MEMBICARAKAN KESEBENTARAN BERSAMA MERE MERE MUNYET
Judul: Mere Mere Munyet
Penulis: Muhammad Dawil Huzomi
Tahun terbit: 2021
Tebal buku: xii + 154
Ketika mendengar kata puisi, yang pertama kali muncul di pikiran saya adalah sekumpulan diksi yang ndakik-ndakik. Pun membayangkan berbait-bait rima yang perlu beberapa kali baca hingga paham maknanya. Ambil saja contoh puisi Chairil Anwar berjudul “Penghidupan”.
Lautan maha dalam
mukul dentur selama
nguji tenaga pematang kita
…
Tentu sama sekali tak sesederhanaitu menafsirkannya—pun juga puisi-puisi kebanyakan—yang kemudian menjadikan kegiatan membaca puisi dinilai melelahkan sebab perlu berpikir keras dalam waktu yang relatif lama. Bahkan bisa jadi lebih melelahkan ketimbang memahami prosa dan drama yang notabene bercerita dari orientasi hingga anti-klimaksnya.
Namun lain cerita dengan kumpulan puisi berjudul Mere Mere Munyet ini. Buku ini menampik stigma tentang puisi yang kaya akan bahasa estetik dengan bait-bait melelahkan.
Wah, apakah kemudian sang penulis gagal dalam berpuisi?
Eits, tentu tidak segampang itu.
Keterangan “sehimpun puisi sebentar” di sampulnya kemudian membikin saya bertanya-tanya apakah gerangan makna “sebentar” di dalamnya. Setelah membaca pengantarnya, saya berminat untuk meluangkan waktu saya barang sebentar, menilik beberapa lembar lebih dalam.
Dan… astaga!
Hampir semua puisi ditulis hanya dalam satu bait saja. Itulah mengapa mungkin sang penulis berinisiatif untuk menyusunnya dalam ukuran mini yang ramah dikantongi. Saking sebentar-nya, ada puisi yang hanya berisi dua kata, masing-masing judul dan isi satu kata:
Kenapa?
Anu…
Bisa bayangkan sendiri, kan, kalau “kuantitas” isi keseluruhannya tak jauh dari itu?
Dari puisi di atas, tentu sang penulis tidak asal bikin. Ada makna tertentu yang ingin penulis sampaikan darinya. Seperti yang kita tahu, kata “anu” mewakili segala sesuatu yang ada di kepala namun sulit disuarakan. Barangkali begitulah penulis pada akhirnya memutuskan membuat puisi ini untuk mengurai keruwetan isi kepalanya. Siapa tahu, kan? Sebab sebuah karya pun tak jauh-jauh dari latar belakang si pembuat…
Ngomong-ngomong latar belakang, penulis yang merupakan jebolan pondok pesantren ini juga memasukkan beberapa puisi yang sarat akan budaya ke-santri-annya. Saya sebagai seseorang yang pernah berada di lingkungan tersebut pun relatable dengan puisinya.
Selamat Datang di Pesantren
Selamat datang di pesantren
Dimana agenda lauk pauk
Lebih hafal kebanding “Hari apa?”
Selain berisi kehidupan pesantren itu, setelah saya baca keseluruhannya, kumpulan puisi di buku ini memuat tiga “tema” besar. Entah secara tersirat memang dikategorikan penulisnya, atau hanya kebetulan yang saya kait-kaitkan sendiri.
Pertama, penulis sering membicarakan sosok ibu, atau secara lebih luas lagi tentang perjuangan yang erat akan harmonisme keluarga.
Cara Membuka Kamus
Pastikan kamus tebal
Awali dengan huruf “I”
Kemudian “B”
Lalu “U”
Terong dan Pisang 8
Itulah salah musababnya hingga sekarang,
Pisang dimakan mentah
Tidak lebih tidak kurang,
Lebih khidmat.
Terong dinasisambel
Tidak lebih tidak kurang,
Lebih nikmat.
Puisi Terong dan Pisang inilah yang terkocak sekaligus mengharukan. Bagaimana tidak, setelah dibuat menebak-nebak apa makna asli si Terong dan Pisang yang dibicarakan dari awal hingga akhir (Terong dan Pisang 1-8), ternyata puisi kedelapan seolah mengungkapkan se-harfiah Itulah maknanya: terong lebih enak disambal bareng nasi, sedangkan pisang lebih cocok dimakan mentah. Ngeselin, kan? Nggak ada konotatif apapun yang dimaksud penulisnya! Tawa pun berderai.
Sehabis puas ngakak, saya membacanya ulang. Tidak terima dikerjain seperti ini. Setelah rampung, saya malah teringat saudara-saudara saya yang punya jalan masing-masing menjemput kecocokan mereka, seiring dengan restu orang tua. Setelahnya saya terharu alih-alih tertawa seperti sebelumnya.
Selanjutnya, penulis membicarakan cinta. Puisi cinta-cintaan yang menggebu-gebu tidak ada di sini. Uniknya, kesederhanaan bahasanyalah yang kemudian malah indah untuk ditangkap maksudnya. Inilah yang bisa jadi poin lain dari makna “puisi sebentar” yang diungkapkan penulis.
Seminggu
Aku sayang kamu
Delapan kaki dalam seminggu.
Membicarakan “cinta-cintaan” di puisi ini, saya meng-highlight karakter bernama “Munyet”—yang merupakan nama pena penulis—dan “Luting”—yang barangkali sama dengan “Lunting” dalam lain kesempatan. Dua tokoh ini mondar-mandir saling berkait di beberapa puisi. Seolah-olah keduanya adalah pasangan atau apa. Yang kemudian membuat saya tergelitik penasaran, mengapaaaa namanya mengambil plesetan nama spesies primata alih-alih bebungaan atau malaikat.
Puisi Luting
Luting!
Dihadapan sajakmu
Munyet tak berkata
Juga wajahmu tak terkatakan
Dihadapan lentikmu
Ia hanya katak
Yang tak berkutik
Di bagian akhir, penulis berpuisi tentang ketuhanan, membahas tentang hal-hal berbau ritual agama. Sebagian berisi semacam doa-doa serta pengakuan akan betapa rendah dirinya di hadapan Tuhan.
Puisi bernafaskan ketuhanan berjudul Sayar yang terdiri dari 7 “potongan” mengingatkan saya dengan buku karya Ahmad Khadafi berjudul “Islam Kita Nggak Kemana-mana Kok Disuruh Kembali”. Jika dimaknai dari pertama hingga yang ketujuh, puisi ini menceritakan perjalanan spiritual tokoh Sayar. Hingga kemudian saya menyimpulkan—sekaligus menyadari—tentang betapa Tuhan itu dekat dan tidak kemana-mana namun masih saja dicari-cari keberadaanya…
Sayar 6
“Mana Tuhan?”
Ucap Sayar kembali
Di tempat ibadah itu, ia serius sekali.
Si lelaki hanya tersenyum. Tak menjawab.
Tangannya saja yang bergerak
Dengan telunjuk yang naik ke dada Sayar
Bukan dada. Lebih jauh lagi.
Sedangkan untuk buku lain yang menangkap kekhasan bahasa serupa, adalah buku berjudul “Untuk Matamu” oleh Kharisma P. Lanang.
Komposisi Tubuh
Terimalah kenyataan,
tubuhmu terbuat dari masa lalu
dan masa depan seseorang
Begitulah saya menyimpulkan “kesebentaran” yang diinginkan penulis. Baik dari segi singkatnya isi, mudahnya makna, dan sederhananya diksi, hanya butuh waktu sekali duduk untuk merampungkan seisi bukunya. Buku ini saya baca untuk mengisi kegabutan ketika nganggur. Namun setelah nyantol dengan beberapa puisinya, tanpa payah saya malah meluangkan waktu untuk membacanya lagi. Karena benar-benar se-sebentar itu!
Sayangnya, meskipun “sebentar” itu sejak tadi saya agung-agungkan, beberapa puisi masih belum menyentuh letak sastra atau mungkin estetikanya. Karena memang menampilkan gaya berpuisi baru yang tak terikat oleh “aturan” puisi di ranah akademik. Lebih menyenangkan jika dicemil di saat santai.Masih ada pula beberapa kekeliruan ejaan yang entah sengaja ditulis untuk ciri khas atau bagaimana. Namun beberapa poin yang disayangkan tersebut tentu bukan sebuah hal pelik yang patut dipersoalkan.
Sayangnya lagi, buku ini diterbitkan secara independen oleh sang penulis. Artinya saya tidak bisa merekomendasikan buku ini apalagi menawarkan siapapun untuk membelinya, karena tidak dijual di toko manapun. Yaaah, penonton pun kecewa…
Namun barangkali untuk bisa berkenalan dengan sang penulis dan puisinya, halaman terakhir buku ini menyediakan kontak penulis di akun instagramnya dengan nickname @Munyet.
Demikianlah.
Penulis: Adila Amanda
Editor: Moch. Fajar Izzul Haq
Wah sebagus ini tulisannya
Terima kasih banyak kavling10🙏
Terima kasih kembali Kak 🙏