ini menimbulkan curiga. Bahwa jangan-jangan ada titipan para konglomerat industri rokok. Majalah TEMPO pun turut cemas. Editorialnya edisi 27 Mei-2 Juni 2013 menganggap anggota dewan ingin melindungi kepentingan pengusaha rokok. Bukannya berpihak, DPR seakan-akan memukul telak penggiat kampanye anti-rokok.
Persoalan semakin rumit karena penerimaan dari rokok ini membelalakkan mata. Tahun 2015 saja negara menerima Rp 139,5 triliun dari cukai rokok. Itu belum hitung-hitungan tenaga kerja yang terlibat, mulai dari petani tembakau sampai pedagang kaki lima. Pemerintah bersama beberapa departemen pun sudah menetapkan skema pengembangan Industri Hasil Tembakau (IHT) berdasarkan road map 2007-2020. Salah satu tujuannya adalah penyerapan tenaga kerja. Wajar kalau pemerintah perlu hati-hati soal tembakau ini.
Pertumbuhan industri sambil memperhatikan aspek kesehatan masyarakat ini memang susah untuk diterima logika awam masyarakat. Majalah Economica UI Edisi 50/2013 pun sampai harus menjelaskan ‘mitos’ yang disebarkan industri rokok tersebut. Disebut bahwa hilangnya produktifitas akibat kematian prematur, morbiditas dan disibilitas sebesar Rp 91,16 T. Ini tak sebanding dengan pendapatan negara dari cukai tembakau Rp 55 Triliun. Kalkulasi biaya juga dihitung Departemen Kesehatan. Tanggungan negara pada 2010 mencapai Rp 231,27 T akibat rokok yang berserak di masyarakat.
Perang urat syaraf pro-kontra terjadi. Lebih-lebih awal mula proyek FCTC memang didukung korporasi-korporasi farmasi besar dunia. Sebagai imbalan ada landasan hukum dalam FCTC untuk memuluskan bisnis perdagangan Nicotine Replacement Treatment (NRT). NRT ini diajukan sebagai obat penting untuk mendukung individu lepas dari rokok. Transdermal patches dan chewing gums dimasukkan dalam WHO Model List of Essential Medicines.
Dua produk inilah yang digunakan negara peratifikasi FCTC. Belum lagi setelah itu ada bermacam perawatan yang mesti dilewati. Alhasil tahun 2010 AS sudah mengekspor produk-produk NRT ke sembilan negara Eropa, empat negara Asia dan Australia serta Meksiko. Indonesia yang konsumsi tembakaunya masuk lima besar termasuk pasar menjanjikan.
Ada temuan menarik dari Laporan Bank Dunia Curbing the Epidemic: Governments and the Economics of Tobacco Control. Disebut bahwa kenaikan harga rokok merupakan strategi utama untuk menurunkan konsumsi tembakau. Kenaikkan ini tentu menggiurkan IMF sebab akan menambah pendapatan pajak dan menekan defisit anggaran negara.
Kenaikkan harga ini mulai berkembang lagi di publik beberapa waktu terakhir. Pemerintah disebut akan mengatur harganya hingga mencapai Rp 50.000 dan lebih. Wacana menjadi polemik sebab mengabaikan kelangsungan hidup para petani yang bakal menerima dampak besarnya. Dengan entengnya pertanian semata-mata dianggap soal matematika ekonomi: untung-rugi. Upaya peralihan jenis tanaman lain salah satunya. Bukanlah barang mudah menyesuaikan peralihan ini: musim tanam, keadaan geografis, dan kebiasaan masyarakat di dalamnya dan aspek lainnya.
Keadaan ini seperti mengabaikan public goods types seperti masalah sanitasi atau penyakit-penyakit menular dan pelayanan kesehatan lainnya. Belum lagi bahwa sebenarnya serangan menyangkut pilihan individual dan gaya hidup yang tak benar. Negara tak mungkin dipaksa mengatur pilihan individual warganya.
Sungguh niat yang sukar diterima bahwa ada pihak menyoal kesehatan padahal orang sakit pun sering ditolaknya. Pemerintah sendiri nyatanya belum sungguh-sungguh dalam urusan kesehatan publik. Masih segar dalam ingatan mewabahnya kasus vaksin palsu beberapa waktu lalu dan karut-marut regulasi BPJS yang tetap menyusahkan sampai sekarang ini.
Kehendak para penggiat anti-rokok pun berlainan lagi. Kampanye bukan lagi menyentuh substansi penanggulangan dampak negatif rokok. Yang diinginkan justru penurunan konsumsi rokok. Tak ayal jika masalah kesehatan yang terus disembur agar pemerintah menerbitkan regulasi pengontrol dianggap terlalu dipaksakan.
Nilai Kultural
Jika sudut pandang bergeser ke luar dari aspek ekonomi dan kesehatan, akan matanglah pertimbangannya. Sebabnya kebiasaan merokok telah meluas di banyak masyarakat Indonesia. Di beberapa komunitas, rokok ini sudah menjadi simbol persaudaraan. Inilah ongkos yang hitungannya terlalu mahal untuk dibiayai.
Artikel menarik juga datang dari harian Prancis Le Figaro: Cigarette, La Fin d’une Histoire (7/1/2008). Disebut bahwa seluruh sejarah seni tak akan pernah dilihat tanpa tembakau. Joos Van Craesbeeck, Simon de Vos, Delacroix, Bonnard, Cezzane, Touluse-Lautrec, Gauguin, Magritte, dan Picasso seniman dengan kesenangan merokok.
Apa yang diberikan orang Indian Bahama kepada Christophorus Colombus? Ialah tembakau. Louis XV mempersembahkan cerutu kepada orang Indian di Kanada sebagai rasa terima kasih atas bantuan mereka melawan Inggris. Slipi (tabatière), kotak tembakau menjadi hadiah revolusi kepada Republik Prancis. Di negeri Paman Sam, selain uang George Washington juga meminta setidak-tidaknya tembakau kepada Kongres untuk pertempurannya.
Indonesia sendiri mempunyai seorang Chairil Anwar yang teramat candu terhadap rokok. Chairil bukanlah pujangga yang kebetulan sekali menyembur asap saat menulis. Ini sering dilakukan banyak sastrawan dan penulis selama berabad-abad. Bahkan sejarahwan Prancis Mérimée mengatakan dirinya hanya dapat mengerti sastra sambil merokok. Tanpa tembakau, mungkin novel dan film berkualitas tak akan pernah dijumpai atau ‘Aku’ tak akan pernah ada.
*awak kavling 10 2012