DEMOKRASI JADI TAHI DI BAWAH KAKI POLISI DAN TNI

Kami mengutuk keras segala bentuk represi yang dilakukan aparat penegak hukum kepada masyarakat sipil!
Demokrasi telah menjadi tahi. Aksi unjuk rasa—hak fundamental yang dijamin undang-undang—tak ada harganya lagi. Kebebasan berekspresi dan menyuarakan pendapat dalam wujud demonstrasi kembali diludahi. Negara kian represif. Ia gagal total memenuhi hak-hak warganya sendiri. Dan kaki tangan represifitas negara berwujud polisi serta TNI adalah pembangkang konstitusi.
Minggu, 23 Maret 2025, aksi demonstrasi menentang pengesahan RUU TNI di depan gedung DPRD Kota Malang mencatatkan kekejaman yang tak bisa dimaafkan. Polisi dan TNI—yang harusnya melindungi massa aksi untuk menyampaikan aspirasi—justru menjelma instrumen penindasan yang sistematis dan brutal. Mereka membabi-buta. Menindas masyarakat sipil tanpa pandang bulu: massa aksi, jurnalis, bahkan tim medis; tak luput dari pentungan serta pukulan polisi dan TNI.
Rekapitulasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang menyebutkan puluhan orang terluka dan enam orang harus dilarikan ke rumah sakit imbas keberingasan polisi dan TNI. Lebih dari itu, mereka juga menyita belasan kendaraan bermotor massa aksi dan setidaknya menangkap tiga orang. Alih-alih cukup sampai di situ, polisi dan TNI bahkan menyisir titik kumpul massa aksi yang telah kocar-kacir.
Apa yang terjadi di Kota Malang jelas tak bisa disingkirkan sebagai insiden terisolasi. Kekerasan polisi dan TNI adalah manifestasi dari ketidakpahaman aparat soal esensi demokrasi. Mereka gagal paham soal demonstrasi sebagai ruang dialog dan kritik yang konstruktif. Maka, apa yang sudah dilakukan polisi dan TNI di Malang bukan hanya telah mengkhianati konstitusi, tetapi juga menunjukkan bahwa mereka tak main-main untuk membunuh semangat demokrasi dengan cara-cara yang otoriter.
Lebih jauh lagi, tindakan represif polisi dan TNI sekaligus menjadi bukti nyata bahwa mereka tak pernah benar-benar menjalankan tugas pokok dan fungsi instansi: melindungi, mengayomi, dan menjaga ketertiban masyarakat. Yang mereka jalankan adalah murni komando atasan. Polisi dan TNI tak ubahnya seekor anjing yang penurut: tak akan segan untuk menggigit siapa pun sesuai perintah komandan.
Berbagai tindakan kekerasan yang terjadi mengisyaratkan bahwa sebutan aparat penegak hukum sudah tak pantas lagi untuk disematkan kepada polisi dan TNI. Mereka sama sekali tak menegakkan hukum. Sebaliknya, merekalah yang justru turut melemahkan hukum itu sendiri. Mereka menindas masyarakat dengan privilese kebal hukum. Maka, tak salah untuk menyebut polisi dan TNI sebagai alat pukul berseragam yang dipersenjatai oleh negara.
Bila masih punya nurani, institusi Polri dan TNI sudah semestinya segera melakukan evaluasi dan berbenah diri. Sebab, tak sekali dua kali mereka melakukan tindakan represi kepada masyarakat sipil yang tak bersenjata. Pemerintah dan lembaga pengawas pun turut punya andil besar dalam hal ini. Mereka harus menyelidiki dan mengadili para polisi dan TNI yang terbukti melakukan kekerasan. Tanpa adanya akuntabilitas, demokrasi akan menemui ajalnya dan kekerasan aparat serta impunitas akan semakin merajalela.
Sudah saatnya bagi kita, lagi setelah ratusan kali, untuk kembali membusungkan dada, lalu tegak dan menyatakan sikap penolakan keras atas segala bentuk penindasan. Juga memastikan bahwa tindakan represif aparat tak menguap begitu saja. Demokrasi adalah milik rakyat dan hak untuk menyuarakan pendapat adalah jantung dari kebebasan itu sendiri. Masyarakat berhak mendapatkan perlindungan, bukan penindasan; hak untuk bersuara, bukan dibungkam oleh kekerasan yang otoriter. Maka, kita harus memaksa agar aparat penegak hukum kembali ke jalur semestinya: menjadi pelindung yang menjunjung tinggi keadilan. Sebab bila aparat penegak hukum tak mampu berada pada kodratnya, maka tak ada yang lebih baik selain membubarkannya.
Redaksi Kavling10