TAK ADA ALASAN LAGI, HAPUSKAN DIVISI KORLAP DAN EVALUASI SISTEM OSPEK DI UB!

0
Il Paradiso karya Jacopo Tintoretto

Esai saya sebelumnya telah memberi sedikit gambaran mengenai pelaksanaan ospek tanpa adanya korlap. Di esai sebelumnya, saya juga sedikit menyinggung tentang kesehatan mental yang terpengaruh dengan adanya korlap itu sendiri—yang sesungguhnya tak hanya menyasar maba, melainkan korlap sendiri juga terkena dampaknya. Dalam esai lanjutan ini, saya akan menjelaskan lebih lanjut mengenai argumen saya tentang mengapa korlap harus dihapuskan, khususnya di kampus saya, Universitas Brawijaya (UB). 

Ada dua topik yang saya bahas kali ini. Pertama, relevansi korlap dalam hubungannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kedua, karena korlap sudah tak lagi relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka korlap harus dihapuskan. Namun, penghapusan tersebut memerlukan perubahan dalam hal-hal yang memang bersinggungan dengan tupoksi korlap sebelumnya. Oleh karena itu, penghapusan korlap juga harus diiringi dengan banyak evaluasi terkait sistem ospek yang ada saat ini.

Korlap Sudah Tidak Relevan, Hapus Saja!

Studi ilmiah tentang manusia sudah berlangsung lebih dari 100 tahun semenjak Wilhelm Wundt mendirikan laboratoriumnya di Leipzig, Jerman. Sejak itu pula berbagai tokoh psikologi mencoba menjelaskan perilaku dan proses mental manusia sesuai dengan alirannya masing-masing. Salah satu yang paling masyhur dari mereka adalah B. F. Skinner, seorang behavioris yang teorinya berkutat pada pemberian reinforcement dan punishment.

Dalam bukunya yang berjudul Science and Human Behavior (1953), Skinner menulis tentang efektivitas penggunaan punishment dalam mengubah perilaku. Menurutnya, efek dari adanya punishment sendiri hanya berlaku sementara. Ia tak bisa sepenuhnya mengubah keseluruhan perilaku. Ketika hukuman berhenti, maka respon awal yang dimiliki individu akan kembali, meskipun hukuman yang diberikan itu berat dan berlangsung dalam waktu yang lama. 

Sudah 50 tahun lebih semenjak Skinner menuliskan teori itu. Namun entah mengapa keberadaan korlap di universitas masih dipertahankan. Padahal, sebagai mahasiswa psikologi UB, saya tahu bahwa teori Skinner ini masih selalu dibicarakan dalam kelas-kelas perkuliahan. Atas hal itu, saya sangsi bahwa universitas telah berhasil memaknainya dalam membentuk sistem yang lebih inklusif. Karena menurut saya, universitas yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menghadapi masalah ini malah mengkhianati dirinya sendiri dengan mempertahankan sistem korlap itu.

Atau jangan-jangan, sebenarnya universitas yang mewujud sebagai panitia ospek ini memang tahu akan hal tersebut, namun mereka tidak ingin menghapusnya karena ia ingin tetap berkuasa. Ia ingin terus-terusan menunjukkan kuasa yang mereka miliki pada para mahasiswa baru. Jika memang hal itu yang terjadi, maka benarlah apa yang tertulis dalam artikel yang berjudul Power dressed in black: A comprehensive review on academic hazing yang ditulis oleh Fávero, et al., (2020). Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa pengaturan ospek semacam itu telah menjadi alat untuk menegaskan adanya perbedaan posisi mahasiswa baru dengan kakak tingkat. 

Jika hanya dilakukan untuk pertunjukan kuasa tersebut, maka pelaksanaan ospek sendiri sudah tidak sesuai dengan tujuan PKKMB yang diatur oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Diktisaintek) Nomor 0357/B/DT.01.01/2025. Di dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa tujuan umum PKKMB tahun 2025 adalah memberikan pembekalan kepada mahasiswa baru agar dapat lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan kampus dan sistem pendidikan di perguruan tinggi. Dan saya rasa, keberadaan korlap sendiri bukan cara yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut.

Dalam peraturan tersebut juga disebutkan asas-asas yang harus dipenuhi dalam PKKMB, salah satunya adalah asas humanis yang mendasari poin antikekerasan. Atas dasar asas itu, rangkaian evaluasi yang dipimpin oleh korlap seharusnya tidak pernah ada. Karena memang rangkaian evaluasi itu sangat identik dengan adanya bentakan-bentakan yang sudah disiapkan oleh korlap jauh-jauh hari sebelumnya.

Alasan lain yang mendasari argumen saya untuk menghapuskan sistem korlap adalah adanya eksklusifitas yang mereka buat. Selama rangkaian ospek, para korlap ini diharuskan untuk menggunakan nama samaran, tidak boleh berkumpul di ruang-ruang umum yang terdapat mahasiswa baru, juga harus bersikap ketus saat ada maba lewat. Kalau korlap benar-benar dibutuhkan, mengapa perlu adanya hal-hal seperti ini? 

Mungkin ada satu kekhawatiran terkait safety atau privacy korlap yang disalahgunakan oleh maba. Hal itu bisa saja terjadi karena adanya rasa ketidaksukaan maba pada korlap yang sering meneriaki mereka. Maka karena adanya hal-hal semacam ini, korlap benar-benar harus dihapuskan. Tak perlu lagi ada kekhawatiran terkait keamanan dan privasi korlap. Kemudian, para panitia bisa menjalani kehidupan mereka seperti biasa, layaknya manusia. 

Pun, jika ada argumen yang mengharuskan panitia akan mengevaluasi sistem tersebut, seperti korlap tak lagi memiliki nama samaran, boleh berkumpul di ruang-ruang umum, dan harus bersikap ramah ketika acara, maka korlap seharusnya tetap dihapuskan. Karena jika seperti itu, maka mereka bukan lagi menjadi korlap. Mereka lebih mirip menjadi fasilitator dengan semua kerja-kerja mereka. Apabila hal tersebut terjadi, tak ada alasan untuk tetap mempertahankan korlap bukan?

Terakhir, adanya peran eksklusif dari korlap menjadikan mereka sulit dievaluasi dalam pengaturan ospek. Sebanyak apapun mereka melakukan evaluasi terhadap kinerja mereka, seperti tensi suara yang terlalu tinggi saat berteriak atau melakukan kekerasan secara fisik maupun simbolik, mereka tidak akan bisa sepenuhnya melakukan hal tersebut selama peran mereka sebagai divisi yang berkuasa masih dipertahankan. 

Argumen ini diamini oleh eksperimen yang dilakukan oleh Philip Zimbardo tentang sipir dan tahanan, yang menjelaskan bagaimana peran dan situasi bisa begitu berpengaruh dalam membentuk perilaku seseorang. Dalam eksperimennya, ada dua hal yang ia temukan. Pertama, deindividualisasi yang terjadi pada para penjaga (dalam konteks ospek, mereka adalah korlap). Mereka terbenam dalam norma-norma kelompok sehingga kehilangan rasa identitas dan tanggung jawab pribadi. Para penjaga menjadi begitu sadis karena mereka tidak merasa apa yang terjadi merupakan kesalahan pribadi mereka – itu adalah norma kelompok. Mereka juga mungkin kehilangan rasa identitas pribadi mereka karena seragam yang mereka kenakan.

Kedua, adanya ketidakberdayaan yang dipelajari yang dimiliki oleh para maba. Hal ini dapat menjelaskan ketundukan narapidana kepada para penjaga (korlap). Para narapidana belajar bahwa apapun yang mereka lakukan tidak banyak berpengaruh terhadap apa yang terjadi pada mereka. Di penjara tiruan (rangkaian ospek), keputusan para penjaga yang tidak dapat diduga menyebabkan para tahanan menyerah untuk merespons.

Oleh karena itu, mau bagaimanapun, akan sulit untuk benar-benar mengevaluasi sistem korlap yang tidak menyakiti. Karena sejak awal, peran yang mereka mainkan sudah meniscayakan mereka untuk melakukan hal tersebut.

Maka, Segerakan Perubahan Konsep Ospek

Keberadaan korlap sendiri memang tak bisa terlepas dari tradisi ospek yang mengharuskan eksistensinya lestari. Di UB sendiri, jarang ada ospek yang berlangsung tanpa adanya korlap. Karena jika korlap tidak hadir, maka tak ada lagi yang menertibkan barisan maba di jam lima pagi. Tak ada lagi yang menjaga maba tetap duduk tenang selama berjam-jam. Tak ada lagi lagi yang memberikan evaluasi bila maba melakukan pelanggaran.

Kondisi-kondisi semacam itulah yang selama ini mengharuskan korlap harus hadir. Maka ketika korlap dihapuskan, perlu bagi panitia untuk mengubah konsep-konsep pelaksanaan ospek yang meniadakan korlap. Dan di saat itulah, panitia perlu untuk mempertanyakan apakah rangkaian-rangkaian semacam itu memang memberi manfaat untuk maba, bukan malah menegaskan adanya perbedaan kasta antara panitia selaku kating dengan maba. 

Untuk itu, Panitia perlu membaca ulang apa yang sebenarnya menjadi tujuan dari ospek sesuai dengan panduan yang dibuat oleh Diktisaintek, yakni memberikan pembekalan kepada maba agar dapat lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan dan sistem pendidikan di perguruan tinggi, cukup di situ. Kurangi (atau hapuskan) rangkaian-rangkaian yang hanya terkesan gimik dan tak ada hubungannya dengan tujuan pelaksanaan ospek. Jalankan rangkaian ospek dengan efektif, dalam artian tidak terlalu banyak acara dan penugasan pada maba.

Dengan rangkaian yang efektif, para maba akan lebih patuh pada peraturan-peraturan yang telah dibuat. Mereka hanya perlu berangkat ospek dan mendengarkan materi yang perlu mereka dengarkan. Mereka tak perlu duduk terlalu lama yang menyebabkan punggung kaku. Dan mereka juga tak perlu berlarut-larut dalam mengerjakan tugas ospek yang ribet dan tentu akan segera mereka lupakan setelah ospek selesai. 

Kondisi-kondisi tersebut memungkinkan berjalannya rangkaian ospek tanpa perlu hadirnya korlap. Rangkaian yang efektif akan membuat maba tertarik untuk mengikuti ospek. Jika sudah begitu, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh maba akan berkurang. Dan walaupun melanggar, mereka sendiri yang akan rugi karena rangkaian ospek yang ada benar-benar mereka butuhkan saat perkuliahan. 

Konsep ospek tanpa korlap bukan berarti menghilangkan seperangkat aturan, ketertiban, apalagi keteraturan. Sebaliknya, selain sebagai kritik, ia harus dilihat sebagai upaya untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan inklusif sehingga rangkaian ospek bisa berjalan secara efektif. Dalam konsep ospek yang seperti itu, tanggung jawab untuk kenyamanan ospek tak hanya dipegang oleh korlap, melainkan menjadi tanggung jawab kolektif dengan pendekatan-pendekatan yang lebih humanis atau dengan model-model alternatif lainnya yang tidak berbasis pada kekerasan.

Referensi

Skinner, B. F. (1953/2005). Science and human behavior. B. F. Skinner Foundation.

Fávero, M., et al. (2020). Power dressed in black: A comprehensive review on academic hazing. Aggression and Violent Behavior, Volume 55, November–December 2020, 101462.

McLeod, S. (2025, 6 Mei). Stanford Prison Experiment. SimplyPsychology. https://www.simplypsychology.org/zimbardo.html

Penulis: Muhammad Tajul Asrori

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.