KACA RETAK PERTOR DAN TRANSPARANSI PILDEK UB 2025

Transparansi adalah sebuah keniscayaan dalam demokrasi. Dalam sejarahnya, Acta Diurna yang lahir dari rahim Kekaisaran Romawi, mirip dengan humas pemerintah tempo hari ini. Seiring waktu, Bill Kovach–nabi jurnalisme–mencanangkan bahwa jurnalisme haruslah independen dari pemerintah. Di Indonesia, orde baru mengebiri banyak surat kabar yang menganut adversary/adversarial journalism. Jurnalisme bercorak oposisi ini ditumpas dalam praktik totalitarian Soeharto. Menyisakan Departemen Penerangan (Deppen) dengan TVRI dan RRI sebagai corong terbesarnya.
Baru dibubarkan pada 26 Oktober 1999, produksi berita kehumasan orba menjadi salah satu faktor pola konsumsi berita yang tidak terbiasa dengan model jurnalisme adversari. Jurnalisme yang menekankan media untuk menjelma anjing penjaga (watchdog) demokrasi. Dalam praktiknya, model jurnalime ini menahbiskan penganutnya untuk selalu menggonggong kala ada pemerintah yang berlaku janggal.
Dalam konteks Pemilihan Dekan UB 2025, tiap pejabat kampus—yang dihubungi Kavling10 sebagai narasumber—menunjukkan respons berbeda ketika diminta untuk memberikan keterangan. Mereka yang berani, termasuk Rektor Widodo, memberikan kami kesempatan untuk wawancara. Namun kebanyakan, lebih merasa bahwa informasi yang disebarkan oleh media humas kampus telah mewakili transparansi atas terselenggaranya pildek. Tak sedikit yang memberikan jawaban demikian ketika kami meminta wawancara.
Penyikapan yang terakhir itu tentu saja menihilkan peran pers yang independen. Padahal dalam praktiknya, jurnalisme mengharamkan pemberitaan atas dasar “praduga tak bersalah” dan berita yang menghakimi. Dengan mengabaikan peran media–selain-humas, mereka membuat kabar-kabar liar yang tersiar tidak dapat diklarifikasi. Implikasinya adalah pada pemaknaan transparansi yang sepihak.
Sebagai buktinya, Sekilas Media memberitakan sikap Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) ketika mereka mencoba untuk meliput proses pildek di sana. Dengan judul “Minim Akses Informasi, Pildek FEB UB Dinilai Tak Transparan”, mereka menjelaskan bahwa FEB menolak untuk diwawancara karena Sekilas Media bukan merupakan media milik internal kampus (baca: humas). Sikap yang demikian sama dengan menumbangkan pilar keempat demokrasi, jurnalisme.
Karena meskipun kampus memiliki media kehumasan, tak lantas informasi tentang pildek yang mereka sampaikan menjadi lengkap. Salah satu contohnya saja, tidak ada media mereka yang meliput tentang hasil pertimbangan rapat pleno Senat Akademik Fakultas Teknik sebelum nama calon dekan diajukan ke rektor.
***
Dengan informasi yang terlalu dipercayakan pada humas kampus tadi tak lantas membuat infeksi borok pildek selesai. Dalam mekanismenya, kami menemukan beberapa hal yang harus dibenahi. Poin terbesarnya adalah ketika para dosen yang terlibat dalam pildek ini meninggalkan tugas pengajaran mereka. Di sini, Pemilihan Dekan UB 2025—secara bersamaan—menunjukkan bahwa kampus cacat untuk memberi hak pengajaran yang berkualitas dan praktik demokrasi yang transparan.
Dalam hal partisipasi bermakna dengan mahasiswa, tak semua fakultas membuat kegiatan yang bisa mengakomodasi itu. Bahkan, di beberapa fakultas, informasi yang diberikan pada mahasiswa cenderung dibatasi.
Padahal, beberapa BEM fakultas mencoba untuk mencari dan meminta ruang untuk beraspirasi. Akar sebabnya satu, Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2021 tidak memberikan mekanisme bagaimana mahasiswa dan unsur lain terlibat. Peraturan Rektor Nomor 89 Tahun 2022 sebagai turunannya kemudian hanya mendetailkan mekanisme pemilihan dekan.
Tak hanya itu, hak pemilih bakal calon dekan hanya diberikan pada dosen tetap dan tenaga pendidik dengan tugas tambahan. Dengan tidak melibatkan dosen tanpa tugas tambahan dan tenaga kependidikan non-dosen tentu membuat pildek semakin eksklusif. Padahal, boleh dibilang, mereka yang lebih terdampak kebijakan fakultas di samping unsur mahasiswa.
Dengan respons demikian, regulasi atau mekanisme yang telah ada harus ditelaah kembali. Tentu saja dengan mengedepankan keragaman unsur warga kampus. Jika memang Widodo mengharapkan agar mahasiswa ikut mengawal proses “pesta” demokrasi ini, sikap-sikap fakultas yang demikian harus dievaluasi.
Kemudian, beberapa fakultas tidak memiliki dua bakal calon dekan yang memenuhi syarat. Fakultas tersebut adalah Fakultas Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Hewan, dan Fakultas Vokasi. Akibatnya, ketiga fakultas itu mendapatkan dekan baru tanpa melalui pemungutan suara dari dosen. Seharusnya, ketika tahap penjaringan bakal calon dekan tidak menemukan bakal calon yang memenuhi syarat, transparansi tentang proses dekan baru fakultas tersebut bisa terpilih haruslah disiarkan. Namun, satu-satunya transparansi yang bisa kami dapatkan hanyalah ketika kami mewawancarai rektor.
Jika media kehumasan fakultas menilai penunjukan dekan langsung oleh rektor sebagai suatu citra negatif, maka jelas bahwa mereka gagal dalam memandang transparansi pemilihan dekan sebagai suatu substansi dalam demokrasi. Dengan demikian, keterbukaan informasi yang berkaitan langsung dengan bagaimana proses pemilihan dekan seperti persoalan di atas haruslah menjadi evaluasi. Paling tidak, panitia pemilihan dan pihak-pihak lain yang bersinggungan mau untuk diwawancarai.
Bahkan jika mungkin, pertor tentang pildek haruslah mengatur tentang keterbukaan informasi ini.
Sebab pertor itu pula, isu terkait dugaan kecurangan di pildek FIB—jika benar—tidak dapat diantisipasi dan diproses dengan pasal-pasal di dalamnya. Pasalnya, tak ada aturan yang jelas bagaimana mekanisme penanganan jika terjadi kecurangan yang seperti demikian. Atau tentang pencalonan dekan dengan latar belakang Ketua Senat Fakultas seperti FMIPA dan FILKOM. Pencalonan ini, meskipun sah dalam pertor, memungkinkan adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Maka, pertor tentang pildek ini haruslah dikaji ulang. Meskipun pada 2024 telah terjadi perubahan pasal tentang uji kelayakan, masalah-masalah di atas patut untuk menjadi pertimbangan berlangsungnya pildek selanjutnya. Jika tidak, maka bersiap saja untuk merasakan ulang berbagai kemungkinan perkara yang sama dan disebabkan oleh penyelenggaraan Pemilihan Dekan tahun ini.
***
Namun, demokrasi fakultas tak berhenti di pildek. Begitu pula dengan langgengnya dosen yang menjadikan rapat sebagai kedok untuk tidak mengajar. Jika saja dosen-dosen yang lebih menyenangi rapat itu tetap melanjutkan kecanduan buruknya, baiknya direhabilitasi saja. Ketidakmampuan dosen dalam memberikan waktunya untuk mengajar adalah bukti bahwa demokrasi di tingkat kelas tidak berjalan. Dengan kata lain, proses pildek UB 2025 dengan segala huru-haranya hanyalah omong kosong belaka.
Meskipun demikian, pers mahasiswa bukanlah media yang bergantung pada berita kehumasan atau rilis pers semata. Kavling10 tetap memberitakan dengan cara kami sendiri. Mencari narasumber sendiri, membuat survei berperspektif mahasiswa, dan melibatkan para ahli untuk berkomentar. Bukan pula media yang—meminjam ungkapan seorang jurnalis Purnama Ayu Rizky—membuat berita tanpa menambahkan konteks nyata, informasi terkait, atau opini berlawanan. Sepanjang Kavling10 tidak dan memang menolak memiliki pemilik modal yang mengatur dapur redaksi sejamaknya media kontemporer—karena memang “tak” didanai rektorat—kami bebas untuk menjadi anjing, berteriak, dan menulis berita gonggongan sebagai konsekuensi dari demokrasi.
Redaksi