Dosen HI UB: Orang Eksakta Rentan Terpapar Radikalisme
MALANG–KAV.10 Dosen Hubungan Internasional UB Yusli Effendi menyebut orang-
orang eksakta yang lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan berorientasi radikalisme. Kampus-
kampus teknik di Indonesia itu lebih banyak simpatisan radikal daripada yang lain. Ia
menyebut para pelaku pengeboman didominasi insinyur dan dokter. Orang-orang eksakta
terbiasa berpikir logis, sesuai hierarki, keteraturan, dan kepastian. Sementara, orang-orang
ilmu sosial lebih terbiasa melihat perbedaan karena biasa melakukan perdebatan akan suatu
persoalan.
“Filkom dan beberapa fakultas eksakta itu lebih reseptif untuk menerima ide-ide baru soal
khilafah ini. Maka, teman-teman eksak ini diberikan perlakuan yang berbeda,” tambah Yusli.
Di wilayah Malang, Yusli mengatakan terdapat dosen yang bersimpati pada sistem khilafah,
tetapi belum ada catatan yang pergi ke Suriah untuk berjihad. Namun mahasiswa menurutnya
ada yang pergi ke Suriah. “Kampus adalah wilayah akademis, semua ide boleh ada di kampus
asalkan ada mekanisme kritik. Kalau diskusi, diskusi terbuka lah, jangan tertutup, jangan
eksklusif. Jangan tertentu misalnya hanya orang Islam yang semester 1 yang bisa
dimanipulasi otaknya kemudian diajak diskusi,” tegasnya.
Saat ditemui di kantornya (13/08), Yusli berpendapat bahwa UB itu kampus yang ambigu. Ia
menyebut saat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) belum dilarang, HTI bisa dapat akses masuk di
UB, tetapi Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (OMEK) dilarang. Ia menyebut ini tidak
berimbang. “Maka akhirnya berkembang gitu di antara usulan teman-teman kampus
menentang radikalisme, salah satunya biarkan OMEK masuk dan bertarung secara ide dan
gerakan. Mahasiswa itu silakan mencari,” usul Yusli.
Menurut Koordinator Pencegah BNPT Hamli, radikalisme dan terorisme tidak tersebar hanya
di kampus besar saja, tetapi hampir seluruh kampus di Indonesia. Terutama kampus yang
berada di Pulau Jawa, misalnya UI, ITB, IPB, ITS, Undip, UB dan Unair. Sedangkan di luar
Jawa ada Universitas Riau, Universitas Hasanudin, Universitas Halu Oleo. Hasil investigasi
Kepolisian RI menjadi dasar BNPT menentukan adanya radikalisme dan terorisme di dalam
kampus.
“Pelaku-pelakunya sekarang itu kebanyakan berlatar belakang anak-anak sekolahan. Ini yang
bikin kita semakin repot menghadapinya. Kalau orang ini berpendidikan cuma SMP, SMA,
SD, mereka itu karakternya cuma scary jadi cuma perang-perang. Nah kalau sudah setingkat
lulusan mahasiswa ada yang S2 itu otaknya itu sudah beda,” papar Hamli.
Dosen Fakultas Hukum UB Faizin Sulistio menyatakan bahwa kampus perlu membentuk
kebijakan kontra radikalisme dengan membuat konsep, mendefinisikan ulang radikalisme
yang ada di kampus, membuat daftar kampus yang terpapar radikalisme, serta memahami
gejala dan model radikalisasinya. Konsep tersebut dijadikan suatu kurikulum yang
membentuk suatu pola pendidikan kampus. “Jadi kita membentuk suatu kehidupan kampus
yang lebih toleran. Jika terjadi gejala-gejala intoleran, bisa dikritisi ulang,” ungkap Faizin.
Perkembangan terbaru, UB telah merancang peraturan mengenai penanggulangan
penyebarluasan paham organisasi dan pelanggaran kesusilaan. Berkas rancangan peraturan
ini salah satunya memuat daftar paham organisasi terlarang dan terorisme yang berisi Partai Komunis, HTI, Lia Eden, Negara Islam Indonesia, Gerakan Fajar Nusantara, Satrio Piningit
Weteng Buwono, ISIS, serta Jamaah Ansharut Daulah. (jef/nzf/nur)