GELAR DOA BERSAMA, JSKK KEMBALI SUARAKAN TRAGEDI KANJURUHAN SEBAGAI PELANGGARAN HAM BERAT

Berselang sejak tragedi Kanjuruhan genap di tiga tahun yang lalu, berbagai kelompok kembali berkumpul untuk mengadakan suatu acara peringatan. Inisiatif ini berasal dari berbagai pihak seperti Kamisan, Maiyah Malang Raya, mahasiswa, Gusdurian, JSKK (Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan), dan mengundang masyarakat umum. Dengan mengangkat tema “Solidaritas untuk Kebenaran dan Keadilan”, mereka berkumpul di Rumah Maiyah Al-Manhal Selasa (30/9) lalu. Puluhan peserta bersama-sama mengirimkan doa tahlil dan berdiskusi untuk merefleksikan tiga tahun tragedi Kanjuruhan.
Dipilihnya tema ini juga menjadi refleksi dan pembahasan dalam diskusi di acara ini. Marcel, salah satu peserta, merefleksikan tema acara ini dengan membedah dua kata yaitu “kebenaran” dan “keadilan”. Menurutnya, kebenaran atas tragedi Kanjuruhan sangat penting karena itu dasar pondasi untuk bisa bicara lebih banyak tentang keadilan. “Karena sebagaimana yang kita tahu sampai hari ini aspek kebenaran atas tragedi Kanjuruhan itu tampaknya itu masih belum bisa dipahami oleh kita semua,” ujarnya.
Saat diskusi, beberapa peserta juga merefleksikan bagaimana perjuangan keluarga korban selama tiga tahun ini. Salah satu keluarga korban yang hadir, Kartini, bercerita bahwa mereka telah mendesak Komnas HAM untuk mengategorikan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat. “Yang pertama waktu puasa April 2023 kita mengunjungi Komnas HAM, Bareskrim, Kejaksaan Agung terus di di Komnas HAM juga yaitu kita minta untuk dinyatakan sebagai pelanggaran berat HAM tapi sampai sekarang pun belum mau menyatakan [pelanggaran HAM berat] itu. Terus bulan September 2023 juga [kami desak] seperti itu,” keluh Kartini. Ia juga menegaskan bahwa keluarga korban baru saja kembali bertolak ke Komnas HAM untuk memperjuangkan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat.
Diskusi hangat yang diselenggarakan pada malam itu membawa banyak sudut pandang dari beberapa peserta mengenai tragedi Kanjuruhan. Perwakilan LBH Surabaya Pos Malang Wafdul Adif mengingatkan atas beberapa kejanggalan yang terjadi dalam tragedi ini. Menurut Adif, berjalannya proses pengadilan yang seharusnya dilaksanakan di Pengadilan Negeri Kepanjen justru digelar di Pengadilan Negeri Surabaya. “Bagaimana aturan [KUHAP menjelaskan bahwa] harusnya ketika suatu tindak pidana terjadi, pengadilannya juga harus sesuai dengan lokasi kejadian,” jelasnya.
Adif juga menyayangkan bahwa rekonstruksi yang digelar oleh penegak hukum tidak dilakukan di Tempat Kejadian Perkara yaitu Stadion Kanjuruhan. Saat itu, penegak hukum justru melakukan rekonstruksi di Polda Jatim. Kejanggalan juga berlanjut, jelas Adif, saat sekelompok aparat itu mengintimidasi di ruangan pengadilan yang ia nilai akan memengaruhi putusan hakim. “[Saat] hakim menyalahkan angin sebagai penyebab utama tragedi Kanjuruhan. Itu paling janggal ini. janggal banget,” keluhnya.
Mengenai pengajuan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat di Komnas HAM yang sedang dilakukan keluarga korban, Adif menilai ini dengan cukup pesimis. “Ya, semoga saja mendapat hasil yang maksimal. Meskipun saya sendiri sangat pesimis ya. Tapi lagi-lagi semoga orang-orang di istana, di pemerintahan, [dan] di Komnas HAM bisa terbuka hati nuraninya,” harapnya.
Di akhir acara, Koordinator Maiyah Malang Raya Cak Kaji Haris bercerita tentang kisah semut di zaman Ibrahim untuk merefleksikan perjuangan ini. Dengan mengutip tafsir at-Tobari, Cak Kaji menjelaskan bahwa terdapat semut yang mencoba memadamkan api saat Nabi Ibrahim dibakar Raja Namrud. “[Semut itu kemudian] disindir oleh gagak waktu itu bahwa kon yoopo? Apakah kamu bisa hanya membawa setetes air tapi untuk memadamkan apinya Nabi Ibrahim?” ceritanya. Cak Kaji melanjutkan ceritanya dengan menirukan jawaban semut saat ditanya gagak. “emang aku tahu aku tidak akan mampu untuk memadamkan api itu. Tapi setidaknya aku berada di pihak yang benar. Itu jawaban semut. Nah, kalau kita tertutup mata kita, hati kita untuk tidak membela kepada yang benar,” pungkasnya.
Penulis: Nabila Hanifaty Nuryasha (anggota magang), Syaima Tsabita Khairunnuha (anggota magang), & Rofilah Chyntia Riady (anggota magang)
Editor: Badra D. Ahmad