NAME-TAG KAMI, HUKUMAN KALIAN

MALANG-KAV.10 Suasana Perpustakaan Universitas Brawijaya siang itu (2/10) ramai oleh kerumunan mahasiswa yang mengunjungi bazar buku di area depan. Di tengah, seorang gadis menyapa dari belakang sambil menggenggam tanda pengenal di tangannya.
“Aku Sasa [bukan nama sebenarnya], angkatan 2025,” katanya dengan senyum gugup.
Ia masih mengenakan batik berwarna cokelat—dress code ospek Fakultas Pertanian (FP) yang wajib dipakai setiap Jumat. Setelah memperkenalkan diri, Sasa mulai bercerita tentang hari-harinya sebagai mahasiswa baru yang melewati masa orientasi panjang.
Rangkaian OSPEK Fakultas Pertanian
Ia menunjukkan tanda pengenal (name tag) di genggamannya. “Jadi, bisa dibilang tanda pengenal ini seperti harta kita. Kalau sampai hilang atau ketinggalan, bisa langsung kena strata,” ucapnya memulai perbincangan.
Strata. Begitu mereka menyebut sistem hukuman berjenjang bagi peserta ospek. Semacam penanda tingkat pelanggaran selama masa ospek. Levelnya ada empat: strata satu berarti harus menulis esai, strata dua membuat video, strata tiga menyusun infografis, dan strata empat, hukuman tertinggi harus mengulang seluruh rangkaian ospek dari awal. Sasa mengaku setiap mahasiswa baru diwajibkan membawa tanda pengenal ke mana pun mereka pergi.
Beberapa minggu setelah masa ospek berjalan, Sasa bercerita tentang satu pengalaman yang paling ia ingat. Suatu sore di akhir perkuliahan.
“Waktu itu [selepas perkuliahan] kami dipanggil per kelompok,” katanya sambil mengingat. “Satu fakultas dibagi sepuluh kelompok, masing-masing sekitar empat puluh orang. Aku di kelompok dua.”
Setelah kuliah sore berakhir sekitar pukul 16.45, mereka diminta berkumpul di Gedung GS Belakang. Satu per satu kelompok masuk.
Koordinator lapangan atau korlap di dalam ospek Fakultas Pertanian sendiri disebut DISMA (Disiplin Mahasiswa). “Kayak biasanya DISMA aja gimana, sih? Mereka marah-marah,” lanjutnya.
Sasa masih ingat, waktu itu area di sekitarnya ditutupi oleh kain hitam. “Menurut aku [tutup kain hitam] enggak ada gunanya. Fungsinya itu buat apa? Toh, suara kalian juga keluar,” paparnya dengan raut muka yang menggebu.
Mahasiswa baru (MABA) dianggap kurang sopan dan tidak tertib, melanggar sejumlah aturan kecil seperti tanda pengenal yang terbalik atau tertinggal. Padahal, tidak semua kesalahan lahir dari kelalaian pribadi; ada hal-hal lain yang kadang berada di luar kendali mereka.
“Makanya kita dimarahin sampai maghrib,” sambungnya.
Isu batas panjang rambut juga sempat ramai dibicarakan di menfess UB. Aturan itu menyebutkan bahwa mahasiswa laki-laki harus memotong rambut tidak lebih dari tiga sentimeter.
“Katanya, angkatan tahun-tahun sebelumnya sempat menolak aturan itu,” ceritanya. “Mereka menganggap potong rambut tiga sentimeter itu bentuk perpeloncoan, jadi banyak yang nolak. Akhirnya waktu itu [mahasiswa baru laki-laki] diizinkan untuk tidak potong rambut.”
Namun tahun ini, aturan tersebut kembali diberlakukan. Kalau tidak dilaksanakan, mereka bisa mendapatkan strata.
Menurut cerita yang beredar di kalangan mereka, alasan aturan itu adalah sebagai tanda pengenal antara mahasiswa baru dan mahasiswa lama.
“Kata panitia, itu identitas kami sebagai MABA,” ujarnya. “Biar DISMA gak sungkan negur, karena dulu waktu rambutnya bebas, susah bedain mana MABA, mana kakak tingkat.”
Namun bagi Sasa, alasan itu terdengar berlebihan. “Padahal kami sudah punya tanda pengenal. Dari situ aja udah kelihatan siapa yang MABA,” katanya sambil memainkan tanda pengenal di tangannya. “Kalau misalnya gak pakai, pun, dari dress code-nya udah ketahuan,” protesnya.
Ia bercerita, banyak mahasiswa laki-laki sempat ingin memberontak. Tapi dorongan dari kambing (kakak pembimbing) membuat mereka memilih diam. “Awalnya mau protes, tapi kakak pembimbing bilang ikutin aja, jangan ada yang melawan. Akhirnya, ya, semua nurut. Gak ada yang berani ngomong lagi.”
Suara Lantang dalam Tiap Kegiatan
Setiap kali ada kegiatan ospek, suasananya hampir selalu sama. Begitu melewati gerbang entah dari arah mana pun, mahasiswa baru sudah disambut suara lantang para koordinator lapangan.
“Dipercepat!” teriak DISMA, meminta barisan segera dibentuk. Sasa mengingat jelas bagaimana tubuh-tubuh MABA segera berjejer rapi, hingga terbentuk barisan laki-laki dan perempuan yang terpisah.
Tak lama, korlap membagikan plastik kresek yang harus dibawa setiap peserta. “Plastik itu ditulisi nama dan nomor kelompok,” kenang Sasa. “Terus semua barang penting kayak dompet, kunci kos, HP, semuanya harus dimasukin ke situ. Barang-barang yang gak sesuai penugasan juga harus ditaruh di sana.”
Tak berhenti di situ, para mahasiswa juga diminta saling mengukur panjang rambut satu sama lain di bawah pengawasan korlap. “Diukur sama temannya sendiri, tapi tetap dilihatin sama korlap,” katanya.
Sasa menatap jauh, seolah mengulang adegan itu di kepalanya. “Enggak sampai dipotong sih. Tapi tanda pengenalnya langsung diambil,” terangnya. Mereka yang diambil tanda pengenalnya terancam akan terkena strata.
Setiap minggu selama masa ospek, mahasiswa baru Fakultas Pertanian sudah benar-benar harus menghafalkan urutan pakaian yang harus mereka kenakan. Senin dan Selasa mereka mengenakan seragam “Oreo”—kombinasi putih dan hitam serta sepatu bebas. Rabu dan Kamis mereka harus memakai kemeja dengan rok wiru, sementara hari Jumat mereka harus memakai batik, dilengkapi sepatu pantofel.
“Kalau pakai Oreo itu kelihatan banget kayak maba ospek,” katanya pelan. “Orang-orang suka ngeliatin. Katanya bukan perpeloncoan, tapi kalau dilihat dari luar, kesannya tetap begitu,” jelasnya dengan sorot mata yang terlihat lelah.
Di tengah jadwal kuliah yang padat, Sasa harus menghadapi satu dilema yang tak kalah berat yaitu menyeimbangkan antara tugas ospek dengan tugas akademik. “Kita tuh dihadapkan antara tugas ospek yang banyak sama tugas kuliah,” katanya dilema. “Kalau disuruh milih, ya pasti prioritasnya kuliah. Tapi tugas ospek tuh rasanya mendesak banget, kayak harus segera dikerjain.”
Salah satu tugas yang paling membebaninya adalah kewajiban mengumpulkan 15 sertifikat webinar sebelum inaugurasi–acara puncak orientasi mahasiswa baru. “Harus lima belas, dan sebagian besar harus dari Fakultas Pertanian,” ujarnya. “Kalau gak ada, baru boleh dari UB. Gak boleh dari luar kampus.”
Ia mengaku baru berhasil mengumpulkan lima sertifikat sejauh ini. “Masalahnya, seminar FP itu gak setiap hari ada. Jadi susah banget ngejar targetnya. Belum lagi beberapa webinar itu berbayar. Aku sih anti yang berbayar, jadi ya, cari yang gratisan. Pernah sampai ikut webinar di FH, padahal gak ngerti itu bahas apa, yang penting dapet sertifikat,” tuturnya panjang lebar.
Sasa sempat mendengar kabar bahwa jumlah sertifikat itu sebenarnya tidak harus lima belas, tergantung panitia masing-masing.
“Katanya [kabar-kabar burung] tiap pembimbing atau SPV ada yang memperbolehkan hanya tujuh aja, ada yang lima juga gak masalah. Tapi gak tahu juga yang bener yang mana,” ujarnya. “Yang jelas, lima belas itu bukan angka yang kecil,” akunya.
Tradisi Turun Temurun
Nina [Bukan nama sebenarnya] masih ingat betul masa ospek pertamanya sebagai mahasiswa baru angkatan 2022 di Fakultas Pertanian. Tahun itu menjadi titik balik setelah dua tahun pandemi, kegiatan orientasi akhirnya kembali digelar secara luring.
“Angkatanku tuh yang pertama kali ngerasain ospek offline lagi setelah COVID,” ujarnya. “Panitia yang ngospek kita waktu itu banyak yang dulu ospeknya online. Jadi mereka kayak ngebalikin lagi ke setelan-setelan FP yang dulu, yang katanya garang,” terangnya.
Namun yang paling membekas baginya adalah aturan potong rambut. Di angkatannya, semua mahasiswa laki-laki harus botak sesuai ketentuan ospek fakultas.
“Tahun setelahku, aturan itu sempat dihapus. Cowok-cowok gak perlu botak lagi. Tapi tahun ini, entah kenapa kok jadi penurunan. Walau gak botak total, tapi rambutnya gak boleh lebih dari tiga sentimeter,” tuturnya.
Nina juga masih ingat, dulu ia sempat diberi doktrin tentang alasan di balik dress code hitam putih yang wajib dikenakan di awal masa ospek. “Katanya, itu pembiasaan buat ujian skripsi nanti,” ujarnya sambil tertawa kecil. “Biar nanti kalau udah semester akhir gak kaget pakai pakaian resmi seharian.”
Ia mengenang bagaimana hampir setiap hari harus mengenakan rok hitam yang sama. “Rasanya rok hitamku tuh gak sempat kering,” katanya sambil tersenyum. “Dipakai terus, dicuci, dijemur, besok dipakai lagi.”
Sementara itu, Caca [Bukan nama sebenarnya] mahasiswi angkatan 2023 di Fakultas Pertanian mengaku jika di tahunnya, aturan potong rambut untuk mahasiswa laki-laki masih lebih ketat dibanding sekarang.
“Kalau tahun ini kan cuma tiga sentimeter. Tapi waktu angkatanku, masih satu sampai dua sentimeter,” paparnya.
Caca, sebagaimana Sasa bercerita bahwa aturan itu juga sempat menimbulkan banyak protes dari mahasiswa baru laki-laki. “Banyak yang nanya, kenapa sih harus segitu? Kita kan bukan anak teknik,” katanya. “Menurut mereka, potongan rambut itu gak ada hubungannya sama akademik. Jadi buat apa?” lanjutnya menggebu-gebu.
Ospek di Fakultas Pertanian, dalam berbagai bentuk dan aturannya, tampak tak begitu berubah dari tahun ke tahunnya. Namun di balik setiap aturan dan simbol yang diwariskan, ada pola yang berulang; mahasiswa baru selalu mempertanyakan berbagai rupa aturan kedisiplinan yang tidak berhubungan dengan kegiatan akademi. Mereka punya keberatan yang sama terhadap hal-hal yang dianggap tidak masuk akal.
Penulis: Fenita Salsabila
Kontributor: R. AJ. Afra Aurelia
Editor: Mohammad Rafi Azzamy