GELAR WICARA SEREMONIAL SEPTEMBER HITAM, LBH: POLA PENCULIKAN ‘98 TERULANG KEMBALI

0
Fotografer: Elvaretta Rahma Davina (anggota magang)

Kementerian Pergerakan Eksekutif Mahasiswa (EM) Universitas Brawijaya (UB) menggelar acara Seremonial September Hitam di Gedung Widyaloka UB pada Rabu (1/10). Kegiatan ini menjadi momentum refleksi atas rentetan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang hingga kini masih belum kunjung menemukan keadilannya. Dengan tema “September Hitam & Catatan Kelam Penyelesaian Kasus HAM di Indonesia”, gelar wicara itu menghadirkan sejumlah narasumber.

Acara dibuka dengan sambutan dari Ketua Pelaksana, Steering Commitee, Menteri Koordinator Pergerakan, hingga Wakil Presiden EM UB, Muhammad Ghifari Aulia. Ia menegaskan pentingnya kebersamaan dalam memperjuangkan kebenaran. “Hari ini adalah bukti bahwa kita tidak diam saja, bahwa kita masih bersama, dan bahwa kita masih saling menjaga,” ujar Ghifari dalam sambutannya. 

Acara dilanjutkan dengan penampilan monolog yang turut menandaskan bagaimana Munir Said Thalib, seorang aktivis, tewas di langit Singapura menuju Amsterdam akibat racun arsenik pada 2004. Monolog tersebut mengisahkan bagaimana Munir tewas karena keberaniannya dalam berbicara. Disampaikan juga dalam ekacakap itu mengenai bagaimana keadilan kerap dibungkam, saksi kerap ditekan, dan fakta kerap dipelintir. Dalam narasinya, ia berhasil menggambarkan keresahan akibat banyaknya kejanggalan yang terdapat dalam tragedi tersebut. 

Diskusi publik mengenai catatan kelam penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia menjadi bagian utama pada acara itu. Diskusi tersebut dimoderatori oleh Wildan, salah satu mahasiswa dari Universitas Brawijaya, dengan beberapa narasumber yang turut hadir. Fuad Baihaqi, Presiden BEM KM Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, membuka diskusi publik dengan pendapatnya.”Pemerintah yang seharusnya menjaga hak rakyatnya, justru menjadi pihak yang merenggut hak tersebut,” ujarnya. Ia juga menyoroti ketimpangan hukum dan politik yang masih kerap kali terjadi. “Seharusnya, hukum yang berada di atas politik, tetapi pada kenyataannya justru politiklah yang berada di atas hukum,” lanjutnya. 

Sementara itu, bapak dari aktivis ‘98 Petrus Bima Anugrah yakni Dionysius Utomo Raharjo membawa semangat perjuangan keadilan dengan turut hadir menyuarakan haknya. Dalam diskusi tersebut, ia menyampaikan kisah pilu perjuangannya sebagai keluarga korban. Dengan menunjukkan poster berisi wajah-wajah orang yang hilang dalam tragedi tersebut, ia berteriak lantang, “Selama 27 tahun kami tidak pernah berhenti berjuang.” Selama lebih dari dua dekade, pria paruh baya itu dan keluarga korban lainnya terus mencari keadilan melalui jalur hukum dan sosial, meskipun jawaban belum juga mereka dapatkan.

Wafdul Adif dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pos Malang turut bersuara, ia menekankan pentingnya merawat ingatan kolektif agar publik tidak melupakan tragedi-tragedi, seperti pembunuhan Munir, tragedi Tanjung Priok, tragedi Semanggi II, hingga pembantaian 1965. Ia juga menuturkan pendapatnya mengenai bagaimana negara tampak belum serius dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut. “Alih-alih menyelesaikan di rezim Jokowi, kita tahu bersama, rezim Jokowi melalui Kemenkumham, Bapak Mahfud MD membentuk tim PPHAM [Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu]. Menurutnya, pembentukan peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang penyelesaian non-yudisial justru melukai hati keluarga korban yang sedari lama menuntut pelaku melalui upaya hukum. 

Diskusi semakin mengerucut pada kritik terhadap lemahnya komitmen negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi. Para narasumber menilai, hingga kini pemerintah belum menunjukkan keseriusan dalam mengungkapkan kebenaran. “Selama negara tidak dapat menjamin hak asasi manusia bagi seluruh warganya, aksi seperti September Hitam, Kamisan, maupun aksi-aksi lainnya akan tetap relevan,” tegas Fuad. 

Adif menambahkan bahwa lembaganya turut mengalami kesulitan dalam mendampingi keluarga korban, “Justru ketika suatu lembaga kami desak untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut, mereka menjadi tidak responsif dalam menjawab,” ujarnya. Hal tersebut menjadi alasan utama yang membuat LBH kesusahan untuk mendesak pemerintah atau lembaga negara dalam menuntut hak-hak korban. Salah satu cara yang mereka lakukan untuk menghadapi tantangan tersebut adalah dengan menggunakan media lain dalam memperjuangkan keadilan, mulai dari melakukan diskusi publik, hingga kampanye visual melalui poster, stiker, dan banner untuk terus menyuarakan isu-isu tersebut. 

Adif dan Fuad turut membahas berbagai kasus pelanggaran HAM lain yang masih membekas, seperti kriminalisasi warga sipil, pembunuhan terhadap tokoh agama dan aktivis, hingga penculikan terhadap pihak-pihak yang menolak proyek tambang atau bersuara kritis terhadap pemerintah. Adif juga sepakat bahwa pola kekerasan dan represi negara masih berulang hingga hari ini, mirip dengan pola pelanggaran HAM pada masa lalu. “Pola ‘98 mulai terlihat kembali dan terasa hingga hari ini. Sampai sekarang ada dua kawan kita, yang masih hilang, yang masih belum tahu kabarnya di mana. Sampai hari ini masih dilakukan dan pencarian,” tegasnya. 

Menutup diskusi, Utomo bersama narasumber lainnya menyampaikan harapan dan pesan perjuangan kepada generasi muda. Utomo turut mengapresiasi peran mahasiswa yang terus mengawal isu-isu sosial seperti penyelesaian pelanggaran HAM ini. Sementara itu, Adif menegaskan pentingnya konsistensi gerakan. “Perjuangan kita masih panjang dan tidak berhenti di sini. Suara kita harus terus bergema hingga hak atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan benar-benar terpenuhi,” ujarnya. 

Penulis: Aulia Hasti Zalika Ramadhani (anggota magang)
Kontributor: Zaskia Hermanda Andromeda (anggota magang) & Na’ilatul Najmi Alifsya (anggota magang)
Editor: Badra D. Ahmad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.