MEMBAYANGKAN OSPEK TANPA KORLAP

0
Paradiesgärtlein karya Upper Rhenish Master

Sampai hari ini, keberadaan divisi koordinator lapangan (korlap) masih kita jumpai dalam ospek-ospek di universitas. Seringkali, alasan yang digunakan untuk mempertahankan keberadaannya adalah kebutuhan untuk mendisiplinkan mahasiswa baru. Selaras dengan nama yang mereka pakai, tugas korlap memang menjaga agar rangkaian ospek bisa berjalan dengan tenang dan kondusif. Namun, terdapat persepsi di kalangan sivitas akademika bahwa korlap ini merupakan divisi yang sadis, suka membentak, bahkan cenderung militeristik. 

Karena alasan itu, saya pikir perlu untuk mempertanyakan urgensi hadirnya korlap ini dalam pelaksanaan ospek. Apalagi di tengah naiknya isu tentang militer masuk kampus, tentunya kampus harus mensterilkan lingkungannya dari budaya-budaya militeristik. Dalam beberapa waktu sebelumnya, kita pernah mendengar teriakan lantang dari mahasiswa yang menolak adanya militer yang masuk dalam ruang-ruang kampus. Namun, apakah adil jika kita menyuarakan hal itu, sedangkan praktik-praktik militer sendiri masih kita rawat sebagai tradisi leluhur yang tidak bisa dihilangkan?

Dalam esai ini, saya ingin sedikit mengulas apa urgensi hadirnya korlap dalam rangkaian acara PKKMB, dan apa yang terjadi jika korlap dihilangkan. Untuk itu, saya ingin membingkai pembahasan saya pada tradisi ospek pada umumnya, seperti wajib bangun pagi dan memakai baju hitam putih; dan bagaimana panitia mengatur hal tersebut tanpa hadirnya korlap. Saya tidak akan membahas efektivitas peraturan tersebut dalam tujuannya mendisiplinkan mahasiswa baru, karena pembahasan itu berada di ranah yang lain. Namun di akhir tulisan, saya akan memaparkan permasalahan mengenai eksistensi korlap dalam pelaksanaan ospek, karena sejauh pengamatan saya, eksistensi korlap ini tidak hanya menimbulkan luka bagi mahasiswa baru, melainkan korlap sendiri juga terkena imbasnya. 

Mekanisme Ospek Tanpa Korlap

Untuk memulai pembahasan, saya perlu memaparkan beberapa tugas yang dipegang oleh korlap. Saya telah membaca satu dokumen dari kepanitiaan ospek jurusan saya yang berisi tugas-tugas tersebut. Daftar tugasnya adalah sebagai berikut: 1. Membuat peraturan untuk panitia dan peserta program binaan (probin), 2. Mengkondisikan panitia, peserta, dan pihak yang terlibat selama rangkaian probin, 3. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran selama rangkaian probin, 4. Bertanggung jawab atas mobilisasi peserta dari awal kedatangan hingga kepulangan, 5. Bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban probin. 

Apabila korlap dihapus, maka tugas-tugas yang tertera sebelumnya akan hilang, atau mungkin dialihkan ke divisi lain dalam porsi yang lebih kecil. Di sini, saya mencoba untuk mengalihkan tugas korlap dengan memaksimalkan fungsi fasilitator, tentunya dengan cara-cara pendampingan ala fasilitator. Nah, jika hal itu terjadi, apa yang akan terjadi dalam pelaksanaan ospek bagi mahasiswa baru? Mari kita urutkan mulai dari kedatangan maba ke kampus sampai kepulangan maba.

Pagi-pagi sekali, ketika maba berbondong-bondong datang ke kampus, biasanya sudah terdapat beberapa korlap yang menunggu di depan gerbang. Sesuai dengan tugas mereka untuk memobilisasi peserta, para korlap akan memerintahkan maba untuk berbaris dan mengikuti instruksi yang mereka berikan. Jika korlap dihapuskan, maka proses ini tidak terjadi. Para maba bisa langsung masuk ke venue, tanpa berbaris dan diteriaki, sekaligus mendapatkan sambutan hangat dari para fasilitator. 

Sesampainya di venue, para maba akan segera berkumpul dengan fasilitator masing-masing. Tanpa adanya korlap, para fasilitator inilah yang nantinya akan menertibkan maba selama acara. Tentu mereka tidak menggunakan cara-cara korlap untuk menertibkan maba, melainkan dengan tindakan yang lembut dan inklusif ala fasilitator.

Selama acara berlangsung, biasanya korlap lah yang menjadi tonggak penertiban acara. Ketika ada maba yang menurut korlap tidak kondusif, maka mereka segera menindaknya atau mencatatnya dalam buku pelanggaran. Ketika ada maba yang berkepentingan untuk beranjak dari tempat duduk, mereka menjadi pintu utama untuk memberikan izin. Ketika korlap ditiadakan, maka kondisi-kondisi semacam itu menjadi hilang. Di kondisi semacam ini, tugas-tugas pendampingan maba bisa dialihkan ke fasilitator tanpa menggunakan cara-cara korlap sama sekali.

Terakhir, ketika acara hampir mencapai ujung, biasanya ada waktu bagi korlap untuk memimpin evaluasi para maba. Saat itulah, tugas para korlap untuk memberikan sanksi dilaksanakan. Mereka akan memanggil nama-nama maba yang melanggar, mengumpulkannya dalam satu tempat, kemudian menanyai mereka dengan nada-nada yang mengintimidasi. Bahkan, dalam kasus seperti yang terjadi di PKKMB FIA, terdapat penampilan “DOSA BESAR MABA” yang beberapa di antaranya mempermalukan wajah maba tanpa sensor. Setelah puas mengintimidasi maba, para korlap biasanya akan memberikan tugas yang bahkan lebih sulit dari tugas kuliah sekalipun, biasanya menulis beberapa halaman esai menggunakan tangan dengan batas waktu pengumpulan yang singkat. 

Apabila korlap dihapuskan, tentu pemberian sanksi dengan cara semacam itu tidak ada. Di akhir acara ospek, maba tak perlu mendengar ceramah para korlap tentang standar kedisiplinan yang mereka buat sendiri. Maba bisa pulang dengan sambutan meriah dari para fasilitator yang bertugas. Dan terkait pemberian sanksi pada para maba yang melanggar, tugas itu bisa dilakukan oleh fasilitator atau panitia lain yang terkait tanpa menggunakan cara-cara korlap.

Lalu, Bagaimana dengan Kedisiplinan?

Saya paham bahwa kondisi-kondisi di atas mungkin menimbulkan perasaan skeptis bagi banyak pihak. Pikiran skeptis seperti “nanti mobilisasinya kacau” atau “nanti mahasiswa barunya tidak disiplin” pasti banyak berseliweran. Dan mungkin memang benar. Ketika tidak ada korlap, maba bisa saja bangun terlambat karena tidak ada pihak yang membatasinya. Maba juga mungkin tidak bisa benar-benar kondusif saat rangkaian acara berlangsung. Maba juga mungkin tidak akan menaati peraturan yang telah diatur sedemikian rupa oleh panitia. 

Namun, apakah hanya dengan alasan kedisiplinan maba itu menjadikan kita perlu mempertahankan eksistensi korlap? Bagaimana dengan banyaknya korban kekerasan yang lahir karena eksistensi korlap tetap dipertahankan? Mahasiswa baru, misalnya. Mereka yang berniat masuk kuliah untuk menuntut ilmu malah disuguhi kekerasan yang traumatik di langkah awal menjejakkan kaki di kampus. Mereka yang ingin bebas berekspresi di kampus malah diseragamkan oleh panitia ospek. Mereka yang ingin mencari banyak relasi malah dibatasi dengan bentakan-bentakan yang diberikan korlap pada mereka. 

Dan semua hal itu bukan omong kosong, saya pikir. Baru-baru ini, banyak sambatan yang mencuat di akun X menfess UB terkait ospek yang memberatkan. Bahkan, salah satu dari mereka merasa ingin bunuh diri karena beratnya rangkaian ospek yang mereka jalani. Terlepas dari siapa yang mengirimkan sambatan tersebut, apakah hal-hal semacam itu belum cukup membuat korlap harus dihilangkan? Apakah isu terkait kesehatan mental belum sampai ke para panitia ospek?

Dan jika ditelisik lebih lanjut, sebenarnya tak hanya maba yang merasakan kekerasan tersebut, melainkan sesama korlap sendiri juga merasakannya. Saya pernah mendengar sendiri saat latihan korlap di FISIP UB, terdengar suara-suara membentak yang diikuti oleh kata-kata yang tidak mengenakkan. Uniknya, saya melihat hal itu sudah dinormalisasi dalam latihan-latihan korlap. Mungkin dalam tingkat tongkrongan, hal-hal seperti itu bisa diwajarkan menurut kebiasaan yang mereka anut. Namun, kampus bukanlah tongkrongan. Dan jika hal-hal tersebut masih dinormalisasi, maka eksistensi korlap telah mendehumanisasi manusia menjadi robot tak berperasaan—mungkin memang itu tujuannya, sebab salah satu tugas spesifik korlap dalam dokumen yang saya baca adalah “mampu bekerja di bawah tekanan”. Pertanyaan saya adalah apakah patut bagi universitas yang seharusnya menjadi corong bagi inklusivitas malah menormalisasi hal tersebut?

Selain itu, banyak peraturan-peraturan korlap lain yang menjadikan mereka eksklusif dan nampak seperti kerumunan orang-orang lupa di lagu FSTVLST. Mereka diharuskan menggunakan nama samaran, tidak boleh menggunakan lift saat hari aktif, tidak boleh berada di tempat umum yang terdapat banyak maba, tidak boleh bersosialisasi dengan maba, bahkan harus bersikap ketus saat ada maba lewat. Saya pikir, kenapa hal-hal tersebut perlu dilakukan dalam lingkungan kampus? Ini kampus, bukan barak. Lagipula, alih-alih mengeksklusifkan diri, bukankah sebaiknya para korlap ini bertegur sapa seperti manusia pada umumnya? 

Dari berbagai macam permasalahan tersebut, saya rasa divisi korlap memang harus dihapuskan. Banyak isu yang bisa menjadi alasan kuat untuk menghapus sistem korlap ini. Namun, penghapusan korlap sendiri tidak bisa dilakukan serta merta tanpa mengganti sebagian konsep ospek yang melibatkan korlap. Nah, bagaimana caranya? Esai saya selanjutnya akan membahas kedua hal tersebut.

Penulis: Muhammad Tajul Asrori

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.