REMEHNYA PERTIKAIAN OLIGARKI KECIL KAMPUS DAN RIUH-RENDAH PENDENGUNGNYA

Imam Bushiri, dalam magnum opusnya Burdah, mengibaratkan nafsu sebagai bayi yang terus menyusu dan butuh disapih. Sedangkan, Platon membahasakan nafsu dengan epithumia, seperti monster berkepala banyak yang tiap kepalanya mencari kepuasan sendiri-sendiri.
Jika Anda ingin melihat fenomena yang bangga memperlihatkan keburukannya, maka proses seleksi panitia pelaksana RAJA Brawijaya adalah jawabannya. Memang kadar bejatnya berbeda-beda tiap tahunnya. Akan tetapi, tahun ini lebih buruk. Sama sekali lebih busuk sehingga bau anyirnya tersebar seantero kampus.
Baiklah, mundur sejenak ke RAJA Brawijaya 2024. Praktik nepotisme terlihat ketika panitia seleksi menilai salah satu calon ketua pelaksana dengan nilai sangat tinggi (atau justru nilai sempurna) dan calon yang lain dengan nilai sangat rendah – bahkan tidak dinilai. Sangat “lumrah” terjadi. Dan terjadi lagi.
Permasalahan tahun ini lebih banyak. Isu-isu saling berkeliaran: dari kontrak politik GMNI-Forum Brawijaya Anti Ormek (AO)-PMII-HMI FIB-IMM-KAMMI, nepotisme GMNI, hingga polemik penetapan wakil ketua
pelaksana. Perang narasi pun dimulai. Saling tusuk dan cuci tangan kemudian. Setelah rezim HMI UB tumbang di pemira 2024, GMNI dan koalisinya kemudian berusaha mengamankan berbagai posisi di RAJA Brawijaya. Seperti biasanya, acara ini selalu dipandang sangat menguntungkan.
Bagaimana tidak, sertifikatnya bisa dimasukkan ke curriculum vitae, dapat gaji paling banyak Rp750.000, lebih-lebih jadi ketua pelaksana. Berdiri di depan belasan ribu mahasiswa baru seperti Simba yang dikenalkan sebagai penerus tahta. Biasanya, ketua pelaksana RAJA Brawijaya memang akan dicalonkan sebagai presiden EM di tahun yang sama. Jelas kemudian posisi ini menjadi rebutan banyak pihak.
Singkat tentang Pertikaian Antar
Oligarki Kecil, Dalam konteks kontestasi politik dalam RAJA Brawijaya, kiranya kita bisa membagi ini dalam dua pihak terlebih dahulu. Pihak koalisi dalam status quo dan oposisi. Jelas ketika koalisi GMNI di Eksekutif Mahasiswa yang menang saat pemira akan memperbesar pengaruhnya dalam RAJA Brawijaya. Mereka melanjutkan koalisi itu dengan komposisi yang hampir sama dengan Pemira 2024 lalu.
Dengan meneken kesepakatan itu dalam kontrak politik, jelas kemudian mereka membentuk sebuah oligarki. Situasi di mana hanya segelintir individu dan/atau kelompok merebut dan memonopoli kekuasaan, dalam hal ini RAJA Brawijaya. Yang menjadi sasaran—jelas—jabatan dan gaji panitia. Memang benar bahwa pembentukan koalisi tidak melanggar satupun hukum dalam terselenggaranya RAJA Brawijaya. Namun, tidak salah juga jika mereka sedang membangun oligarki di dalamnya.
Maka, seperti yang disebutkan Platon dalam buku VII The Republic, mereka sedang memberi makan epithumia dalam rezim oligarki. Meskipun demikian, epithumia dapat ditemukan dalam rezim timokrasi, oligarki, dan demokrasi. Dalam timokrasi, seorang akan memperjuangkan hasratnya untuk harga diri dan nama besar (thumos), sebuah branding diri. Di rezim ini, seorang timokrat rela untuk berkhotbah tentang pentingnya mencintai bangsa, tentang kebesaran nama bangsa, namun secara privat hasratnya diperbudak oleh keinginan akan uang yang secara diam-diam ia kumpulkan (Wibowo, 2017).
Dari situ, tak berlebihan jika saya menganggap bahwa mereka adalah sebuah oligarki yang menyingkirkan kepentingan selain dari kelompok mereka. Dan tak berlebihan pula saya yang menganggap mereka adalah kawanan Simba.
Selanjutnya, di sisi oposisi oleh HMI UB dalam DPM, mencoba untuk mendelegitimasi keputusan Wakil Rektor III
atas penetapan Ketua Pelaksana dan Wakil Ketua Pelaksana. Dengan mengatasnamakan “Kedaulatan Mahasiswa”, mereka berberat hati untuk mengakui bahwa tindakan Wakil Rektor III menambahkan beberapa nama dalam jabatan Wakil Ketua Pelaksana. Seakan mewakili semua mahasiswa dengan diksi “Kedaulatan Mahasiswa”, DPM merasa bahwa hasil seleksi panitia wisuda pelaksana unsur mahasiswa adalah keputusan final. Namun, pendengung (baca: buzzer) koalisi GMNI menepis anggapan tersebut.
Padahal, pasal yang mereka kutip adalah sama, Peraturan Rektor Nomor 42 Tahun. Pasal ini mengatur bagaimana panitia seleksi unsur mahasiswa dan Wakil Rektor III menetapkan panitia pelaksana. Dalam Pasal 17 ayat (3) berbunyi: “Pelaksana kegiatan Raja Brawijaya yang berasal dari unsur mahasiswa ditetapkan dengan Keputusan Rektor berdasarkan hasil seleksi yang dilakukan oleh wakil rektor yang membidangi kemahasiswaan.”. Serta
dalam Pasal 17 ayat (4) berbunyi: “Wakil rektor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membentuk tim untuk melaksanakan seleksi calon panitia Raja Brawijaya dari unsur mahasiswa.”.
Koalisi “50 juta” itu mempermasalahkan bahwa DPM, atau lebih tepatnya Ketua DPM, tidak seharusnya salah tafsir terhadap pasal tersebut sehingga DPM seakan-akan mengingkari Peraturan Rektor. Jelas bahwa peraturan itu secara hukum, dikeluarkan institusi yang lebih tinggi dari DPM.
Meskipun demikian, Surat Keputusan yang dikeluarkan Wakil Rektor III ini patut dicurigai. Pasalnya, surat itu meloloskan seorang Wakil Ketua Pelaksana yang tak lolos dalam SK hasil seleksi panitia pelaksana yang dikeluarkan DPM. Dan menariknya, nama yang diloloskan itu adalah hasil dari salah satu rencana yang
tertulis dalam surat kontrak politik “Perjanjian Koalisi”. Pelolosan nama tersebut oleh Wakil Rektor III memang
benar dan sah secara hukum.
Namun, sekali lagi, bukan berarti mereka tidak membangun oligarki dalam RAJA Brawijaya 2025.
Singkatnya, semua pertikaian yang ramai di media sosial hanyalah pertarungan antar oligarki kecil, atau antar partai, atau antar ormek. Bolehlah kita melihat permasalahan ini dalam kacamata pergantian elit Schumpeter. Menurutnya, tidak ada yang namanya kebaikan publik (common good) karena tiap-tiap individu memiliki preferensinya masing-masing. Yang bisa dilakukan individu di dalam konteks politik adalah memilih politisi untuk mewakili preferensinya dalam kancah perdebatan mengenai kebijakan publik (Anugrah, 2015).
Sehingga dalam konteks politik kampus—dari kacamata Schumpeter—bukan mahasiswa lah yang berkuasa. Namun lapisan elit—meskipun risih menyebut mereka demikian—yang merepresentasikan mahasiswa. Begitu pula dengan beberapa pihak dosen yang berada dalam lapisan elit tersebut. Elit-elit yang bisa memproduksi kebijakan untuk mengamankan cara main mereka. Cara main yang tidak hanya terbatas dalam definisi akumulasi modal oligarki, namun juga timokrasi yang menjadi salah satu rezim yang mengandung dominasi epithumia. Dominasi kekuasaan yang membuat cara main mereka menjadi legal.
Dengan demikian, pertikaian dalam seleksi panitia pelaksana RAJA Brawijaya merupakan implikasi dari berkuasanya koalisi GMNI. Jika saja kelak GMNI tak lagi mendapat kepercayaan dari mahasiswa, maka elit yang lain akan berkuasa.
Jika kini mahasiswa netral dan HMI UB merasa dirugikan atas permainan ini, maka mungkin saja kelak mahasiswa netral yang akan menjadi elit. Mungkin saja mahasiswa netral membentuk perkumpulan, atau sebut saja ormek netral, dan menyingkirkan elit lain yang tak berada dalam kubunya.
Hemat saya, membicarakan demokrasi klasik yang ideal di tengah politik kampus yang telah tertular gaya politik kapitalistik di Indonesia hanyalah bentuk hipokrisi.
Demokratisasi Informasi dan Pendengung Ormek
Keniscayaan dari mudahnya mengakses dan menyebarkan informasi adalah beranaknya berita palsu. Selain itu, kualitas berita menjadi berkurang seiring tuntutan atas kecepatan penyebaran informasi. Hal ini dapat dipahami saat kecepatan produksi informasi yang berbanding terbalik terhadap kualitas berita berikut kedalaman informasi, akurasi, pun verifikasinya. Demikianlah, kondisi saat ini yang mengharuskan kita untuk menjadi konsumen dan editor berita secara bersamaan. Senjatanya hanya satu: skeptisme.
Dengan tidak mudah percaya, kualitas publik terhadap konsumsi informasi akan meningkat dengan sendirinya. Sayangnya, tak semua orang memiliki waktu untuk memverifikasi berita-berita yang sedemikian derasnya. Satu dari sekian solusi termudahnya adalah mempercayakan informasi kepada media yang berkualitas.
Entah bagaimana kalian mendefinisikan media yang berkualitas itu. Entah itu akun yang mengklaim informasinya “A1”, mendaku pihaknya netral dan objektif, menyebarkan informasi dengan anonimitas, atau seperti apa. Pendengung ormek itu jelas menganut—meminjam istilah Bill Kovach—jurnalisme kepentingan kaum. Salah satu bentuk jurnalisme yang dihina Kovach karena mereka hanya memproduksi narasi yang menguntungkan kelompok politis mereka.
Di era banjirnya informasi ini, Kovach menyarankan kita untuk diet informasi. Tidak mengonsumsi berita yang tidak jelas verifikasinya. Tidak mengonsumsi konten yang tak jelas apakah itu berita, opini, atau propaganda. Tidak mengonsumsi berita—yang bagi saya—receh tentang pertentangan antar oligarki dalam seleksi
panitia pelaksana RAJA Brawijaya ini.
Penulis: Badra D. Ahmad