Berbagi Popularitas di Dunia Maya
Oleh Khoyrudin*
Apabila orang tahu mengenai Seno Gumira Aji (SGA) pasti tahu tokoh karangan terkenalnya “Sukab”. Sukab telah menjelma bagaikan seorang artis yang sering muncul dalam karyanya. Sukab telah mewujudkan eksistensinya sendiri kemudian menyusup-nyusup di segala cerita. Begitulah Sukab yang sepertinya ingin populer di dunianya sendiri.
Bukan hanya Sukab, manusia asli pun juga memiliki hasrat tersendiri untuk bereksistensi. Ada yang berusaha lewat jalur langsung dan alami mengikuti kegiatan-kegiatan sosial atau lainnya, jika mahasiswa sebut saja kepanitian. Ada yang sibuk memeras keringat dalam otak dan jari mereka dengan tuts dari papan ketiknya menulis beberapa pendapat yang mewakili atas dirinya di dunia maya.
Dunia maya sudah jadi hal lumrah saat ini, mulai dari anak-anak sampai dewasa hingga gamers sekalipun. Berbagai platform sudah banyak tersedia di internet, mau pilih yang mana saja ada dan tentunya sesuai kebutuhan masing-masing yang intinya dapat menambah eksistensi mereka naik. Sehingga muncul lah banyak tokoh-tokoh terkenal dari media sosial ini. Toh untuk kenal tentang tokoh Habib Rizieq dan Donald Trump seperti apa banyak dibagikan di media sosial kan? Walaupun mereka pengguna media sosial juga, saya tidak tahu.
Jejaring baru ini telah mengajak kita semua berinvestasi untuk popularitas kita semua, atau hanya membantu saja. Karena setiap orang pasti ingin populer pada dasarnya, termasuk saya yang tidak populer juga. Tujuannya pastinya berbebeda-beda, ada yang ingin popularitas semata, ada yang ingin dapat untung dan ada yang ingin jabatan “presiden” impian beberapa anak kecil dulu.
Kenapa ada gamers disini? Karena kalau dilihat di media Youtube, banyak bertebaran video tentang game dari para gamers ini. Entah untuk menambah popularitas dirinya sendiri atau kelompoknya sebut saja Na’vi (Natus Vincere) yang pernah terkenal. Dan bukan hanya gamers saja, penyanyi yang mulai pindah dari media kaset/kepingan menuju dunia maya ini.
Tentunya untuk komunitas juga tidak mau ketinggal baik lingkungan, sosial dan agama atau lainnya dengan mudahnya meraup popularitas dari sini. Bayangkan saja, saat ini dengan uang 500 ribu saja dapat membeli laman web selama setahun, murah sekali. Apalagi dengan media sosial yang tersedia gratis tanpa dipungut biaya apapun. Mudah dan murah.
Kampanye-kampanye komunitas semakin marak dari akun organisasinya sampai pribadi-pribadi anggotanya. Lebih efektif dan hemat energi, jika dulu harus bagi-bagi selebaran dengan keliling. Cukup dari kursi duduknya atau kasur empuk selepas tidur sambil mengetik apa yang mau diinginkan. Tidak perlu kemana-mana. Membuat viral pun mudah sambil nongkrong bersama, teman bisa diajak dengan mudah untuk membagikan ke akun media sosialnya.
Contohnya saja change.org, orang bisa membantu petisi apa yang perlu diperjuangkan di suatu tempat. Lewat media sosial kita juga bisa crowd funding untuk korban bencana alam, sehingga banyak orang peduli. Selain itu, kita juga muda menyalurkan pikiran-pikiran positif yang tidak haya satu atau dua negara tapi seluruh dunia yang terdiri dari berbagai macam bangsa.
Dengan berbagai kemudahan ini tentunya ada tidak bagusnya juga. Tujuan kegiatan aktivis kadang bergeser dari sebagaimana mestinya. Acara dibuat seenaknya saja, tanpa hitung-hitungan manfaatnya yang penting foto acara yang bagus diunggah di laman web atau media sosial dan selesai. Komunitas jadi terkenal, bisa dapat sponsor banyak dan menang dari komunitas yang sejenis. Apalagi jika hanya berkutat pada media sosial, perlu juga olahraga karena takut obesitas.
Dunia maya telah menjadi dunia peraduan. Bisa juga saling menindas satu dan lainnya seolah merasa yang paling baik. Berlomba agar akunnya dipenuhi oleh tulisan, gambar atau bahkan video. Dan secara tak sadar salah satu komunitas telah terdiskreditkan, dan kemudian pemenang akan merasa bangga bahwa mereka paling populer.
Apakah tujuan mereka sudah bergeser dari orientasinya menuju dunia populer? Mungkin saja mereka diciptakan agar populer, bukan yang lain. Biarkanlah mereka tetap populer walaupun manfaat bagi sekitarnya nol persen.
Berbicara tentang media sosial pastinya sudah kenal betul dengan istilah buzzer, pemilik akun media sosial yang pengikutnya banyak. Buzzer adalah orang paling baik hati dan jahat di media sosial karena mau berbagi popularitasnya untuk orang lain, tapi tentunya pakai uang. Ada yang buat iklan produk dan ada yang menonjolkan salah satu tokoh, kemudian menjelekkan yang lainnya.
Buzzer bisa mejadi seorang fanatik yang menyebalkan di media sosial yang isinya menjunjung-junjung tinggi seseorang dan menghinakan pendukung fanatik lain. Bisa jadi inilah anti fanatik fanatik club.
Populer itu boleh karena kebutuhan paling tidak kita saling menghargai sesama orang yang ingin populer. Karena sependapat bisa saja membentuk komunitas populer yang bahu-membahu bersama dan populer bersama. Dunia maya milik bersama bukan milik para fanatik yang tidak mau berbagi, itu namanya pelit.
*Pemburu Belalang