Kolom : Kebebasan yang Terpenjara

0

Oleh Fadrin Fadhlan Bya*

Tepat 68 tahun lalu, Negara Indonesia lahir dan diproklamirkan ke dunia Internasional. Diproklamirkan langsung oleh Soekarno-Hatta yang mewakili rakyat Indonesia, Republik Indonesia berhasil membebaskan diri dari imperialisme negara lain. Sejak saat itu, republik ini memperoleh kebebasannya, bebas menentukan nasib sendiri tanpa didikte negara lain.

Namun apakah kebebasan menentukan nasib sendiri itu masih kita rasakan saat ini? Sepertinya perlu kita pikirkan lagi makna kebebasan menetukan nasib sendiri pada masa sekarang setelah merdeka 68 tahun yang lalu. Saat ini sepintas kita memang telah terbebas dari penjajahan fisik, tapi apakah benar seperti itu? Jangankan menentukan nasib Republik ini, bebas menentukan nasib diri sendiri sebagai individu yang merdeka saja masih belum bisa.

Saya mencoba mengambil analogi seorang narapidana. Narapidana yang terpenjara oleh dinding berbatu. Kebebasannya terampas oleh negara, akibat tindakannya yang katanya menggangu stabilitas politik, ekonomi, social dan budaya. Namun, tidaklah mengapa fisik terpenjara asalken pikiran bebas berkeliaran. Mohammad Hatta, pernah berujar “Biarkanlah aku terpenjara asal ditemani buku” melalui buku pikiran Mohammad Hatta dapat bebas mencerna dan meresapi para pemikir dunia. Dari balik jeruji penjara, Bung Hatta menulis dan berhasil membebaskan gagasan-gagasannya ke dunia luar.

Satu contoh lagi, seorang yang sering menghabiskan hidupnya sering di balik terali besi namun mampu membebaskan gagasan-gagasannya ke seluruh
dunia. Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang dan penulis yang berkali-kali dipenjara dan diasingkan oleh semua rezim di Indonesia. Mulai dari Belanda, Soekarno, hingga Soeharto pernah memenjarakan Pram. Suatu kali, ketika gejolak tahun 65, Pram diasingkan ke Pulau Buru bersama tahanan lain tanpa pernah diadili sekalipun. Tak cukup sampai situ, koleksi-koleksi arsip dan perpustakaanya yang merupakan sumber data bagi karya-karya Pram dimusnahkan oleh rezim Soeharto. Namun berkat tekadnya yang kuat dan ketajaman ingatannya, Pram tak patah semangat. Selama di pengasingan Pulau Buru, Pram terus berkarya dan menghasilkan karya monumentalnya, Tetralogi Buru yang sangat dihargai di dunia sastra.

Berbeda dengan masyarakat modern sekarang fisiknya boleh bebas tetapi pikiran mereka telah terpenjara. Pola pikir mayoritas masyarakat sekarang terasa seragam dan terkontrol. Menuhankan yang namanya rutinitas dan sangat mengejar status “normal’ agar seragam dengan yang lainnya. Jika berpikir dan bertindak di luar “normal” maka dianggap mengganggu ketertiban umum, tak sesuai moral etika, dan melanggar hukum.
Sistem (ekonomi, pendidikan, politik, hukum) modern lah yang membuat mereka tunduk, kebebasan sebagai individu merdeka dikekang. Keseragaman terjadi di mana-mana. Saat ini tersedia berbagai macam fasilitas dan kemudahan (teknologi) bagi manusia tetapi nyatanya banyak manusia terpenjara oleh kemudahan-kemudahan tersebut.

Penggusuran ruang terbuka public diganti dengan penjara-penjara model baru bernama gedung perkantoran, mall, atau gedung perkuliahan di mana orang-orang harus merogoh kocek hanya untuk bisa masuk ke dalamnya. Ruang terbuka cuma-cuma untuk publik, tempat masyarakat bertukar gagasan, membicarakan keburukan dan kekurangan pemerintah, ataupun tempat mengekspresikan aspirasi mereka, seakan menjadi momok pemerintah kota. Masyarakat modern sekarang dipaksa memilih untuk menetap di penjara model mana yang ia sukai mall, bank, universitas, masjid atau bahkan Lembaga Pemasyarakatan

Tidak ada lagi kebebasan bagi masyarakat untuk memilih apa yang ingin dilakukan agar bermanfaat bagi orang lain. Yang ada hanya pilihan supaya diri bermanfaat bagi atasan, sebuah mental Inlander warisan colonial Belanda yang masih terpelihara hingga kini.

Bukannya bermaksud membandingkan keadaan masyarakat saat ini dengan masyarakat era 40an dan 50an di Indonesia. Kedua masyarakat beda zaman itu memang berada di situasi dan kondisi yang berbeda jauh, tapi terkadang romantisme sejarah diperlukan sebagai pelengkap untuk meganalisis di mana terjadi kerapuhan terhadap kebebasan saat ini. Masyarakat era 40 hingga 50an dengan kondisi teknologi komunikasi tidak secanggih saat ini, terbukti mampu menghasilkan berbagai gagasan untuk memajukan bangsa mulai dari yang sangat kiri hingga kanan pernah mewarnai wacana kebangsaan negeri ini. Sangat berbeda kondisi masyarakat saat ini, berlimpah teknologi tapi miskin akan gagasan.

Saya berharap kalian para mahasiswa baru, bukanlah narapidana-narapidana baru yang dipenjarakan oleh institusi bernama Universitas Brawijaya. Usia kalian sangat disayangkan jika hanya dihabiskan oleh kegiatan kuliah. Kuliah hanyalah urusan akademik, tetapi mencari ilmu bisa di mana saja, bisa di Gunung, warung Kopi, Pantai, Bioskop, toko buku, bahkan WC sekalipun. Tetapi yang terpenting dari semua itu adalah, bebaskanlah pemikiran kalian.

*Pemimpin Umum UAPKM-UB 2012/2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.