Baliho Penuh Foto: Antara Eksistensi dan Narsisme
Seakan menjadi tradisi, pasca penerimaan mahasiswa baru suasana kampus diramaikan oleh open reqruitment organisasi-organisasi mahasiswa, baik intra maupun ekstra, himpunan, eksekutif, maupun Unit Kegiatan Mahasiswa(UKM). Ditengah euforia tersebut, ada satu hal yang mengganggu, banner-banner dan spanduk-spanduk bergambarkan foto anggota eksekutif, dewan perwakilan, dan himpunan jurusan.
Diatasnya tertulis “Selamat Datang Mahasiswa Baru” kemudian dibawah terpampang foto anggota lembaga tersebut. Jika baliho dan spanduk tersebut adalah publikasi atau himbauan, tujuannya jelas: untuk sosialisasi. Tetapi yang berisi foto, masih harus dipertanyakan tujuannya.
Adalah hal yang ironis ketika mahasiswa yang melakukan aksi, mengkritisi pemerintah, perusakan lingkungan, bahkan mengkritisi spanduk-spanduk dan baliho para politisi, dan segala hal di luar kampus justru melakukan hal yang serupa di dalam kampus mereka sendiri. Dari segi pendanaan, jika pengadaan baliho dan spanduk-spanduk ini dibiayai rektorat tentu saja saya sebagai mahasiswa yang juga membayar biaya kuliah merasa tidak terima uang yang dibayar mahasiswa digunakan untuk narsisme dari sebagian pihak. Andaipun mereka menggunakan dana pribadi, publik tetap saja dirugikan. Dari segi keindahan lingkungan, hal ini sangat mengganggu karena mengotori lingkungan. Lantas apa bedanya dengan aksi vandalisme?
Salah seorang teman nyeletuk, “Masih mending kalo yang dipajang cantik, lah ini?” bukan maksud mengejek. Boleh saja kita berprasangka baik bahwa tujuannya adalah memperkenalkan anggota lembaga tersebut kepada mahasiswa baru. Pertanyaan disini, seberapa pentingkah mengenal anggota lembaga secara penampakan fisik? Ataukah hanya menunjukkan keinginan pribadi para anggota lembaga itu sendiri: ingin diakui oleh lingkungannya?
Eksistensi dan Narsisme
Istilah narsis dan eksis mulai merebak beberapa tahun terakhir. Narsis, mengacu pada narsisme (di KBBI tidak ada kata sifat ataupun kata kerja narsis) yang menurut Sigmund Freud berarti mencintai diri sendiri secara berlebihan atau mempunyai kecenderungan seksual dengan diri sendiri. Hal ini dapat dipahami bahwa seseorang melakukan kegiatan narsis demi kepuasan dirinya sendiri secara berlebihan.
Sedangkan eksistensi (yang berasal dari kata eks = di luar, dan sistensi/sisto yang berarti berdiri, menempati) memiliki makna berdiri sebagai diri sendiri sekaligus keluar dari dirinya (KBBI: hal berada, keberadaan). Dapat disimpulkan narsisme merupakan bentuk negatif dari eksistensi.
Sifat dasar manusia adalah untuk diakui oleh lingkungan sosial sekitarnya. Yang membedakan adalah cara setiap individu dalam menunjukkan eksistensinya. Tujuan pemasangan baliho dan spanduk dengan foto diri ini sebenarnya sederhana, memperkenalkan anggota dari suatu lembaga. Dengan kata lain menunjukkan eksistensi anggotanya. Hanya saja cara yang berlebihan membuat mereka menjadi narsisme.
Dalam hal ini, mahasiswa sebagai akademisi seharusnya mampu menunjukkan eksistensi dengan cara yang bermartabat dan bermanfaat yang merupakan refleksi dari tridarma perguruan tinggi; pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Merupakan hal yang memalukan saat mahasiswa, apalagi aktivis kampus yang berpedoman pada tridarma perguruan tinggi menunjukkan narsisme terhadap mahasiswa baru.
Hemat saya, isi baliho atau spanduk cukup bertuliskan selamat datang kepada mahasiswa baru. Dengan begitu mahasiswa baru merasa dihargai dan disambut kedatangannya. Jika masih ada narsisme foto diri di baliho, jangan salahkan saat ada mahasiswa baru menunjuk wajah-wajah pada foto di baliho sambil berkata,”Wah, orang narsis!”
Oleh Rizqi Nurhuda Ramadhani
Penggiat Kavling10