Opini : Ospek dan Ritual yang Salah
Oleh : Ahmad Yani Ali*
Tidak terasa tiga tahun terlalu berlalu, waktu itu penulis melakoni kehidupan kampus untuk pertama kalinya. Sama seperti teman-teman Maba tahun ini yang juga akan merasakan bagaimana kesan pertama menjadi seorang mahasiswa. Ya, pengenalan kehidupan kampus atau di Universitas Brawijaya lebih dikenal dengan istilah PKK Maba atau PKK MU. Tujuannya sih mengenalkan segala komponen tetek bengek yang ada di kampus, mulai dari jajaran kemahasiswaan, aturan kemahasiswaan, hingga administrasi kampus berjalan. Bagus agar Maba terhindar dari kebutaan sistem.
Ajang perayaan ini mutlak diadakan setiap tahunnya. Sebagai keluarga baru, UB jelas akan menyambut kedatangan para Maba ini. Sebab tidak lain karena Maba adalah penyokong utama aliran dana di UB. Lihat saja perayaan kali ini, sangat berbeda dengan tahun lalu balon yang dilepas kini ditemani pesawat mengudara di sekitaran kampus. Sungguh ritual baru yang bisa dikatakan sangat mewah dan mungkin saja menghabiskan dana yang tidak sedikit hanya untuk acara seremonial. Dan kemeriahan tahun ini akan disaksikan oleh kurang lebih 15.000 orang Maba. Maba terbanyak bila dibanding tahun lalu. Tidak sedikit Maba yang mungkin melongo saat pesawat mengudara di atas lapang, sebab sama saja saat mereka tahu bahwa UKT juga kini melambung tinggi. Belum lagi mereka harus menghadapi pengenalan kehidupan kampus yang rentan dengan senioritas.
Parahnya, sering kali ajang senioritas jadi bentuk perpeloncoan yang kerap diwarnai bentuk kekerasan baik fisik maupun mental. Oleh karena itu, dalam SK Dirjen Dikti no. 38/DIKTI/kep/2008 diatur sedemikian rupa. Isi SK tersebut mengatakan bahwa kegiatan penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi pada dasarnya bertujuan untuk memberikan pengenalan awal bagi mahasiswa baru, yang berkenaan dengan sejarah kampus, lembaga-lembaga yang ada di kampus, jenis kegiatan akademik, sistem kurikulum, cara pembelajaran yang efektif di perguruan tinggi, serta para pemimpin universitas, fakultas dan dosen. Jelas ritual lain yang dilakukan selain yang tertera diatas haram dilakukan, khususnya pelonco dalam bentuk apapun. Sebenarnya dari patokan diatas sudah cukup mewakili bagaimana Maba tanpa embel-embel perangkat “warna-warni” yang sesungguhnya tidak perlu.
Kegiatan perpeloncoan mulai muncul pertama kali di Inggris, tepatnya di Cambridge. Saat mayoritas mahasiswa aristokrat di kampus tidak mengindahkan nilai dan peraturan di Universitas. Untuk meminimalisir tindakan kesewenang-wenangan tersebut, pihak universitas membuat kegiatan diawal tahun ajaran agar mahasiswa yang masuk harus melewati fase pelonco. Hal tersebut ditujukan agar mahasiswa bisa bertindak lebih jinak dan tidak berbuat onar. Dan sayangnya, metode tersebut menjadi hal yang digunakan untuk ajang senioritas, kepentingan politis, dan numpang ngeksis.
Dengan berbagai macam dalih mereka katakan agar mendisiplinkan dan penguatan mental. Namun seringkali pendisiplinan dan penguatan mental kerap diwarnai aksi kekerasan baik fisik maupun non fisik. Metode yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai mahluk intelektual, seharusnya mahasiswa bisa lebih berpikir dinamis dan humanis. Sesuai dengan konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Senioritas kerapkali dihubungkan dengan perpeloncoan. Sebab secara pengalaman mungkin mereka lebih tahu mengenai seluk beluk kampus. Sehingga dari pengalaman tersebut seringkali mereka bertindak sebagai hakim. Hakim yang siap berteriak dengan tampak sangar dan muram durja, serta dengan hukuman yang terkadang dilebih-lebihkan. Pada akhirnya timbul jurang pemisah antara si Maba dan si Mala. Kebencian pun tersulut. Maka sejak saat itu gap antar angkatan bisa terjadi. Dan hal tersebut tentu sangat bisa menyulut tindakan pelonco selanjutnya. Dan yang tersisa hanya perpecahan dan pembodohan.
Dari hal diatas jelas dampak yang dapat terjadi dengan adanya tindakan pelonco adalah dendam. Sebuah sifat yang memiliki pengaruh buruk terhadap orang yang mengalami hal pahit. Buruk, karena tindakan yang dilakukan sama seperti perlakuan orang yang membuatnya mengalami hal pahit. Secara kontinu hal tersebut akan terus berlangsung pada generasi-generasi dibawahnya. Sebagai agen perubahan hal tersebut tentunya haram dilakukan. Sebagai agen perubahan tentunya mahasiswa harus bertindak lebih manusiawi sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan. Sebagai agen perubahan mahasiswa adalah mahluk berakal dengan segudang inovasi. Dan sebagai agen perubahan katakan tidak untuk tidak pada tindakan bar-bar semacam itu.
Sebagai mahasiswa, idealnya kita patut sadari esensi dari ospek itu sendiri adalah mencapai nilai-nilai dan aturan yang ada di kampus. Terlebih yang utama adalah menciptakan kesadaran kolektif berdasarkan jiwa kritis yang dibangun melalui rasa tanggung jawab, integritas, serta kepedulian bersama. Selanjutnya kesadaran koletif tersebut bisa dijadikan langkah untuk terjun langsung ke dalam lapisan sosial masyarakat, sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pengabdian. Tanpa hal tersebut dunia akademik seterusnya hanya akan menjadi wadah bercokolnya calon-calon penindas.
Terakhir, penulis ucapkan selamat datang bagi Maba angkatan 2013. Selamat menjalankan kehidupan sebagai mahasiswa.
*Penggiat UAPKM UB