Peradaban manusia tak pernah berhenti pada satu titik, tetapi selalu melangkah ke titik-titik baru. Namun, setiap lompatan kemajuan peradaban itu selalu menuntut sesuatu untuk dikorbankan. Revolusi Industri tiga abad silam, misalnya. Saat mesin-mesin uap serta pabrik-pabrik besar mengubah cara manusia bekerja dan memproduksi barang. Tak perlu dipungkiri, ia memang menghadirkan kemudahan dalam kehidupan manusia.

Sebelum era mesin uap, produksi barang berskala masif adalah kemuskilan. Lalu ketika kincir-kincir uap mulai berdentang dan rel kereta api membelah lanskap, semuanya berubah: kapasitas produksi meningkat drastis, harga barang merosot, dan lapangan kerja baru bermunculan. Saat itu, secuil kemenangan monumental dalam sejarah teknologi dan ekonomi ada dalam genggaman tangan manusia.

Namun, semua kemudahan itu tidaklah cuma-cuma. Harga yang kudu dibayar pada setiap peresmian pabrik-pabrik itu begitu mahal. Ada timbunan limbah yang menumpuk di baliknya. Ada asap-asap pekat yang menutupi langit kota-kota industri. Ada laju deforestasi yang melonjak pesat dan tak terkendali. Dalam sekejap, perubahan ekologis pun mulai memperlihatkan sendi-sendi retaknya. Dalam sekejap, krisis iklim ada di depan mata.

Pun demikian dengan kemajuan-kemajuan lain: semuanya tak ada yang percuma. Apa-apa saja yang disebut sebagai modernisasi, pasti selalu menuntut tumbal. Dan satu dari sekian hal yang rawan menjadi tumbal alat tukar modernisasi itu adalah kebudayaan. Memang, dampaknya lebih subtil, tapi tak kalah destruktif.

Modernitas—atau apa pun sebutan untuk setiap kemajuan peradaban—memang membuka ruang-ruang baru. Ia mempercepat pertukaran ide, menembus batas geografis, dan memberi kebebasan ekspresi yang selama ini terkungkung. Namun pada saat yang sama, ia acap kali menuntut budaya untuk dinegosiasikan kembali: menyesuaikan agar tetap relevan dengan modernitas atau tersingkir sepenuhnya.

Di tengah semuanya yang serba cepat itu, kebudayaan dipaksa menyesuaikan diri. Tidak ada ruang untuk berkompromi: kebudayaan harus bisa memenuhi kemauan modernitas. Dari situ, kebudayaan lantas menjelma komoditas yang diproduksi massal demi kepentingan komersial. Dan kebudayaan yang gagal beradaptasi (baca: tak seksi untuk menjadi komoditas), tak ubahnya pohon-pohon kecil yang diterpa badai modernisasi: luluh lantak diterkam sang kemajuan yang begitu agresif.

Padahal, kebudayaan bukanlah komoditas apalagi aksesoris yang bisa dibongkar-pasang sesuka hati. Ia adalah identitas yang menopang sendi-sendi interaksi manusia—bukan sekadar tradisi dan atraksi untuk keperluan konsumsi. Maka saat kemajuan harus mengorbankan kebudayaan, tepat di situ pula ada sebagian identitas manusia yang terkikis secara perlahan.

Barangkali, ada salah kaprah dalam memahami proses kemajuan selama ini. Kemajuan yang selalu dielu-elukan itu nyatanya telah gagal membangun harmoni antara alam dan teknologi. Sebaliknya, justru ada yang rapuh dan keropos dalam konsep kemajuan yang kita amini. Sebab kemajuan-kemajuan itu justru menjadi pertumbuhan yang merusak: menuntun dunia menuju ke arah kehancuran.

Sila menikmati Buletin Piksilasi II Edisi 2025 melalui laman ini atau tautan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.