oleh M. Nuris Hisyam Ramadhani*

Dalam kisah perebutan kuasa dan kedudukan antara hewan-hewan hutan, siapa yang menjadi penguasa ditentukan dari siapa yang paling garang atau siapa mampu mengaum paling keras. Atau dalam fabel lain dikisahkan yang berhak memerintah hewan-hewan lain ialah yang dicap paling bijak. Kriteria bijak seringkali ditentukan dari usianya yang lebih sepuh―tubuh dan mentalnya telah lebih dulu terasah oleh guratan waktu dan pengalaman.

Namun dalam kenyataan hidup, idealnya semua makhluk punya kesempatan yang sama untuk menjalankan kehidupannya atas kehendak merdekanya sendiri. Tidak seperti kerbau yang dicocok hidungnya, tidak atas perintah atau tekanan orang lain. Tak hanya karena taring dan kuku si singa yang lebih runcing atau kegagahan bulunya si kancil mesti gentar padanya. Si kancil mesti segera belajar mengaum. Tak cuma demi mempertahankan harkat diri, tapi juga demi melawan tirani yang tak akan berubah sama sekali jika si kancil hanya memilih diam.

Bagi mahasiswa yang merasa dibentak, ditekan, apalagi diciderai secara fisik oleh mahasiswa lain atas dalih melatih mental dan kedisiplinan selama kegiatan pengenalan kampus, jangan cuma diam sebab aksi semacam itu tidak dibenarkan dalam SK Dirjen Dikti tentang Panduan Umum Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru. Asas demokratis dan humanis mengisyaratkan prinsip persaudaraan dan egaliterisme harusnya dijunjung dalam pelaksanaan kegiatan ini.

Publik mungkin masih ingat betul beberapa tahun lalu sempat banyak muncul kasus kekerasan yang dilakukan senior terhadap junior dengan dalih yang sama: melatih mental. Korban banyak yang jatuh sedangkan efektivitas cara mendidik semacam itu tidak pernah terbukti berhasil membentuk karakter. Kita tentu perlu curiga, jangan-jangan mentalitas penindas semacam itu memang diam-diam masih bersemayam dalam jiwa para mahasiswa. Terbukti belum lama ini sempat mengemuka video mengenai perundungan (bully) terhadap seorang mahasiswa berkebutuhan khusus yang dilakukan sesama mahasiswa. Entah hanya berniat bercanda atau mental oknum mahasiswa tersebut memang bobrok, barangkali kita tetap perlu berintrospeksi tentang kepedulian diri terhadap orang lain.

Setelah si kancil berhasil belajar mengaum, jangan malah kebablasan dan lupa diri. Jangan-jangan si kancil yang awalnya belajar mengaum untuk mempertahankan diri, malah mewarisi sikap dan bertransformasi menjadi singa sepenuhnya, balik menindas kawanan hewan lain.

*Pemimpin Redaksi 2017/2018 UAPKM UB

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.