Catatan Merah Pengesahan UU Minerba
JAKARTA-KAV.10 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan UU Minerba (Mineral dan Batu Bara) dalam rapat paripurna bulan lalu (12/5). Pengesahan yang dilakukan di tengah masa pandemi itu cukup mengejutkan banyak pihak. Sebab, isi UU tersebut masih terus mendapat penolakan dari berbagai kalangan karena isinya yang dinilai merugikan masyarakat.
Salah satu penolakan datang dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Dalam kajiannya, BEM SI memberikan sejumlah ‘catatan merah’ pada UU Minerba yang baru disahkan.
“BEM SI sudah melakukan kajian yang kita bagi menjadi dua tahap. Pertama adalah sikap atau kajian secara general, lalu kedua adalah catatan merah tetang RUU Minerba itu sendiri,” ungkap Koordinator Isu Energi dan Minerba BEM SI Alif Zulfikar Syahroni, pada Selasa (26/5).
Poin pertama dari catatan merah BEM SI adalah cacat formil perumusan RUU Minerba. Keterlibatan publik dalam perumusan undang-undang tersebut sangat minim. Banyak aktivis lingkungan dan aktivis tambang, kata Alif, tidak mengetahui pembahasan tersebut, sekalipun DPR mengklaim telah membuka ruang aspirasi publik seluas-luasnya.
Pada poin kedua, BEM SI menilai undang-undang tersebut juga memberikan ruang yang begitu besar bagi Indonesia untuk terus menggunakan sumber energi kotor. Padahal, rencana tersebut berlawanan dengan semangat Indonesia yang ingin mengurangi penggunaan sumber energi kotor.
“Ini yang membuat kita bertanya-tanya, kepentingan apa yang ingin dibawa dari UU Minerba ini? Padahal Indonesia punya potensi untuk memaksimalkan atau mengoptimalkan Energi Baru Terbarukan (EBT),” papar mahasiswa asal Sekolah Tinggi Teknik PLN Jakarta itu.
Poin selanjutnya adalah kecenderungan UU Minerba memudahkan ‘oligarchs coal’ memperpanjang kontrak tambang mereka. Alif menengarai dikebutnya pengesahan UU Minerba oleh DPR karena kontrak tiga hingga lima perusahaan tambang akan berakhir dalam waktu dekat.
Terakhir, kata Alif, pengesahan undang-undang ini akan membuka peluang terjadinya korupsi. “Kenapa kami bilang begitu? Karena pasal yang mengatur tentang hukuman atau sanksi hukum pidana bagi pengusaha atau pemerintah yang menyalahgunakan wewenang sudah dihapus di UU Minerba yang baru. Padahal, sebelumnya sudah diatur itu,” jelasnya.
Tidak jauh berbeda, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) turut kecewa dengan keputusan DPR untuk mengesahkan UU Minerba saat negara sedang dalam darurat bencana non-alam. Apalagi pengesahan perundangan tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan wabah virus korona.
“Seluruh kebijakan di bidang eksekutif maupun legislatif seharusnya memprioritaskan penanggulangan wabah. Ini (Pengesahan UU Minerba, red) kan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan wabah kan, baik dalam konteks kesehatan masyarakat maupun konteks penanggulangan wabah ini,” kata Ketua Kampanye dan Jaringan YLBHI Arip Yogiawan kepada awak Kavling, Sabtu (30/5).
Tanggapan mengenai pengesahan RUU Minerba ini juga disampaikan oleh akademisi di UB, Imam Koeswahyono. Ia mempersoalkan RUU Minerba dari dua hal yaitu segi prosedur dan substansinya.
“Setiap produk perundangan itu harus disosialisasikan kepada masyarakat dan sebelum itu harus dikonsultasikan juga kepada masyarakat. Namun, keduanya tidak pernah terjadi selama ini, bahkan pembahasan dilakukan pada saat mayarakat sedang dihadapkan dengan pandemi,” jelas dia.
Dosen Fakultas Hukum itu juga menyatakan keberatan terhadap keberadaan UU Minerba. Menurutnya, sebelum menyatakan menolak atau menerima substansi sebuah aturan, ada tujuh aspek yang harus dipertanyakan.
Tujuh aspek tersebut di antaranya, orientasi, keberpihakan, pengelolaan dan pengimplementasian, perlindungan HAM, pengaturan good government, hubungan orang dengan SDA, serta hubungan negara dengan SDA. “Dari tujuh hal yang harus dipenuhi, hanya ada satu atau dua saja yang dipenuhi, yang lainya tidak,” ujar Imam.
Sama seperti poin pertama yang disoroti BEM SI, pihak YLBHI mengatakan pembahasan undang-undang tidak melibatkan masyarakat sekitar tambang. Hal ini yang melandasi munculnya sidang rakyat melalui teleconference dari 29 mei hingga 1 Juni 2020. Sidang rakyat tersebut diinisiasi oleh beberapa NGO yang tergabung dalam Gerakan Bersihkan Indonesia.
“Sidang di DPR, selain cepat prosesnya, melainkan juga tidak partisipatif dan tidak mepresentasikan kepentingan rakyat. Maka kami membuat suatu sidang yang lebih partisipatif dengan cara mengundang warga di lingkar tambang untuk menyatakan pendapatnya,” ungkap Arip.
Ia juga menambahkan bahwasanya YLBHI pernah mengusulkan kepada DPR untuk mengutamakan dua fungsi selama pandemi, yaitu fungsi monitoring dan fungsi budgeting. Fungsi monitoring oleh DPR bertujuan untuk mengawasai kinerja fungsionaris dalam menanggulangi Covid-19 dan fungsi budgeting berarti membantu pemerintah dalam memberikan alokasi anggaran pada kebutuhan penanggulangan pandemi Covid-19.
Melihat sejauh ini tentang penegakan hukum atas tanah yang digali oleh perusahaan tambang yang tidak direhabilitasi, tercatat puluhan korban yang tenggelam pada lubang bekas tambang. Mengacu pada Peraturan Pemerintah no.78 tahun 2010 dijelaskan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi/Operasi Produksi dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Eksplorasi/Operasi Produksi wajib hukumnya melaksanakan reklamasi.
Penulis: Faisal Amrul, Tiara Bakhtiar
Editor: Abdi Rafi Akmal